Hukum tidak pernah berpihak kepada tapol (tahanan politik) dan keturunannya, karena hukum itu milik penguasa. Inilah sepotong kisah Uchi, putri seorang bupati di era revolusi, yang merasa tidak mendapatkan perlakuan hukum yang semestinya dari penguasa an sich.

Uchi atau dipanjangkan namanya menjadi Uchikowati, ber-ayah PKI dan ber-ibu Gerwani. Saat tragedi Gestapu September 1965 meletus, Uchi masih gadis berusia 13 tahun. Ayah Uchi, DA Santosa, memiliki posisi strategis sebagai Bupati Cilacap, Jawa Tengah. 

Sedangkan ibunya, Hartati, seorang bidan yang kerap menolong menggratiskan biaya pada pasiennya. Meskipun menjabat bupati sejak 1958, DA Santosa mengajarkan prinsip: kita harus hidup sama dengan rakyat karena dirinya bupati pilihan rakyat.

Uchi menikmati fasilitas rumah dinas berukuran besar dengan halaman yang luas. Di dalamnya terdapat ruang baca yang penuh dengan buku-buku. Uchi, Ayah DA Santosa, Ibu Hartati, dan kedua adiknya menyukai ruang baca itu. Ada guratan kehangatan dan kebahagian saat berkumpul serta bercengkerama di ruang tersebut. 

Uchi remaja juga aktif berorganisasi di IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Peristiwa berdarah di penghujung September 1965 membawa efek kehancuran. Betapa tidak, Uchi dan keluarga terusir secara paksa. Massa berpakaian hitam-hitam berdemonstrasi, berteriak-teriak mengepung rumah dinas bupati tersebut. 

Uchi beserta keluarga diamankan dan dibawa ke Purwokerto di rumah dinas eks Residen Banyumas. Itu terjadi 10 Oktober 1965, beberapa hari setelah peringatan HUT ke-20 TNI. Sekira dua minggu kemudian, Ayah DA Santosa dan Ibu Hartati dijemput  CPM (Corps Polisi Militer) dari Semarang. 

Ayah dipanggil gubernur, kata petugas. Delapan bulan berlalu, terpetik kabar bahwa DA Santosa ditahan di Penjara Mlaten, sedangkan Hartati ditahan di penjara khusus wanita Bulu. Seorang DA Santosa yang menjabat bupati terciduk aksi pembersihan PKI hingga akar-akarnya yang dilakukan oleh rezim Orba.

Selanjutnya Uchi dan adik-adiknya ikut mbah putri. Cibiran sebagai anak tapol menjadi menu sehari-hari. Uchi dipesani ayah, bagaimanapun sulitnya hidup, tetaplah bersekolah. Di sela-sela sekolah, Uchi pun membantu nenek berjualan membuka warung kecil. 

Menginjak umur 15 tahun, Uchi mulai menerima jahitan pakaian wanita. Jahitan Uchi direspons positif, banyak yang  cocok. Hasil dari menjahit itu bisa untuk membantu biaya adiknya ber  sekolah.

Waktu bergulir terus tak mengenal kata henti. Setelah tujuh tahun berpisah dengan anak-anak, Hartati dibebaskan dari Penjara Bulu, Semarang. Waktu itu tahun 1973, Hartati pun disambut gembira oleh keluarga, tetangga, dan para bakul cilik (pedagang kecil). 

Tetangga dan para bakul cilik di pasar itulah yang dulu pernah ditolong oleh Hartati dalam proses persalinan atau melahirkan. Sedemikian hingga, dapur pun menjadi penuh buah tangan dari ibu-ibu bakul yang datang berkunjung silih berganti. Meskipun sudah dinyatakan bebas, ternyata Hartati tetap diawasi aparat dan masih dikenai sanksi wajib lapor.

Sementara DA Santosa rupanya telah berpindah dari Penjara Mlaten ke Ambarawa, pindah lagi ke Yogyakarta, kemudian Nusakambangan yang lebih berat tantangannya. Dan setelah tujuh tahun bebasnya Hartati, DA Santosa pun dinyatakan bebas dari Penjara Nusakambangan, Cilacap, April 1980. 

Sebagaimana Hartati, DA Santosa juga dikenai sanksi wajib lapor. Jika mau keluar kota harus mendapat izin terlebih dulu dari Koramil dan Kodim. Hanya sekira lima tahun DA Santosa menikmati kebebasan bersama keluarga, karena serangan kanker paru-paru merenggutnya. Sang Bupati pun pergi untuk selama-lamanya.

Uchi sudah menikah dan tinggal di Jakarta ketika ayahnya bebas dari jeruji besi. Selepas ayah meninggal, Uchi pun berjanji pada diri sendiri. “Aku harus lanjutkan perjuangan ayah dan ibu yang belum selesai, yaitu merehabilitasi nama baik. Kami bukan pemberontak dan pengkhianat bangsa seperti apa yang dituduhkan rezim orde baru.” (Sukanta, 2016:377)

Uchi pun bergabung dalam komunitas korban tragedi kemanusiaan 1965. Di sini bisa saling bercerita masa kelam. Juga berkegiatan sosial mengunjungi keluarga eks tapol. Uchi turut mendirikan Paduan Suara (PS) Dialita (di atas lima puluh tahun). Dengan menyanyi di paduan suara tersebut, luka hati dan trauma yang menghantui itu berangsur-angsur terkikis.

Dalam mengarungi hidup yang terus berderap, Uchi menanamkan pemahaman kepada adik dan anaknya tentang masa berat menjalani kehidupan di atas stigma dan harapan.       

“Stigma yang diberikan penguasa dan masyarakat waktu itu dan harapan yang kami bangun sendiri sebagai teman dalam perjalanan yang penuh penderitaan. Harapan kami ke depan adalah agar generasi muda dapat melihat peristiwa ini dengan objektif sehingga tidak terulang lagi peristiwa keji ini ... 

... Betapa pun kelamnya sejarah bangsa kita ini, mari kita bersama-sama mengakui bahwa pernah terjadi tragedi berdarah ini, pembantaian terhadap rakyat yang dilakukan oleh negara.” (Sukanta, 2016:378)

Di kemudian hari, Uchi menemukan goresan tertulis ekspresi perasaan sang adik terkait kehidupannya sebagai anak tapol. Si adik Liliek, antara lain bercerita bahwa ia pernah menonton langsung konser PS Dialita yang berkolaborasi dengan Bonita Koes Hendratmo dan Kartika Yahya. 

Bonita, putri dari penyanyi legendaris era 1970-an, itu membuka konser dengan suara merdu mengalunkan lagu Someday Over the Rainbow. Ternyata lagu tersebut adalah lagu favorit yang sering disenandungkan ayah Liliek, DA Santosa. Menonton Bonita bernyanyi, air mata Liliek meleleh tak terbendung.

Liliek mencatat, ayahnya dikurung 20 tahun untuk tuduhan yang tak terbukti  di pengadilan. Hukum tak berpihak kepada tapol, karena hukum adalah penguasa yang seenak sendiri mempermainkannya. Usai terbebas, kehidupan tak lebih baik dibandingkan di dalam penjara. Dianggap sampah, sulit dapat pekerjaan, dihina dan disingkirkan dari masyarakat.

Pascakebebasan sang ayah dari jeruji besi, Liliek berstatus masih sendiri, sedangkan kakak dan adiknya sudah berkeluarga. Meski sempat berkumpul kembali bersama ayah dalam waktu yang tidak lama, Liliek masih sempat mendengar sayup-sayup siulan merdu sang ayah menyenandungkan Someday Over the Rainbow itu.

Anak bungsu Uchi, Danang, yang berarti salah satu cucu DA Santosa, pun turut membuat catatan pendek curahan hati. Kata Danang, kakeknya yang pernah menjabat Bupati Cilacap itu terlahir di Makasar tahun 1923 bertepatan dengan Hari Natal.

Sebagai penganut Kristen, kelahiran di hari baik itu mengandung hikmah tersendiri. Buktinya, di kemudian hari DA Santosa menjadi bupati. Namun, Danang yang tahun lahirnya bertepatan dengan tahun terbebasnya kakek dari penjara, hanya sempat mengenal kakek sebentar saja, sebab saat Danang berusia lima tahun, kakeknya itu meninggal di tahun 1985.

“Setiap kali aku mendengar cerita tentangnya atau melihat artefak peninggalannya, aku seperti melihat fenomena gunung es dalam hidupnya yang singkat bagiku, tapi besar artinya bagi sebuah negara bernama Indonesia. Besar artinya bagi Indonesia. Ya, hidupnya menyertai terbentuknya negara ini ... 

... Tragedi 1965 adalah momen yang kuanggap sebagai sejarah besar yang kelam bagi negaraku serta kakekku. Tragedi yang juga berpengaruh besar pada hidup ibuku serta kakak dan dua adiknya. Tragedi yang bagi seluruh korbannya terlalu sulit untuk dilupakan, tapi juga terlalu menyakitkan untuk diingat.” (Sukanta, 2016:384)

Demikianlah, Uchi dan orang-orang tercinta di lingkungan keluarga, melintasi sungai kehidupan yang penuh aniaya. Namun, masih ada setitik cinta. Cinta itu membawa berdamai dengan masa lalu, dengan penderitaan, membuatnya tenang.  Menatap masa depan dalam temaramnya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan 1965.

Ungkapan Uchi di atas tertoreh dalam buku Cahaya Mata Sang Pewaris: Kisah Nyata Anak-Cucu Korban Tragedi '65 yang dieditori Putu Oka Susanta, dengan pengantar Dr Nani Nurrachman Sutojo, dosen Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya, Jakarta.

Baca Juga: OTT KPK