Dimalam hari menjelang kumandang adzan shalat isya’, saya melihat Suwarno atau akrab dipanggil dengan sebutan Pak Wo laki-laki separuh baya itu sedang duduk di depan teras rumah.
Dengan gaya duduk bersila, serambi menghisap rokok kretek dan menyeduh kopi racikan emak (istri Pak Po), beliau wasis bercerita tentang pahitnya meniti perjuangan warga Pakel melawan perampasan ruang hidup di desanya.
Malam itu, saya masih meraba-raba untuk mencoba memahami alur cerita yang disampaikan oleh Pak Wo. Ada sepenggal kalimat yang membuat saya berimajinasi, manakala saat itu saya bertanya kepada beliau “Pak Wo, batu terjal kehidupan yang membuat sampean terpontang-panting apa?”
“Perjuangan warga ini pik, lhaa..wong gimana sudah puluhan tahun sejak 1929 di masa zaman belanda gak kelar-kelar ini sengekta, yang ada warga dapat intimidasi dan sampai sekarang saya sendiri sering mendapat surat kaleng dari polisi” ujar Pak Wo sambil nyengir.
Keluh-kesah yang dirasakan oleh Pak Wo dan warga Pakel sebenarnya menggambarkan wajah asli negara.
Terlebih hadir memberikan perlindungan, dan pemenuhan hak asasi warga Pakel, justru kehadiran negara bersama kaum Pemodal seolah-olah menjadi monster totaliter yang menghantui bagi perjuangan warga Pakel.
Dari masa ke masa serangan itu dihembuskan secara bertubi-tubi; pemenjaraan, intimidasi, kekerasan dan perampasan kepada warga Pakel tak pernah terurusi oleh negara.
Era Kolonialisme
Jauh sebelum generasi Pak Wo Perampasan hak atas lahan di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten banyuwangi telah berlangsung sejak lama.
Dalam ihwal, sejarah perlawanan rakyat Pakel untuk mendapatkan haknya didasari oleh adanya Acta Van Verwizing/ Akta Ijin Membuka Tanah yang dikeluarkan oleh Acmad Noto Hadi Soerjo selaku Asisten Residen Banyuwangi pada tanggal 11 Januari 1929.
Menurut akta tersebut, menjelaskan bahwa lahan seluas 4000 bahu (3000 hektar) saat itu diperuntukan kepada 2956 orang di Desa Pakel.
Sebenarnya dalam sebuah dokumen sejarah pada tahun 1925, proses permohonan ijin pembukaan lahan kepada pemerintahan Belanda sudah dimohonkan oleh tujuh orang yakni, Doelgani, Karso, Senen dari warga desa Sumberejo Pakel, Ngalimun dari warga Gombolirang, Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek dari warga Desa Jejeg.
Meskipun kala itu warga sudah mendapatkan akta 1929 hak warga tetap dikangkang. aktivitas petani untuk membuka lahan di area wilayah hutan Sengkan Kandang dan Keseran yang tepatnya terletak di Desa Pakel menuai intimidasi, pemenjaraan dan kekerasan dari pihak pemerintahan Belanda.
Gambar :Acta van verwizing 1929
Pernah terjadi pada suatu masa, saat 170 warga termasuk Doelgani Cs melakukan pembabatan pembukaan lahan dengan dasar acta 1929, mereka ditangkap dengan tuduhan aksi berbau komunis,
Dalam pemeriksaannya pihak penyidik menganggap Doelgani Cs tidak bersalah dan berhak membuka lahan.
Akan tetapi tiga hari paska pembebesan, Doelgani Cs ditangkap kembali oleh Asisten Wedono Kabat dan petinggi Desa Sumberejo Pakel, Akta 1929 milik warga juga dirampas.
Tepat pada tanggal 3 Januari 1930, berkas perkara Doelgani Cs diperksa oleh pihak Kontrailir dan Wakil Asisten Residen.
Dalam pemeriksaan tersebut Wedono beserta Asistennya dipersalahkan karena menangkap Doelgani Cs saat melakukan pembukaan lahan.
Sekalipun hasil pemeriksaan membenarkan aktivitas Doelgani cs dan mengatakan tanah tersebut merupakan hak warga Pakel, namun dalam praktiknya perjuangan warga Pakel untuk medapatkan haknya masih memperoleh lika-liku karena kesewenang-wenangan pemerintahan saat itu
Lika-liku perjuangan Doelgani Cs juga pernah terjadi pemerintahan Jepang berkuasa. Menurut catatan pengacara warga Pakel, Tjan Gwan Kwie, SH, diterangkan bahwa dirinya telah mengirimkan surat kepada Paduka Tuan Syutyokan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapi oleh warga Pakel.
Namun, karena saat itu bom sekutu dijatuhkan sebayak dua kali di kota utama negara Jepang, oleh karenanya penjajahan negara Jepang di Indonesia mengalami ikut berdampak dan usaha penyelesaian kasus itupun tidak terselesaikan.
Era Orde Lama
Di awal kemerdekaan Republik Indonesia, dengan segala keterbatasan dan keterpurukan, imbas dari perang kemerdekaan yang begitu dahsyat, Masyarakat Pakel mencoba mengurus alas hak baru atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam akta 1929.
Pada fase pengajuan ini, setidaknya ada perbedaan formasi perwakilan Para Pemohon dengan Para Pemohon pengajuan ijin pembukaan hutan pada tahun 1925.
Setidaknya dalam surat pendaftaran tanah pada tanggal 1 Juli 1963 s/d 11 Juli 1965 kurang lebih terdapat 11 orang pemohon, diantaranya adalah Mohammad Anwar, Salekah, Masdinah, Muni’ah, Samsudin, Dewi, Lamerah, Mursah, Dulhari, Sumabro, Nahrawi.
Masih terlihat jelas tulisan dari dokumen surat permohonan pendaftaran hak atas tanah pada tahun 1963, sekiranya dalam sepucuk surat tersebut menyampaikan:
“didalam hal ini bertindak masing-masing untuk diri sendiri dan disamping itu untuk dan atas nama 717 orang petani jang kesemuanja bertempat tinggal di desa Pakel, Ketjamatan Kabat, Kawodanan Rogodjampi, dan Kabupaten Banjuwangi, Bersama ini mengadjukan sebuah permohonan dihadapan bapak-bapak Kepala Daerah, agar dapat diberikan hutan terbebas di Sengkan Kandang dan Goseren, terletak didesa Pakel tersebut, guna dijadikan tanah pertanian.
Permohonan ini kami hadjukan bersama dengan berpedoman untuk memperbesar hasil produksi sesuai dengan pelaksanaan Dokon dan mengingat bahwa hutan mana telah mendjadi hak kami berdasarkan/sebagaimana terurai dalam surat permohonan kami kepada Basuki-Syutyo Haseibu tertanggal 9 April 2603 terlampir jang merupakan bagian penting daripada permohonan kami ini”
Berdasarkan pernyataan dari Pak Wo bahwa: “pada saat itu perwakilan warga Pakel tengah menunggu terbitnya alas hak baru yang pernah mereka ajukan di era pemerintahan Soekarno kepada Kepala Daerah Kabupaten Banyuwangi, akan tetapi sampai pada saat peristiwa G30S/PKI permohonan yang pernah mereka ajukan tidak juga tidak membuahkan hasil”
Dalam peristiwa tragedi kemanusiaan itu, warga tidak lagi berani menduduki lahan dan bercocok tanam. Karena saat itu sedang santernya isu tuduhan PKI di Banyuwangi, bahwa siapapun yang kerap menuntut hak atas tanah, maka akan di cap sebagai anggota PKI.
Era Orde Baru; Perampas Tanah Itu Bernama PT. Bumi Sari
Dalam situasi mencekam tragedi kemanusiaan di era transisi Orde Lama ke era Orde Baru itu, secara diam-diam perusahaan perkebunan PT. Bumi Sari mengklaim lahan hak warga.
Berdasarkan keterangan dari Wagiman sobat karib Pak Wo mengatakan: ”saat sekitar pertengahan tahun 1960-an, orang tua saya dan sejumlah warga Pakel menanam semua kelapa, cengkeh, sama kopi di wilayah Taman Glugo.
Pernyataan tersebut ingin menunjukan bahwa secara fakta lahan dan tanaman-tanaman yang diklaim oleh Perkebunan PT Bumi Sari saat ini merupakan lahan yang sebelumnya sudah dikelola oleh masyarakat Pakel.
Lebih lanjut, pada tanggal 13 Desember 1985, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan HGU PT Bumi Sari. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, Nomor SK.35/HGU/DA/85, dengan penjelasan bahwa PT Bumi Sari mengantongi HGU seluas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar.
SK tersebut terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi.
Kedua sertifikat HGU tersebut berakhir pada 31 Desember 2009. Dengan merujuk SK HGU tersebut, jelas dapat disimpulkan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Pakel, namun hanya di wilayah Songgon dan Kluncing.
Akan tetapi dalam praktiknya, PT Bumi Sari melakukan penguasaan lahan hingga Desa Pakel.
Era Pasca Rezim Orde Baru
Sekitar pada Tahun 1999, warga Pakel mencoba melakukan aksi pendudukan lahan di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh Perhutani. Namun, buntut dari aksi tersebut warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami tindak kekerasan fisik.
Pada tanggal 2 Februari 2000, Muhammad Slamet mengirimkan surat kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
Muhammad Slamet memohon agar warga Desa Pakel diberikan ijin hak milik atas/sertifikat tanah atas kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh Perhutani dan Perkebunan Bumi Sari.
Muhammad Slamet juga melaporkan tentang tindakan-tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh Perhutani terkait jual beli lahan di kawasan Akta 1929 yang sedang diperjuangkan oleh warga Pakel.
Namun pada tahun 2001, buntut dari aksi pendudukan lahan yang terus dilakukan oleh warga Pakel di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh Perhutani, telah membuat seluruh rumah dan tanaman warga di atas lahan tersebut dibakar dan dibabat oleh Perhutani.
Peristiwa ini selain mengakibatkan kerugian material, dan tindakan kekerasan terhadap warga, juga telah menyebabkan sebagian besar pemuda/i Pakel putus sekolah. Sebagian besar kaum laki-laki juga terpaksa meninggalkan desa guna menghindari penangkapan dan kejaran aparat keamanan, peristiwa ini terkenal dengan sebutan “kampung janda”.
Peristiwa yang mencekam kala itu membuat emak-emak Pakel sampai hari ini mengalami traumatik yang mendalam.
Disela-sela cerita, dikala mereka diminta untuk bercerita kembali masa lampau, maka tak terelakan sesak rintihan dan eluh mata membanjiri kedua pipinya. Persis Bu harun dengan sesak tangisan menyampaikan;
“pada waktu malam itu, rumah saya digrebek satu truk, rumah saya diterjang-terjang (didobrak-dobrak) pintu rumah saya, kalau saya tidak keluar rumah saya akan dibakar, saya merasa ketakutan. Pernah saya intip sekilas dari lubang papan rumah, dugaan say aitu dari pihak security perkebunan”
saat kejadian itu, saya tidak makan seharian, setelah habis shalat magrib saya hanya masak singkong dirumah ibu saya. Saat itu saya juga tidak bisa menafkahi anak saya karena suami saya tidak bisa ngasih uang bulan-bulanan. Lalu dulu ada tangga saya punya ayam dan saya jual dengan harga lima belas ribu”
Perekonomian masyarakat Pakel di fase ini terporak-poranda, seluruh keluarga mengalami krisis pangan. Pada 16 Oktober 2001, DPR RI melakukan pertemuan dengan komisi II DPR RI dan Sekjen Komite Advokasi Sosial dan Hukum Kehormatan dan Keadilan dengan agenda penyelesaian masalah tanah warga Pakel.
Pada tanggal 13 Oktober 2008, warga Pakel, yang diwakili oleh Pak Muhammad Slamet, dibawah organisasi Rukun Tani, mengirimkan surat kepada Presiden SBY agar segera menyelesaikan kasus konflik agraria yang mereka hadapi.
![]() | ![]() | ![]() | |
Gambar VII: Peta ref Acta 1929 | Gambar VIII: Peta Administrasi Batas Desa Pakel 2014 | Gambar IX: Peta Reclaiming |
Jauh setelah itu, dalam perjalanannya, sesuai surat BPN Banyuwangi, Nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, ditegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari.
Mendapatkan pernyataan tersebut, warga Pakel menganggap peluang kemenangan untuk mendapatkan tanah mereka kembali telah ada di depan mata. Sehingga di akhir 2018, warga mencoba melakukan penanaman kembali di kawasan Akta 1929 yang dikuasai oleh PT Bumi Sari dengan ribuan batang pohon pisang.
Akan tetapi pada Januari 2019, warga Pakel dilaporkan oleh Djohan Sugondo, pemilik PT Bumi Sari, dengan tuduhan telah menduduki lahan PT Bumi Sari. Atas tuduhan tersebut warga Pakel dianggap melanggar Pasal 107 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Dan buntutnya, 26 Warga Pakel dipanggil oleh pihak Polres Banyuwangi.
Sejarah panjang penindasan inilah yang akhirnya mendorong warga Pakel memutuskan untuk menduduki kembali lahan mereka pada 24 September 2020. Aksi tersebut dilakukan di kawasan Akta 1929 yang sampai hari ini dikuasai oleh PT Bumi Sari.
Era Rezim Nawacita yang Abai
Gambar : Aksi Reclaiming hari tani September 2020
Lebih dari satu abad perjuangan petani Pakel tak pernah kunjung usai. Dari bersilih gantinya rezim ke rezim Petani Pakel berharap ada secuil harapan keadilan untuk mereka.
Harapan itu juga pernah disematkan kepada presiden Joko Widodo yang terkenal dengan gimik kesederhanaan, wong cilik dan kedermawanan.
Namun semua itu hanya sebatas gimik, misi dan misi rezim nawacita untuk menciptakan reforma agraria jauh dari panggang api.
Berbagai Perwujudan reforma agraria sejati hanya sebatas retorika yang dikampanyekan menjelang Pemilu dalam lima tahun sekali.
Rezim saat ini tak ubahnya dengan rezim otoriter semasa Soeharto berkuasa. Dalam situasi itu tengah melegitimasi kekuasaan Orde baru melalui perangkat yang serba militeristik dan mendefinisikan kesejahteraan masyarakat dengan sistem ekonomi kapitalistik.
Taktik represitas otoritarianisme orde baru sangat erat kaitannya dengan praktik pembungkaman dan kekerasan.
Sedangkan perwududan neo otoritarianisme saat ini mengalami perubahan, rezim neo- otoritarianisme dalam beberapa kesempatan masih melakukan pembungkaman dan kekerasan dengan menggunakan seperangkat hukum dan manipulasi informasi.
Refleksi tersebut cukup beralasan bila kita kaitkan dengan kasus yang terjadi di Desa Pakel, Aksi pendudukan lahan yang dilakukan oleh warga Pakel sejak 24 September 2020 hingga saat ini kembali berujung pahit.
Sedikitnya hingga November 2021, terdapat 11 warga Pakel kembali mengalami kriminalisasi. Bahkan dua diantaranya telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polresta Banyuwangi dengan tuduhan telah menduduki kawasan secara ilegal di kawasan perkebunan PT Bumi Sari.
Dan yang terbaru pada 14 Januari 2022, terjadi kekerasan terhadap warga Pakel oleh aparat kepolisian Polresta Banyuwangi di lahan perjuangan.
Peristiwa kekerasan tersebut telah mengakibatkan 4 warga dan tim solidaritas perjuangan menjadi korban.
Rebut Kembali Pakel
Acta Van Verwizing -1929 merupakan dokumen penting milik masyarakat pakel yang diperoleh atas pemberian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Waktu itu wilayah jajahan Hindia Belanda masih di bawah kekuasaan Gubernur Genderal Andries Cornelis Dirk de Graeftf.
Asumsi mendasar dari Peneliti, Pemerintahan Hindia Belanda dalam memberikan ijin pembukaan lahan kepada masyarakat Pakel pada waktu itu masih menggunakan payung hukum Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) tahun 1870, (Indische Staatblad No. 51)
dan penambahan aturan pokok yang dituangkan dalam Agrarisch Besluit serta aturan turunan lainya seperti Boschordonnantie voor Java en Madoera 1927/Ordonansi Hutan untuk Jawa dan Madura 1927.
Tanah yang diperjuangkan oleh petani Pakel, yang mula-mulanya adalah tanah hutan bebas tersebut dalam rezim masanya (acta-1929) merupakan tanah yang tergolong dalam hak milik yang diperoleh dengan cara pembukaan tanah (grondontginning) dan atas pemberian hak milik oleh pemerintah.
Lebih lanjut berdasarkan Dirman dalam karyanya yang berjudul “Perundang-undangan Agraria di Seluruh Indonesia” (1952) menyatakan:
“Hak milik dapat diperoleh dengan djalan dibawah ini:
- 1. Pembukaan tanah (grondontginning)
- 2. pemberian hak milik oleh Gubernemen (pemerintah)
- 3. pernjataan dalam wet (wetsaanduiding)”
Dalam sepanjang sejarah akta 1929 tidak pernah dicabut atau diubah oleh pejabat yang berwenang.
Bahkan pada tahun 1941 Acmad Noto Hadi Soerjo selaku Bupati Banyuwangi yang memberikan Izin Pengelolaan Tanah telah memberikan surat pernyataan dan dikirimkan kepada Gubernur Surabaya tentang kebenaran akta 1929 yang diterbitkan dimasa ia masih menjabat sebagai Bupati Banyuwangi.
Rezim pasal 5 dalam Ordonansi Stbl. 1928 yang dijadikan sebagai dasar dalam penerbitan Acta 1929 menganut asas hukum Contrario Actus sebagaimana asas ini masih digunakan dalam rezim hukum modern saat ini.
Prinsip asas ini menganut konsep hukum administrasi negara yang menyebutkan siapa Badan/Lembaga dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat membuat keputusan tata usaha negara dengan sendirinya berwenang mengubah, mengganti mencabut, atau membatalkan dokumen yang dibuatnya.
Oleh sebab itu, karena Akta 1929 sampai hari ini belum ada pencabutan maka akta yang dipegang oleh masyarakat pakel masih tetap absah.
Senada dengan pendapat Prof. A. Sodiki dalam diskusi kasus pakel pada tanggal 25 Agustus 2020, beliau menganalogikan; keabsaan Acta Van Verwizing 1929 sama dengan legalitas pernikahan pada zaman kolonialisme.
Menurutnya warga pribumi yang hidup pada masa kolonial menikah secara sah dengan cara hukum atau kepercayaan yang berlaku pada saat itu, setelah rezim berganti, dengan merdekanya negara republik Indonesia telah mengeluarkan UU Perkawinan.
Dalam UU Perkawinan tersebut mengatur bahwa pernikahan akan diakui oleh negara bila telah memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam undang-undang tersebut.
Lantas bagaimana dengan orang-orang pribumi yang menikah sebelum Indonesia merdeka, tetapi mereka masih hidup dan menjalin pernikahan pasca rezim kolonialisme?
Dalam penjelasan Prof. Sodiki, pernikahan seperti itu tetap sah akan tetapi bila pernikahan tersebut ingin diakui atau dicatat oleh administrasi negara, mereka harus mengajukan permohonan pengakuan kepada instansi terkait sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan.
Sehingga dapat saya simpulkan bahwa Acta van Verwizing -1929 merupakan hak milik masyarakat Pakel yang diperoleh dengan cara yang sah dan dapat dijadikan sebagai dasar hak keperdataan pasca rezim UUPA di dilahirkan. Begitu pula praktik okupasi PT. Bumi Sari melebihi dari peta HGU adalah perbuatan melanggar hukum.