“Seandainya dunia ini jelas, kiranya tidak akan ada seni.”
—Albert Camus—
Sebelum terlanjur lolos, diskusi mengenai masalah saintisme/fanatisme sains barangkali bisa lebih ‘lunak’ jika ikut nimbrung dalam gegap gempita jagad sepak bola hari-hari ini. Salah satu hal yang tidak sanggup dicerna sains ialah apa yang dicari para pemain sepak bola di lapangan selain uang. Apa yang dilakukan pendukung Barcelona dan Real Madrid hari-hari belakangan bagi sains juga adalah mubazir belaka. Tapi kita pun tahu, itu karena ia dingin dan datar, persis karena objektivisme yang di-‘dupai’-nya itu menangguhkan (mengurung) subjek (perasaan, religiositas, seni, dll).
Fanatisme sains bukanlah sains. Jika sains adalah satu sikap ilmiah, fanatisme lebih mirip keyakinan. Ia diisi klaim-klaim di luar kesanggupan metodis sains. Optimisme berlebihan yang memutlakkan sains sebagai satu-satunya jawaban untuk seluruh pertanyaan manusia adalah apa yang kita rujuk dengan istilah saintisme atau fanatisme sains itu.
Saintisme menganggap seluruh upaya epistemik di luar metode ukur tidak sah. Filsafat, seperti juga agama, disebut telah usang. Satu-satunya harapan yang tertinggal ialah sains. Persis di situ ia fanatik. Saintisme adalah satu klaim semata, atau meminjam istilah Schumacher, satu ‘lompatan sembarangan’ di luar batas metodisnya.
Apa artinya fanatik? Fanatik berarti tidak berpikir, menjadi dogmatis, bersikap absolutis. Orang fanatik tidak mampu berpikir alternatif, tak ada dimensi kritis atau dialektika. Mereka Kehilangan kebebasan untuk berpikir oposisional, kehilangan ‘kecurigaan’ dan boros dengan jawaban. Sikap seperti ini tidak hanya terjadi dalam agama, tetapi juga sains dan filsafat.
Mengkritik fanatisme sains, Goenawan Mohamad betul, ia mengutip Heidegger menulis “science doesn’t think” (sains tidak berpikir). Karena ‘tidak berpikir’ ia potensial menjadi dogmatis.
Memahami realitas, sains ‘meringkus’ jagad raya yang kompleks ini ke dalam model-model matematis yang kaku. Dengan ‘reduksi metodis’ itu, ia memang berhasil memahami realitas dan muncul sebagai bidang ilmu pengetahuan andal hingga hari ini.
Namun, sains lupa bertanya misalnya, apakah realitas itu sendiri sama saja dengan model-model sains? Apakah alam semesta dan dimensi-dimensi kehidupan seluruhnya tuntas dalam lingkaran, persegi, atau segitiga? Sains tidak sampai di situ.
Maka filsafat harus ‘menegur’ bahwa pencarian kebenaran dalam sains baru separuh jalan. Sains memang berhasil, tetapi ia menjadi kurang tajam. Karena itu kritik muncul dari Filsafat, antara lain nanti dalam Fenomenologi. Demikian, filsafat tidak lain ialah kritik.
Epistemologi
Filsafat sebagai satu pendekatan kritis paling menonjol sejak Kant (1724-1804). Filsafat kritis Kant lahir dalam bentuk epistemologi. Ia mempertanyakan pengetahuan dengan pertanyaan, apa yang dapat kuketahui? (what can I know?). Pertanyaan tersebut adalah salah satu dari dua pertanyaan lainnya dalam Critique of Pure Reason (1781) (Kritik Akal Budi Murni), yakni “apa yang mesti kulakukan?” (What ought I do?) dan “apa yang bisa aku harapkan?” (What can I hope for?).
Ketiga pertanyaan kunci tersebut masing-masing menyangkut metafisika, etika, dan teologi. Itulah mengapa Critique of Pure Reason sering kali dianggap sebagai bentuk awal dari apa yang sekarang kita sebut filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of science) atau epistemologi.
Pada Kant, tersebut, menjadi sangat terang bahwa Filsafat adalah kritik. Kritik berarti interupsi terhadap segala klaim. Filsafat memeriksa pendasaran-pendasaran pemikiran (kerangka epistemologis).
Konteks filsafat Kant ialah perdebatan antara rasionalisme dan empirisme. Dengan kritik epistemologi, Kant menemukan bahwa kedua kerangka pengetahuan tersebut (rasionalisme dan empirisme) jika diperiksa dengan teliti, masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Bagi Kant, kebenaran tidak bisa hanya dari kepala lalu membentuk realitas seperti kata kaum rasionalis (rasio adalah forma terhadap realitas) sebab pasokan informasi bagi pengetahuan tidak lain muncul melalui cerapan indera.
Sebaliknya, informasi dari indera tidak akan menjadi pengetahuan sebab rasiolah yang memiliki kategori-kategori a priori bagi mungkinnya pembentukan atau penataan realitas menjadi logis. Demikian, cara kita membentuk pengetahuan menurut Kant ialah sebuah sintesa antara materia (pengalaman/aposteriori) dan forma (pikiran/a priori).
Pikiran Kant tersebut ternyata juga menyingkap watak epistemis kita, yakni bahwa kita selalu bersikap judgemental atas realitas. Mengetahui berarti memaksa realitas ke dalam kategori-kategori a priori itu. Inilah yg kemudian dikritik oleh eksistensialisme, mulai heidegger sampai Sartre. Eksistensialisme menekankan eksistensi daripada esensi atau pengetahuan. Jadi, realitas tidak perlu masuk akal, sebab reduksionisme yang melekat pada pengetahuan adalah pengasingan terhadap realitas.
Metafisika
Kembali pada Kant, ia menyebut pengetahuan (sintesa antara forma dan materia) sebagai metafisika atau ontologi, yakni realitas sejauh ditangkap atau fenomena. Realitas dalam pengetahuan rasional atau metafisika itu tidak lain ialah realitas yang dipasung. Karena itu, ada beda antara pemahaman atas realitas dan realitas itu sendiri (noumena). Jadi realitas itu sendiri lebih luas dari sains. Tanpa kesadaran ini, kita terprovokasi untuk bersikap dogmatis dan sewenang-wenang.
Heidegger juga bicara panjang lebar mengenai hal ini dalam kritiknya terhadap metafisika sebagai ontotheologi. Dikatakannya bahwa metafisika menyamakan representasi pikiran dengan realitas pada dirinya sendiri dan oleh karenanya rentan terhadap kesewenangan. Hal ini menurut dia terbukti dalam instrumentalisasi alam demi kepentingan manusia semata. Termasuk di sana, fanatisme adalah produk yang lahir dari satu sikap tertutup pada realitas, absolutisme rasional.
Karena itu, epistemologi atau kritik ilmu pengetahuan adalah upaya filsafat memeriksa klaim bahwa manusia dapat mengetahui segala sesuatu. Pertanyaan Kant “apa yang dapat kuketahui?” lebih jauh berarti apakah manusia dapat mengetahui segalanya? Ternyata tidak.
Dalam kritiknya itu ia menyibak batas pengetahuan, yakni bahwa pengetahuan hanya sebagian kecil dari keseluruhan realitas dan apa yang di luar ilmu pengetahuan tidak begitu saja menjadi klenik atau ‘pseudo problem’ memakai istilah Stephen Hawking. Dengan demikian, fanatisme ilmu ialah nonsense.
Fenomenologi
Bertolak dari sana, muncullah satu model pendekatan lain, yakni fenomenologi. Fenomenologi berarti filsafat deskriptif, bukan reflektif eksplanatif. Jadi menurut fenomenologi, realitas tidak dijelaskan tetapi dideskripsikan apa adanya, tidak dipaksa untuk rasional.
Fenomenologi digambarkan seperti cahaya yang menyinari ruangan, ia menyingkap dan membiarkan segala sesuatunya tampak, tampak apa adanya, [Strathern, 2001].
Lalu fenomenologi dikenal dengan istilah suspensi pemikiran atau refleksi rasional, yakni membiarkan pengalaman muncul ke permukaan. Sebab realitas itu hadir secara langsung, konkret, tanpa prantara, atau pra-reflektif, sementara pikiran ‘menghukum mati’ eksistensi yang konkret dan langsung itu.
Eksistensialisme
Fenomenologi kemudian melahirkan eksistensialisme dengan gagasan kunci, yakni “eksistensi mendahului esensi.” Sementara pengetahuan atau sains membentangkan ‘realitas mati’, eksistensialisme memperjuangkan ‘dunia kehidupan’ (Lebenswelt).
Dalam eksistensialisme, puncak ‘pengetahuan’ justru ialah penangguhan rasionalitas, menuju pengalaman. Sebab hidup bukanlah model-model matematis. Dunia kita melampaui ontologi, yakni pengalaman langsung, tanpa perantara, kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain, kehidupan itu di luar atau mendahului pengetahuan (sains).
Dengan kata lain, eksistensialisme, demikian Kierkegaard, adalah apresiasi realitas, partikularitas yang kompleks. Ia menentang formalisme universal atas realitas serentak pula menekankan keunggulan Ada (Being) di atas rasionalitas. Dengan demikian, ia menunda fanatisme pengetahuan (sains).
Catatan Akhir
Semua refleksi tersebut ialah sumbangan kritis filsafat. Filsafat sebagai kritik ialah intrupsi terhadap segala klaim termasuk yang dibuat sains. Tujuannya tidak lain untuk melahirkan kejernihan. Sementara itu, klaim saintisme lebih mirip simptom matinya daya kritis ketimbang kritik terhadap filsafat.
Filsafat, walau bagaimana pun, tidak terdesak sains sebab andaikata sains dapat menerangkan semuanya, tidak akan ada seni, seperti kata Camus. Jika hidup hanya soal ukur-mengukur, tidak akan ada sepak bola.
Maka tidaklah berlebihan kiranya dikatakan bahwa filsafat ialah 'kekecewaan' terhadap sains, persis karena ia terbatas terhadap kompleksitas realitas manusia.
Dengan daya kritisnya, filsafat mengawasi ambivalensi pengetahuan sebab barangkali, "pengetahuan tidak hanya berdaya," seperti kata Bacon, tetapi juga "berbahaya."