Di tengah demo dan hiruk pikuk RKUHP, revisi UU KPK, dan sejumlah RUU bermasalah lain, mungkin pembaca Qureta melupakan satu undang-undang yang cukup krusial. Namanya UU Pesantren. Disahkan dalam paripurna DPR per 24 September 2019. Kabarnya, masih nunggu penomoran dari pemerintah untuk kemudian resmi diundangkan.

UU ini disambut gempita oleh kalangan pesantren. Paling tidak oleh parpol yang punya basis massa kalangan pesantren: PKB, PPP, dan PKS. Sampai ada shalawatan segala, sesaat setelah bung Fahri Hamzah (mungkin kita akan merindukannya) mengetuk palu.

Ini momen yang ditunggu. Sebab sejauh ini belum ada UU yang secara khusus menaungi pesantren secara konstitusional. Padahal jumlah santri hampir 4 juta orang. Tersebar di 25 ribu pesantren tanah air. Tidak percaya? Cek Pangkalan Data Pondok Pesantren (PDPP) Kemenag!

Mari kita bandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Misalnya, guru. Jumlah guru yang “hanya” 3,2 juta, sudah punya UU Guru dan Dosen sejak 2005. Lebih keren lagi, nelayan. Dengan jumlah “hanya” 800 ribu, tapi sudah punya UU Nelayan sejak 2016. Sedangkan ini, ada 4 juta santri yang (tadinya) belum dinaungi UU.

Syukurlah, jika akhirnya negara mulai mengakui eksistensi pesantren. Sudah tepat. Mungkin yang belum, tinggal UU Jomblo. Padahal jumlah jomblo disinyalir jauh di atas jumlah santri, guru, dan nelayan digabung. Jomblo, secara konstitusional, perlu dinaungi UU! Sebab itu, mari #gejayanmemanggil sekali lagi!

Oke, sebelum itu, kembali ke UU Pesantren.

Bukankah sebelumnya tidak ada UU? Nyatanya kok aman-aman saja tuh pesantren?

Tidak sepenuhnya betul. Kalau pesantren yang selenggarakan pendidikan formal (SD-SMP-SMA atau yang sederajat) memang aman. Sebab mereka dinaungi oleh produk undang-undang yang lain. Ketika lulus, ijazah yang mereka kantongi juga ijazah formal.

Sebagian besar pondok pesantren modern menganut sistem ini. Tanpa UU Pesantren pun, eksistensi mereka tetap aman. Tapi yang tidak, bagaimana?

Sebagian pesantren mengakali kurikulumnya. Misalnya, dari kelas VII sampai kelas IX semester 1 hanya diajarkan pendidikan keagamaan atau tahfidz (menghafal Alquran). Baru di semester kedua kelas IX diajarkan materi USBN. Selanjutnya ambil ijazah Kemenag dengan penyetaraan paket B.  Aman sih, tapi seperti itu kan kasihan?

Ada lagi sejumlah pesantren yang sama sekali tidak selenggarakan pendidikan formal. Sejak pagi hingga malam hanya pelajaran agama. Saat lulus, ilmu mungkin mereka kuasai.

Namun, ijazah mereka tidak bisa menguasai dunia. Untuk jadi guru SD saja tidak bisa. Padahal ilmu-ilmu agama nglothok. Paling mentok raih gelar Doktor Honoris Causa. Itu pun hanya bisa diraih oleh sangat sedikit orang.

Pesantren-pesantren tradisional baik bercorak NU maupun Salafi banyak yang demikian. Negara harus hadir pada kelompok pesantren jenis ini. Kita bisa berdebat mengenai penting tidaknya ijazah. Namun itu lain soal. Pertanyaan mendasar adalah, sudahkah negara hadir untuk kelompok masyarakat ini?

Maka, dengan UU Pesantren ini, ada pengakuan mengenai ijazah yang dihasilkan oleh pesantren meskipun tak selenggarakan pendidikan formal tersebut. Santri patut bersyukur. Kini keberadaannya diakui oleh sistem ketatanegaraan kita.

Meski begitu, namanya juga buatan makhluk lemah macam manusia, UU ini juga pernah kontroversial. Paling populer yaitu saat RUU ini menjadi pertarungan el-classico dua ormas besar, NU-Muhammadiyah. Muhammadiyah merasa UU Pesantren tak mengakomodir dinamika perkembangan pesantren modern. Bahasa lugasnya, UU-nya nahdliyyin banget!

Tokoh-tokoh Muhammadiyah tak merinci pasal mana yang dipersoalkan. Mereka hanya sempat mengusulkan agar ditunda pengesahannya. Satu lagi sarannya, agar dimasukkan saja dalam revisi UU Sisdiknas tanpa perlu UU baru.

Muhammadiyah patut khawatir. Dalam UU itu disebutkan bahwa disebut pesantren jika setidaknya memenuhi unsur: kyai, santri, pondok, masjid (musholla), dan kitab kuning atau dirasah islamiah. Sedangkan Pondok Muhammadiyah jarang ada kyai. Pakainya Direktur atau Mudir. Bahan ajarnya juga tak disebut kitab kuning

Eh tapi, nahdliyyin juga bisa khawatir. Sebab pesantren NU juga tidak memiliki kyai dalam dokumen resmi. Sebutannya paling jamak adalah pengasuh. Itu yang dipakai sebagai jabatan saat tanda-tangan dokumen

Lalu apa maksudnya?

Artinya jika yang disoal hanya nomenklatur, menurut saya, tidak cukup beralasan. Yang penting kan fungsi? Berlaku demikian untuk istilah-istilah lain macam kitab kuning, pondok, dirasah islamiah, lan sak piturute.

Yang perlu dikhawatirkan baik oleh kalangan NU, Muhammadiyah, Persis, sampai Salafi sekalipun adalah santri yang memang belum terakomodir dalam UU tersebut. Siapa mereka? Salah satunya santri pesantren hafalan Al Qur’an atau tahfidz murni.

Di kalangan NU sudah jamak diketahui bahwa pondok tradisional terbagi atas pondok kitab dan pondok Al Qur’an. Pondok kitab selenggarakan dirasah islamiah atau kitab kuning secara sistematis dan terstruktur. Layaknya sekolah pada umumnya, ada jenjang dasar, menengah, dan tinggi. Masing-masing jenjang diisi muatan kurikulum yang berbeda.

Sedangkan pondok Alquran, hanya hafalan Alquran atau tahfidz saja. Tidak ada kajian kitab selain satu-dua kitab di malam hari. Tidak ada semacam kurikulum per jenjang yang bisa jadi acuan . Kurikulumnya ya hanya tahfidz itu. Paling umum hanya terbagi menjadi dua: bin nadzar (level membaca) dan bil ghaib (level menghafal). 

Dari sisi usia santri juga tidak ada batas tertentu. Anak usia SD bisa saja masuk level menghafal jika memang sudah mumpuni. Sebaliknya, anak usia SMA bisa saja masuk level membaca jika belum qualified untuk menghafal.

Ciri yang mudah dikenali: di pondok kitab dibolehkan santri putra berambut gondrong, sedangkan pondok Alquran tidak ada. Sebenarnya nggak terlalu penting sih.

Di luar NU juga banyak pesantren tahfidz seperti itu. Pesantren penghafal Alquran yang dihuni oleh ragam usia dari SD hingga usia setara mahasiswa tanpa kurikulum yang detail.

Pondok-pondok tahfidz ini, sependek bacaan saya, belum terakomodir dalam UU Pesantren. Maka, alumninya akan tetap “dibiarkan” mengarungi kerasnya kehidupan kelak, tanpa bekal ijazah. Kalau dipaksa keadaan, ya sebetulnya tetep bisa sih. Tapi ya gimana ya? Menurut saya, negara tuh harus hadir di semua lapisan masyarakat.

Memang betul, telah ada semacam affirmative action dari berbagai perguruan tinggi. Misalnya, dengan membuka beasiswa khusus para penghafal Alquran. Namun tetap saja, ijazah utama yang digunakan untuk mendaftar adalah ijazah sekolah formal. Tanpa ijazah formal, status penghafal Alquran tetap belum bisa diakui.

Atau suatu saat perlu dibuat rancangan UU Perlindungan Penghafal Alquran. Biar negeri kita semakin syar’i. Apalagi ditambah RUU Perlindungan Jomblo seperti yang saya utarakan tadi. Betapa beruntungnya kelak mereka yang jomblo sekaligus hafidz. Coba mention teman kamu yang kayak gitu!