Anita ― bukan nama sebenarnya ― duduk bersila dan mulai menyalakan dupa panjangnya ketika jam menunjukkan pukul 2 tengah malam. Dia merasa bahwa mantan pacarnya mendatangi seorang dukun dan mengirimkan santet kepada dirinya. Anita percaya bahwa dirinya adalah titisan seorang dewi dari masa Banjar pra-Islam. Sang dewi diyakininya telah berada dalam dirinya dan memberikannya kekuatan supernatural luar biasa.

Genteng di atas kamar tiba-tiba berbunyi nyaring, bagaikan ada sesuatu yang menghantamnya. Anita berkata bahwa telah terjadi ‘perang ilmu’ di atas kamarnya. Kesaktiannya beradu hebat dengan sang dukun yang dibayar oleh mantan pacarnya. Kekuatannya tidak juga hanya sebatas itu. Anita percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan pengasih. Orang yang dimandikannya akan dapat menarik lawan jenis. Ada juga ajian dan mantra-mantra yang dimilikinya, juga untuk pengasihan.

Tentu ilmu seperti itu jauh lebih hebat dari Tinder secara penerapan. Cuma dimandikan, lalu kita akan memiliki daya tarik. Tidak perlu flirting, tidak perlu pendekatan romantis, semuanya sangat praktis. Cuma yang jelas menurut Anita, bahwa mendapatkan aura pemikat seperti itu memerlukan mahar yang teramat mahal. Hal-hal pengasih seperti itu, terlepas sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia selama ribuan atau puluhan ribu tahun lamanya, rupanya tetap relevan, apalagi di zaman di mana orang perlu keserbapraktisan dalam kehidupan.

***

Anita berkata bahwa dirinya bisa menerawang. Satu orang yang sering terlibat dalam persoalan ini adalah Danang ― juga bukan nama sebenarnya. Danang sudah bersahabat lama dengan Anita dan dia sering tertarik dengan perihal supernatural seperti itu. Meski begitu, keyakinan Danang goyah sedikit demi sedikit semenjak dia kuliah. Lingkungan keluarganya yang tradisional di mana ia dibesarkan dengan lingkungan akademisnya yang bebas dan progresif menghasilkan pergulatan batin pada Danang.

Danang adalah seseorang yang cerdas, senang membaca banyak buku, pintar menulis, dan lebih-lebih didukung oleh kemampuan berbahasa Inggrisnya, menjadikan referensinya lebih luas dari teman-temannya. Prediksi Danang sering tepat dan akurat, sehingga banyak orang yang menganggapnya bagaikan ‘sang peramal’. Anita senang berteman dengan Danang karena hal itu. Keduanya memiliki ketertarikan atas topik-topik yang serupa: persoalan supernatural.

Anita berkata bahwa Danang ‘diikuti’ oleh suatu sosok, atau yang sering disebut dalam kepercayaan tradisional kita sebagai “khodam”. Sosok ini berwujud kakek tua, melambangkan kebijaksanaan. Sosok inilah yang dianggap memberikan Danang kecerdasan serta kedalaman pikiran. Sebagai orang yang tertarik dengan dunia paranormal sejak kecil, Danang mempercayai perkataan itu. Terlebih ketika dia ‘tepat’ menebak siapa sosok yang mengikuti Anita, yakni seorang perempuan elegan bagaikan ratu.

Keduanya sekarang meyakini bahwa mereka memiliki kemampuan supernatural. Ini juga yang menandai ‘karir’ paranormal Anita, yakni karena afirmasi dari Danang bahwa ada sesuatu yang hebat dan luar biasa pada dirinya. Danang, sebaliknya, juga mendapatkan afirmasi bahwa dirinya mendapatkan perlindungan yang tak nampak. Hubungan keduanya tampak suportif di mana mereka saling berkonsultasi satu sama lain tentang hal-hal terkait keuangan, karir, hingga percintaan.

***

Titik balik terjadi saat Anita dan Danang bertengkar. Anita tidak senang ketika Danang memberikan nasihat kepadanya untuk memperbaiki hubungannya dengan orangtuanya. Dalam keadaan defensif, Anita mulai berkisah bahwa dewi yang menjadi ‘khodam’-nya adalah suatu jin tingkat tinggi dan akan memberikan dirinya takdir akan kekayaan dan percintaan dengan petinggi-petinggi. Anita juga mulai menekankan bahwa Danang akan ditakdirkan menjadi seseorang yang ‘nomor dua’, penasihat yang berada di bawahnya.

Pernyataan-pernyataan tersebut, terutama yang terakhir, yang seakan menyatakan jika nasib kehidupan Danang, baik soal karir dan percintaan, akan bergantung pada dewi pelindung Anita. Danang yang merasa sakit hati bahwa seakan hidupnya bukan miliknya lagi, melainkan suatu belas kasihan dari sesuatu di luar dirinya, mengalami suatu kesadaran yang tiba-tiba, bagaikan dirinya terbangun dari tidur yang panjang.

Danang yang terhenyak menyadari jika konsep bahwa kehidupannya diatur oleh hal lain di luar dirinya adalah absurd. Tidak hanya oleh Anita, tapi oleh ‘sosok pelindung’ yang mengikutinya selama ini. Seorang sarjana Psikologi, Danang, dalam waktu singkat, menyadari bahwa dirinya mengalami apa yang disebut “waham keagungan” (delusion of grandeur). Semua penampakan dan bisikan yang dialaminya tidak lebih dari waham. Selama lebih dari dua tahun Danang ternyata mengalami masalah mental.

***

Danang menceritakan semua kisah di atas kepada penulis beberapa waktu yang lalu. Dia juga menceritakan dinamika kehidupannya kepada penulis yang mungkin mendasari mengapa dirinya mengalami hal itu. Terlepas dari kecerdasannya, Danang memiliki harga diri yang rendah, sebagai dampak perundungan yang dialaminya ketika bersekolah. Dia merasa bahwa cerdas saja itu tidak cukup. Dia menginginkan bahwa ada sesuatu yang istimewa dari dirinya, yang membedakannya dari orang kebanyakan.

Keadaan tersebut yang membuatnya menciptakan persona kakek tua yang bijaksana. Di satu sisi, harga dirinya yang rendah membuatnya meragukan apakah benar dirinya memang cerdas, sedangkan di sisi lain dia menginginkan bahwa ada takdir yang membuat dirinya istimewa dibandingkan orang lain. Dua faktor tersebutlah yang membuatnya mengandaikan sosok kakek itu dalam dirinya, baik sebagai sumber akan kecerdasannya serta penanda keistimewaannya.

Tidak hanya dirinya, Danang mengenali bahwa Anita juga sebenarnya mengalami waham serupa. Anita adalah korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh ayahnya. Waham yang dialaminya merupakan suatu mekanisme pertahanan atas trauma masa kecilnya. Dia memerlukan sosok sang dewi sebagai usaha untuk memompa egonya karena pengalaman hidup yang traumatis tersebut. Perasaan keagungan (sense of grandiosity) adalah tameng untuk melindungi mentalnya atas kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya hingga kini.

***

Penulis berkesempatan untuk bertemu dan berkomunikasi dengan Anita beberapa kali. Secara penampilan, Anita tampak normal, namun memiliki perasaan untuk berpakaian secara glamor dan fashionable. Tidak ada kesan yang aneh dari penampilan luar. Dalam suatu kesempatan bertatap muka, Anita mengatakan sosok yang mendampingi dirinya hendak memasuki raganya untuk berbicara dengan penulis. Pernyataan tersebut juga terulang pada beberapa kesempatan berikutnya, hingga ‘terjadi’ sebenar-benarnya saat penulis melakukan kontak melalui panggilan telepon.

Anita yang memiliki kebiasaan begadang lebih senang berkomunikasi saat malam hari. Danang menuturkan jika Anita bisa terjaga hingga jam 5 pagi sebelum akhirnya tertidur hingga siang hari. Alasan Anita adalah untuk menjaga dirinya dari ‘serangan gaib’ orang-orang yang hendak menyakiti keluarganya. Penulis berbincang dengan Anita lewat telepon hingga lewat pukul 1 dini hari di mana Anita mengatakan bahwa sang dewi telah memasuki tubuhnya dan berbicara kepada penulis.

Suara Anita perlahan memelan dan dialeknya yang digunakannya (Banjar) berganti menjadi bahasa Indonesia formal. Suara yang diklaimnya sebagai milik ‘sang dewi’ terdengar berbisik. Ketika penulis menanyakan mengenai soal-soal pribadi kepada ‘sang dewi’, jawabannya hampir sama dengan apa yang dibincangkan penulis dengan Anita sebelum dia merasa dirasuki. Esensinya sama, hanya penyampaiannya yang berbeda, menjadi jauh lebih mistik.

Tapi, jujur, tidak ada yang istimewa. Tidak ada penerawangan yang teramat spesifik. Semua yang disampaikan oleh ‘sang dewi’ bersifat common sense, sesuatu yang bisa saja diujarkan oleh teman kepada teman lainnya. Perbincangan terasa seperti membaca kolom zodiak di majalah remaja pertengahan 2000-an: umum dan ambigu. Apalagi terasa ganjil jika mengingat ‘sang dewi’ yang diklaim berasal dari Kalimantan purbakala berbicara dalam bahasa Indonesia formal, yang mengalami standarisasi di Indonesia pasca-merdeka, alih-alih bahasa Dayak atau Melayu kuno.

***

Waham keagungan dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk waham/delusi di mana seseorang merasa dirinya sebagai orang yang hebat atau penting. Berbeda dengan delusi pada gangguan kepribadian narsistik atau gangguan bipolar, waham keagungan bersifat lebih aneh (bizzare) (Kearney & Trull, 2012). Konteks ‘aneh’ di sini mengacu pada keyakinan-keyakinan yang tidak masuk akal, seperti keyakinan bahwa pikiran seorang dihilangkan oleh sesuatu di luar dirinya (thought withdrawal), digantikan oleh pikiran di luar dirinya (thought insertion) atau dirinya dikendalikan sesuatu di luar dirinya (delusions of control) (APA, 2022).

Dari pengalaman Danang berkomunikasi dan yang penulis amati secara langsung, Anita mengalami bentuk yang ketiga, yakni delusion of control. Menurut Kearney dan Trull (2012), sebagai suatu gejala psikologis, waham secara umum dapat menjadi pertanda bahwa seseorang sebenarnya telah atau menunjukkan perkembangan awal skizofrenia. Hal inilah yang menimbulkan kekhawatiran penulis bahwa mungkin Anita mengalami gejala-gejala awal skizofrenia.

Penulis tidak bisa serta merta mendiagnosa apa yang terjadi pada Anita secara semena-mena. Diagnosa yang tepat dan akurat harus dilakukan tenaga profesional melalui asesmen yang menyeluruh. Baik penulis maupun Danang tidak bisa meminta Anita untuk menemui psikolog untuk mengobati waham tersebut, karena dia tidak merasa itu sebagai sebuah gangguan. Meski begitu, Danang berhasil membujuk Anita untuk berkonsultasi dengan psikolog untuk mengatasi trauma yang dialaminya akibat kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya.

Mereka yang mengalami waham tidak akan menyadari dirinya mengalaminya karena adanya penyimpangan realita (distortion of reality). Apa yang dianggap oleh orang lain aneh dan tidak wajar adalah realita dan kewajaran dalam pandangan mereka (Tarsitani & Maraone, 2018). Ini yang menyebabkan deteksi akan waham menjadi sulit. Terlebih lagi, dalam masyarakat yang masih mempercayai persoalan takhayul dan klenik, orang yang mengalami waham keagungan bahwa dirinya memiliki kekuatan adikodrati justru akan dihormati (Gonçalves, 2018).

Hal tersebut yang membuat persoalan waham keagungan menjadi rumit. Waham keagungan telah menjadi bagian tak terpisahkan oleh masyarakat yang masih bergantung dan percaya pada hal-hal supernatural. Hal ini menguatkan keyakinan mereka yang mengalami waham keagungan bahwa mereka memang memiliki kemampuan di atas rata-rata dibandingkan orang kebanyakan. Tantangan seperti inilah yang sebenarnya mengkhawatirkan karena mungkin saja ada banyak bagian dari masyarakat kita yang sebenarnya mengalami persoalan mental namun tidak pernah mendapat intervensi medis secara mumpuni.

***

Kasus Anita seperti di atas dapat menjadi kisah peringatan (cautionary tale) bagi kita mengenai persoalan kesehatan mental yang berada di sekitar kita. Danang, yang merupakan contoh dari pribadi yang gamang dan mencari kepastian hidup, dapat terpengaruh untuk mengalami kewahaman karena pergaulannya dengan Anita yang telah lebih dahulu merasakan gejala tersebut. Artinya, apabila kita tidak memiliki kesadaran bahwa kita memiliki gangguan mental, faktor-faktor lain di luar diri kita, seperti budaya, interaksi sosial, dan lainnya, dapat memperkuat gangguan tersebut.

Di sini kita melihat bahwa waham dapat terjadi tidak hanya oleh satu orang, melainkan dua orang sekaligus. Keadaan inilah yang disebut sebagai folie à deux, yang dapat diartikan sebagai “kegilaan yang dialami dua orang”. Akan tetapi, hal ini juga bisa terjadi pada lebih dari dua orang, yakni tiga (folie à trois), empat (folie à quatre), dan seterusnya (Arnone, Patel & Tan, 2006; Cipriani, Abdel-Gawad, Danti & Di Fiorino, 2018). Ini menunjukkan bahwa ketika bergaul dengan orang yang mengalami delusi, kita juga dapat mengalami (‘tertular’) hal serupa (Cipriani, Abdel-Gawad, Danti & Di Fiorino, 2018).

Inilah mengapa deteksi dini waham keagungan harus dilakukan baik pada orang lain atau pada diri kita sendiri. Hal itu ditujukan agar waham yang terjadi pada diri mereka tidak menjadi semakin parah dan dapat dilakukan intervensi yang relevan dengan segera. Selain itu, diharapkan juga agar kita mengenali dengan sadar apakah kita sebenarnya mengalami sendiri kewahaman tersebut atau tidak ada sehingga kita bisa memutus atau menghentikannya sebelum menjadi semakin parah.

Keluar dari kewahaman tersebut sangatlah penting karena mengembalikan perasaan kendali (sense of control) kepada diri kita sendiri. Kita kadang tidak menyadari bahwa gangguan mental yang kecil dan ringan dapat menjadi semakin parah apabila tidak tertangani seiring perjalanan waktu. Akan menjadi sangat fatal apabila kita lengah dan gagal menyadari bahwa permasalahan tersebut sebagai suatu kewajaran bahkan normalitas dalam kehidupan kita.

Untuk itu, apabila kita merasakan ada permasalahan mental dalam diri kita, hadapi secara rasional dan logis. Jangan mencari pertemanan yang mengiyakan persoalan mental kita. Teman yang baik akan menyadarkan kita dari kegilaan yang kita lakukan dan mengembalikan kita ke jalur yang benar, mungkin dengan kata-kata yang pahit untuk kita cerna, layaknya meminum obat yang sepat untuk sehat. Selain itu, carilah bantuan secara profesional alih-alih memendam masalah dan mengira semua akan berakhir seiring waktu.

If you are feeling uncomfortable with your mental health condition, please seek help!

DAFTAR PUSTAKA

  • American Psychiatric Association. (2022). Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-5-TR. Washington, DC: American Psychiatric Association. ISBN 978-089-0425-7-70
  • Arnone, D., Patel, A., & Tan, G. M. Y. (2006). The nosological significance of Folie à Deux: a review of the literature. Annals of general psychiatry, 5(1), 1-8.
  • Cipriani, G., Abdel-Gawad, N., Danti, S., & Di Fiorino, M. (2018). A contagious disorder: Folie à deux and dementia. American journal of alzheimer's disease & other dementias®, 33(7), 415-422.
  • Gonçalves, J. (2018). Why are delusions pathological?. Dalam Schizophrenia and Common Sense (pp. 163-174). Springer, Cham.
  • Kearney, C. A. & Trull, T. J. (2012). Abnormal psychology and life: A dimensional approach, International edition. Toronto: Cengage Learning. ISBN 978-1-111-34440-5
  • Tarsitani, L., & Maraone, A. (2018). The reality distortion and thought disorganisation dimensions. Dalam Dimensional Psychopathology (pp. 127-158). Springer, Cham.