Seperti Paris, Jogja adalah kota sejuta seniman. Mulai dari ragam hajatan pameran seni rupa, galeri hingga kolektor besar berkumpul. Selain lokalitasnya yang autentik, Jogja menjadi tempat singgah dan menetap para seniman dari daerah-daerah.
Melalui proses kontemplasi yang panjang dan rasa penasaran yang beririsan dengan kebingungan, kiranya saya tergugah memberangkatkan diri untuk mencari jejak historis seni rupa di kota tempat saya lahir: Jambi. Atas bantuan banyak kawan, akhirnya saya menemukan Pak Yadi yang adalah narasumber sekaligus seniman yang menjadi objek wawancara saya.
Mungkin bisa sedikit diceritakan, Pak, bagaimana awal perjalanan berkreativitas Pak Yadi di dunia seni rupa?
Dalam proses berkesenian, awalnya aku memilih terjun ke jalan dulu, menjadi pelukis jalanan. Mendapatkan pesanan untuk lukis potret tubuh atau lukis-lukis komersil lainya. Pada tahun 2004, aku bersama teman-teman yang berada di jalan membuat sebuah kelompok yang bernama Tajam (temporary fine art jambi).
Selama di Tajam, banyak hal yang dilakukan. Kita pameran di hotel-hotel, kita ikut jambore seni rupa, kita juga melakukan studi banding terhadap kelompok-kelompok seni lain di Jawa dan beberapa daerah di Sumatera seperti Lampung, Bengkulu, dan kota lainya. Pada akhirnya, karena setiap individu-individu yang ada di dalam kelompok Tajam itu punya kepentingan dan kesibukan masing-masing, akhirnya kita bubar.
Aku sendiri tetap berkarya, tetap mencari sesuatu, tetap berproses. Keliling Sumatera hampir semua provinsi rata aku datangi: dari Aceh sampai ke Lampung. Lalu, di Jawa Barat, di Bandung, di Cemara, kemudian di Jogja, di taring padi. Lalu aku ke Bali. Di Bali aku kerja di Art Shop. Setelah itu, baru balik ke Jambi, menikah dan sekarang di Grindsick.
Menurut Pak Yadi, seberapa penting kelompok dalam perjalanan berkesenian?
Kelompok itu menurut aku sangat penting. Karena bagaimana pun juga, proses sebuah kekaryaan tidak terlepas dari sebuah kelompok. Walaupun ada juga teman-teman yang berkesenian secara individual. Hanya saja, pencapaiannya agak sedikit lambat. Karena sebuah kelompok atau ‘’koloni’’ selalu mempunyai tujuan yang sama. Sehingga capaiannya agak sedikit lebih efektif.
Seorang pelukis kan tidak ada yang original ya, Pak. Dia akan terpengaruh dengan pelukis sezamannya atau pelukis yang tidak sezaman denganya. Nah, dalam pola berkesenian, Pak Yadi terpengaruh oleh siapa?
Mungkin bahasanya bisa seperti influens ya. Yang jelas, kalau aku, emmm, banyak sih pelukis-pelukis sebelumnya yang aku baca. Hanya saja, aku tidak menyerap semuan proses yang mereka lakukan seperti apa. Tapi, dalam segi teknik dan dalam segi kekaryaan, aku lebih cenderung ke surealis. Dulu aku sering berkarya hampir menyerupai karya-karya Salvador Dali.
Saya memahami ada dua pola gerakan berkesenian. Yang pertama, seni untuk rakyat dan yang kedua, seni untuk seni. Nah, bagaimana Pak Yadi menyikapi dua hal ini?
Kalau aku sih tidak terlalu memusingkan hal-hal seperti itu ya. Hanya saja, ketika kita membuat karya, memang intinya harus diapresiasi kepada masyarakat. Karena ada karya yang memang dikonsumsi masyarakat. Di mana terjadi proses jual-beli di sana. Atau karya yang berdasarkan idealisme.
Jadi, ketika berkarya, lebih baik menentukan dulu. Saya menciptakan produk ini arahnya mau ke mana. Apakah ini komersil atau idealis. Ada juga yang terkadang melukis untuk kepuasan batinnya sendiri.
Sekarang kan sedang marak wacana seni sebagai alat perlawanan. Bagaimana Bapak merespons isu sosial-politik dengan media kanvas?
Bukan sekadar persoalan sebagai alat perlawanan. Atau media. Terlepas dari itu semua, ada sebuah tanggung jawab yang harus dilakukan. Ketika seseorang sudah mengambil atau memilih sebuah pilihan, dia harus bertanggung jawab atas itu. ketika aku memilih untuk berkesenian di seni rupa ini.
Aku harus pula bertanggung jawab atas karyaku. Hanya saja, peristiwa, ataupun viral-viral yang terjadi, itu yang menjadi landasan untuk menghasilkan sebuah karya. Akhirnya, karya tadi akan menjadi sejarah. Bahwasanya pada masa aku berkarya waktu itu, atau kapan pun, situasi kehidupan masyarakat ataupun kehidupan aku sendiri seperti itu.
Mungkin bisa sedikit dijelaskan Pak terkait gerakan seni rupa di Jambi?
Di Jambi, untuk saat ini, sudah tumbuh berkembang terkait seni rupa. Banyak kelompok-kelompok yang memang bertahan lebih dari 30 tahun. Kelompok itu bernama tanah pilih. Ada juga teman-teman yang lain: Jambi Art Forum, atau Dudel Art Jambi. Yang jelas, untuk saat ini. aku fokus terhadap rumah kolektif di Grindsick..
Apakah ketika teman-teman seni rupa mengadakan pameran, datang kolektor-kolektor besar dari Pulau Jawa untuk melihat aktifitas berkesenian di Jambi?
Hal-hal seperti itu masih belum berbudaya. Ada kecenderungan pameran tadi bukan sebatas kita memperjualkan karya. Karena disini seni rupa lebih mengarah kepada apresiasi. Bahwasanya, seni rupa itu luas, ada lukis, ada patung, ada instalasi, dan banyak lainnya. Di antara itu semua, banyak yang tidak menjadi bagian dari konsumsi masyarakat.
Selain melukis, apalagi aktivitas Pak Yadi?
Aku bermusik juga. Kemudian, buat survive, aku kerja percetakan seperti membuat buku, undangan weading dan lain-lainya.
Harapan Pak Yadi kepada aktivitas seni rupa di Jambi kedepanya seperti apa?
Kalau aku sih menghrapkan lebih banyak kelompok itu akan jauh lebih baik. Yang jelas, di antar kelompok itu mampu menciptakan persaingan yang sehat. Dengan itu, Jambi akan menghasilkan percepatan-percepatan pertumbuhan seni rupa yang maksimal.
Yang paling terakhir, Pak. Dengar musik apa hari ini?
aku dengerin Mozart. hehehe