Kurang lebih tujuh tahun terakhir hingga masa-masa akhir berkuliah, banyak waktu yang saya habiskan untuk mencari koherensi empiris sebuah hubungan yang konsisten antara penalaran dan keyakinan. Tidak hanya relevansi penalaran yang saya curigai melainkan juga pondasi-pondasi keyakinan seperti agama.

Bagi saya saat itu, ajaran agama yang saya pelajari sejak kecil hingga sampai sekarang, kata tradisi, kata sejarah dan ajaran Ulama-Ulama tidak banyak berguna. Saya merasa terlalu terburu-buru menjawab kehidupan setelah kematian, mencari jawaban  atas kehidupan saja tidak pernah tuntas.

Bagi saya saat itu, orang-orang yang memilih hidup religius di zaman yang tidak lagi religius adalah orang-orang yang tidak punya banyak informasi tantang apa yang mereka yakini. 

Mereka tidak pernah tahu bahwa ada sekitar 4.300 agama di muka bumi; semuanya memberi informasi yang beragam tentang apa yang terjadi setelah kematian, mulai dari absolutisme keyakinan sampai pada scientology pemeluk yang percaya setelah kematian manusia akan dijemput oleh piring terbang.

Apa pun informasi yang kita yakini, kemungkinan besar kita tidak memilih sendiri keyakinan itu, melainkan pilihan kata-tradisi, kata-sejarah dan kata orang tua yang memilihkan agama untuk kita. Sekalipun kita memiliki keyakinan bahwa sains dan ilmu pengetahuan memiliki informasi yang tak kalah penting, namun religiusitas tampaknya sudah menjadi penguasa semua informasi tentang kehidupan dan kematian.

Saya sering berprasangka terhadap informasi-informasi semacam itu, selain menjadi klise, informasi itu juga tak memiliki dasar. Karena saya percaya bahwa pengalaman dan rasio adalah dua sumber pengetahuan yang mendasari pengetahuan. 

Artinya, bahwa kebenaran  pengetahuan harus ditentukan oleh korelasi pengalaman dan rasio yang memiliki hubungan konsisten antara pengalaman dan akal. Hal ini yang tidak saya temukan secara empiris maupun rasional dalam memverifikasi kebenaran pernyataan dalam pengetahuan agama.

Meskipun beberapa filsuf Abad Pertengahan telah mencoba membuktikan keberadaan Tuhan. Seperti Thomas Aquinas  yang  mengemukakan prinsip yang dinamakan theologia naturalis, yaitu bahwa dengan akal, manusia dapat mengenal Tuhan, tahu bahwa Tuhan itu ada, dan juga beberapa sifat-sifatnya.

Tetapi pembuktian semacam itu hanya dapat dilakukan secara a posteriori, yaitu setelah manusia mengajukan pertanyaan tentang dunia dan dirinya sendiri yang tak sepenuhnya rasional dan sudah tentu bukan pembuktian empiris.

Sudah hampir tujuh tahun saya ragu dan tidak berkeyakinan secara serius, baru kemudian perjumpaan saya dengan Bambang Nugroho yang akrab dipanggil (Mas Nuke), dalam obrolan singkat di sebuah apartemen kalibata city membuat saya jadi berpikir Kembali tentang agama dan keyakinan. Perspektif hermeneutika yang ia gunakan dan khas ilmu alam telah mengantarkan saya melihat iman dari sisi yang lain.

Beliau menyatakan bahwa ‘’ada keseimbangan antara matematika dalam kitab suci yang patut kita uji, bilangan adalah roh dari matematika dan matematika merupakan bahasa murni ilmu pengetahuan (linguapura)’’. Ungkapnya, sambil menjelaskan beberapa poin-poin penting, kaitannya antara matematika dan kitab suci.

Penyebutan angka-angka yang beliau sampaikan, bukan asal disebutkan, tetapi memiliki makna yang sangat dalam, saya diam-diam mengusut pernyataan beliau. 

Benar saja, di dalam Al-Quran disebutkan sejumlah angka-angka. Ada begitu banyak penalaran rasional yang beliau sampaikan mulai dari karakter Mushaf dari struktur Al-Quran yang selalu konsisten, dan mengapa surat Al-'Alaq yang pertama diturunkan justru di tempatkan di surat 96, dan itu berhubungan dengan numerik 32 hurub Al-Quran.

Bahkan pendekatan numerik matematika bisa mengkaji sejarah penulisan kitab suci, stabilisasi ayat-ayat dan surahnya, serta informasi yang dikandungnya. Misalnya, peristiwa penyaliban Yesus, apakah informasi bahwa Yesus disalib sesuai dengan fakta sejarah atau tidak. Bukan saja metode numerik dan penjelasan dari ayat ke ayat yang beliau terangkan tetapi juga sekaligus interpretasi makna di balik teks Al-Quran.

Meskipun hal itu baru bagi saya, tetapi saya masih mengingat ungkapan Galileo Galilea (1564-1642 M), yang mengatakan: ‘’Mathematics is the language in which God wrote the universe’’. 

Hal ini menunjukkan bahwa matematika dan angka-angka (bilangan) memiliki precision di dalam kehidupan. Padahal dahulu saya tidak pernah mengerti maksud dari tulisan itu, namun sekarang menjadi terang dan senada dengan pendapat Carl Sagan, seorang fisikawan yang saya kagumi juga mengatakan,  matematika sebagai bahasa yang universal.

Terus terang, hari itu saya mendapatkan pelajaran berharga dari beliau tentang apa artinya iman, yang tak saya temui di ruang-ruang lain. Perspektif hermeneutika dan khas ilmu alam itu telah membuka tabir penalaran rasional, yang sama sekali baru bagi saya. 

Karena membaca teks kitab suci dengan metode matematika, semiotika dan sains bukanlah perkara gampang. Tetapi merupakan langkah awal untuk saya lebih jauh menyelami iman dengan penalaran ilmiah dan rasional.

Karena saya yakin untuk mengkaji kitab suci secara ilmiah adalah mengkaji hal-hal yang terkait dengan apa yang bisa dibuktikan. Mulai dari perkembangan dialek, bahasa, bentuk tulisan bisa dicek dan diverifikasi. Hal-hal yang tak bisa diverifikasi tak bisa dianggap ilmiah. Ia masuk wilayah teologi dan keyakinan.

Dari diskusi singkat dengan beliau saya menyimpulkan bahwa semua persoalan pengetahuan tentang dunia sebaiknya diselesaikan dengan menggunakan pendekatan ilmiah atau “sikap ilmiah”. Karena Itulah poin utama tesis kebenaran yang harusnya muncul di tengah interpretasi kitab suci. Seperti yang dilakukan Mas Nuke adalah upaya membawa ke luar dengan penjelasan ilmiah.

Lagi pula apakah salah jika perspektif ilmu alam menuntut orang yang menekuni bidang-bidang keilmuan lain seperti  agama dan ilmu sosial untuk memiliki sikap ilmiah yang sama? Saya pikir, baik secara etis maupun epistemologis, tidak ada yang salah dalam tesis semacam itu.

Justru hal itulah yang seharusnya menjadi perspektif Islam kekinian. bukan hanya sebagai kumpulan informasi doktrin belaka, melainkan menjadikan Islam sebagai sumbangsih peradaban ilmiah yang memberikan kemajuan kemanusiaan. Seperti di masa-masa kejayaan abbasiyah dengan mengedepankan ilmu pengetahuan.