Judul di atas [sastra kiri yang kere] pernah digunakan Arif Budiman (Soe Hok Djin) dalam sarasehan Seni di Solo (1984). Dan, setahun kemudian, Ariel Heryanto menghimpunnya dalam sebuah buku Perdebatan Sastra Kontekstual (1985).
Semua orang hampir sepakat bahwa apa yang dimaksud Arif Budiman menunjukkan diri sebagai orang yang memperkarakan kecenderungan sastra atau seni yang mengacu pada prinsip humanisme universal.
Dalam pandangannya, ada anomali dalam prinsip ini – bahwa keindahan tidak sama di mana-mana. “Keindahan terikat ruang dan waktu. Keindahan memiliki kondisi kontekstual. Dengan demikian, ia menolak sastra dan kesenian yang hierarkis, seperti pandangan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan sekaligus prinsip Manifesto Kebudayaan (Manikebu) di tahun 1963 yang kemudian diinsyafinya sebagai kesalahan humanisme universal.
Pandangan ini pula yang mungkin menjadi dasar dari prinsip Kritik Ganzheit yang diolah dari pemahaman psikologis Gestalt bersama Goenawan Mohamad (1968). Meskipun tarikan ini justru kemudian menjadi berbenturan dengan konsep sosiologis-filosofisnya, terutama mengingat konsepnya terhadap ‘menjadi manusia utuh’ yang bisa memahami persoalan besar masyarakat Indonesia.
Dalam kesadaran kebudayaan Arif Budiman secara sosiologis, sastra atau seni kontekstual lebih bermakna kesadaran membangkitkan kesadaran jati diri dengan cara mensubversi. Melepaskan diri dari nilai yang ditetapkan oleh pusat kekuasaan sastra dan seni yang mapan – pada tahun 1993, Arif Budiman mendukung gerakan Joko Nugroho membuat Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tandingan di Ngasem.
Baginya, tidak relevan menempatkan standar sastra dunia pada konteks Indonesia yang masih dipenuhi dengan persoalan ketimpangan sosial. Menurutnya, orang harus hidup secara penuh atau mampu menyelami persoalan besar bangsanya – dan satu-dua di antaranya adalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial.
Sastra, pada pandangannya kemudian, harus membebaskan dirinya dari belenggu struktural yang hierarkis dan berbicara persoalan besar masyarakat ini. Bukan isu-isu yang semata dipandang sebagai humanis universal. Meskipun, toh, pada dasarnya persoalan kemanusiaan pada takaran tertentu bersifat universal.
Seperti halnya ide-ide yang dirangsang oleh narasi besar pemikiran Niethzche tentang Tuhan telah mati, Arif Budiman pun terbawa dalam satu arus tanda dalam posmodern yang polivokalitas atau dengan pengertian melebur dalam egalitarianitas. Tak ada superioritas dan inferioritas. Tak ada pusat dan daerah.
Maka, sastra kiri yang kere, bagi AB, adalah satir terhadap posisi sastrawan lokal yang tak tembus Jakarta – atau bahkan penyanyi dangdut (pop) yang dianggap marjinal, namun memiliki otoritas subjektif terhadap nilai karya dan keindahannya.
Gagasannya pada aras sastra kontekstual atau yang memberikan otoritas subjektif berkenaan dengan nilai keindahan. Pada titik tersebut, berseberangan dengan pandangan STA.
Namun, pada titik konsepsi peradaban, menjadi satu arah dengan pandangan STA bahwa budaya populer dianggap bernilai jika tidak mengkibatkan duhumanisasi atau hilangnya martabat manusia. AB mewakili posisi kontekstual dan STA mewakili humanis universal.
Konteks Kini
Sastra kiri yang kere atau dalam pengertian sastra kontekstual pada faktanya berkembang dan menjadi nalar kebudayaan pada tahun-tahun berikutnya hingga kini. Pusat wibawa sastra yang berada pada Majalah Horison dan Taman Ismail Marzuki tamat. Setiap orang kemudian percaya diri menerbitkan karyanya sendiri.
Dengan demikian, fase ini juga menandai matinya “wibawa kritik”, meminjam istilah Goenawan Mohamad. Meskipun GM bukan pada posisi membela kewibawaan kritik, seperti tanggapannya terhadap tulisan Wiratmo Soekito, Kegagalan Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini.
Harian Kami, 30 Oktober 1968, di Catatan Kebudayaan Horizon (November, 1968), GM menulis,” Sebab yang kita butuhkan kini dan untuk seterusnya bukanlah kewibawaan kritik. Yang kita butuhkan adalah usaha pencarian nilai yang tetap diteruskan.”
Nah, usaha pencarian nilai inilah yang kemudian sejalan dengan pemikiran AB. Namun, sastra kontekstual yang diramu dengan dua prinsip dasar, subversif dan karakter (bangsa) pada perjalanannya tidak semulus gagasannya. Terutama pada konsep karakter atau menjadi manusia utuh yang berbicara persoalan besar bangsa. Kapitalisme akhir dan postmodern yang ditandai dengan globalisasi menggelapkan cita-cita itu.
Dengan kondisi, dalam bahasa Herbert Marcuse (Eros and Civilization,1966 ‘desublimasi represif’ sebagai upaya memanipulasi dan membangun propaganda kepalsuan atau kesadaran semu dalam masyarakat untuk menutupi kepentingan kapitalisme akhir.
Setiap pengarang bisa menulis secara bebas dan kontekstual dan tak tersentuh kritik. Sementara sebagian yang lain menciptakan mekanika kebudayan pasar melalui dukungan industrial media. Di sini, mungkin benar GM, bahwa paling penting pada akhirnya pencarian nilai-nilainya (?).