Tak ada satu pun yang tahu persis soal bagaimana jadinya masa depan dunia dan peradaban. Tetapi setiap kita bebas membuat prediksi.

Sebab, hakikat manusia itu sendiri selalu ingin tahu tentang segala hal yang akan terjadi pada hidupnya di masa-masa mendatang.

Bila di masa lalu para ahli pembuat prediksi itu biasanya disebut sebagai "dukun", maka di masa kini mereka disebut dengan kaum intelektual (ilmuwan).

Namun yang jelas, keduanya punya metode berbeda. Jika di masa lalu sang "dukun" menggunakan waham irasional, maka kini para intelektual menggunakan metode rasional berlandas sains: observasi, akurasi matematis dan eksperimen.

Bahkan, bagi sebagian besar kaum intelektual, kini sains bukan lagi dipakai sekadar untuk memprediksi masa depan. Tetapi sains telah digunakan untuk menciptakan masa depan itu sendiri.

Benar, kini dengan sains, peradaban kita ingin merengkuh cita-cita masa depan, yaitu: menciptakan dunia yang lebih baik. Salah satu cara sains untuk menggapai cita-cita itu adalah: pemanfaatan teknologi.

Tapi apakah benar sains dan teknologi bisa membikin dunia dan peradaban jadi lebih baik?. Bisa ya dan tidak.

Yuval Harari, sejarahwan jebolan universitas Oxford, dalam bukunya berjudul Homo Deus (2015), terlihat berpandangan optimis. Ia menyebut bahwa karena sains dan teknologilah peradaban kita kini berhasil menanggulangi sebagian besar penyakit, kelaparan dan perang. Masalah-masalah utama yang memang dihadapi peradaban kita di masa lampau.

Karena sains dan teknologi pula peradaban kita kini merasakan harapan hidup lebih panjang yang tak ada bandingnya dalam periode sejarah kapanpun.

Bahkan, Harari memprediksi, bersama sains dan teknologi semacam Artificial Intelligence (AI) serta rekayasa genetika, manusia akan berevolusi menjadi Tuhan di masa mendatang. Sebab, agenda masa depan kita yang paling agung tiada lain adalah: keabadian.

Kalau ditilik kembali, sebenarnya gagasan dasar dibalik prediksi-prediksi Harari bukanlah hal baru. Gagasan itu telah ada sejak zaman Pencerahan (Aufklarung) yang dimulai sekitar abad ke-17.

Dalam Homo Deus, Harari hanya memolesnya sedikit dengan tambahan penemuan-penemuan baru di abad ini. Dan, tentu saja, juga dengan imajinasi serta kemampuan berceritanya yang --saya akui-- sangat memikat.

Sebagai catatan, sebagian pernyataan Harari memang ada benarnya. Dan, yah, sah-sah saja ia memprediksi seperti itu. Namun bagi saya pribadi, prediksi Harari tampak terlampau jauh.

Di sisi lain, sebagaimana saya bilang diawal, setiap kita juga bebas untuk membuat prediksi-prediksi lain. Kita bebas melihat jenis skenario lainnya.

Jika Harari menganggap sains dan teknologi akan mengantar manusia kepada keabadian, maka saya menganggap perkembangan sains dan teknologi juga bisa mengantar manusia pada kesepian. Mengapa kesepian?.

Teknologi dan Kesepian

Barangkali dari sekian banyak teknologi hari ini, smartphone dan media sosial lah yang memberi efek paling signifikan bagi kehidupan kita. Ia berdampak ke semua lini paling krusial dari hidup manusia.

Salah satu peran dan tujuan utama kehadiran smartphone dan media sosial adalah untuk memperlancar komunikasi. Tentu saja banyak dari kita sekarang telah sangat menikmati fungsi tersebut.

Namun, tak sedikit juga dampak buruk dari keduanya. Mari tengoklah kenyataan sehari-hari. Sudah berapa banyak orang justru bertengkar hanya berawal dari komentar di media sosial?. Berapa banyak korban penipuan akibat media sosial? Sudah berapa banyak dari kita yang sudah kecanduan smartphone dan internet?. Jelas, tak terhitung jumlahnya.

Dan yang terburuk, kalau boleh jujur, apakah Anda juga jengah ketika di waktu momen interaksi obrolan langsung, malah kawan-kawan kita asyik bermain game di smartphone-nya?. Boro-boro sekali atau dua kali momen. Lah ini, setiap kali kita berkumpul, momen kita berkomunikasi lisan selalu lebih sedikit ketimbang momen yang dihabiskan bersama smartphone.

Suka atau tidak, demikianlah faktanya. Kita hidup dengan budaya seperti itu hari ini. Setidaknya, fenomena tersebut telah terjadi dalam 1 dekade belakangan.

Budaya demikian bisa membuat kita, seperti yang dibilang para psikolog, merasa sendirian walau dalam keramaian.

Bagi saya, fenomena smartphone beserta media sosial ini sungguh paradoks: ia ingin memperlancar dan memperpendek jarak komunikasi, tetapi di saat bersamaan malah memperlebar jarak dan mencipta ruang sunyi di antara kita.

Dalam Psychology Today Magazine edisi Maret 2018, disebutkan bahwa penggunaan media sosial jadi salah satu variabel yang berperan atas tumbuhnya bibit kesepian. Penggunaan media sosial memutus keterampilan seseorang dalam berinteraksi di dunia nyata. Khususnya, bagi para remaja dan dewasa muda.

Kultur digital juga dianggap berandil besar dalam membuat kita makin terisolir. Walau tak bisa digeneralisir, namun memang ada kecenderungannya membuat kita tenggelam dalam kesepian. Banyak peneliti telah mengungkap hal ini. Salah satu dampaknya adalah menumpulkan kemampuan interaksi kita dengan sesama di dunia nyata.

Padahal, ditinjau dari perspektif evolusi, manusia telah ratusan ribu tahun bergantung pada kemampuan interaksi komunikasi lisan secara langsung. Jared Diamond, seorang ilmuwan multitalenta dari Amerika Serikat, dalam bukunya berjudul Guns, Germs and Steel (1997), menyebut bahwa manusia bergantung pada kemampuan interaksi komunikasi lisan sejak sekitar 100.000 tahun yang lalu. Yakni, ditandai berkembangnya penyempurnaan laring sebagai dasar anatomis bagi terciptanya bahasa untuk media komunikasi.

Harari sendiri mengistilahkan interaksi komunikasi lisan ini sebagai “gosip”. Dan, ia pun mengakui kemampuan menggosip ini sangat berperan penting dalam sejarah evolusi manusia (Homo sapiens).

Dalam buku lainnya berjudul The World Until Yesterday (2012), Jared juga dengan apik memaparkan fakta bahwa peran interaksi komunikasi lisan secara nyata sangat penting dalam sebagian besar masyarakat tradisional.

Pada masyarakat tradisional Papua, misalnya. Hampir dalam satu hari penuh mereka tak pernah berhenti mengobrol dan berinteraksi langsung. Baik ketika berburu, malam api unggun hingga terbangun di tengah lelap tidur. Pola serupa juga berlaku pada sebagian besar masyarakat tradisional lainnya.

Hal ini membuat ikatan sosial dalam masyarakat tradisonal cenderung sangat kuat. Konsekuensinya, membuat seorang individu dalam masyarakat tradisional jauh dari risiko mengalami perasaan kesepian dan terisolir satu sama lain.

Tentu saja kultur modern kita telah sangat drastis jauh berbeda. Risiko kita terisolir dan kesepian cenderung lebih besar dibanding masyarakat tradisional.  Apalagi, sejak maraknya teknologi smartphone dan media sosial. Kini momen interaksi lisan kita secara nyata sangatlah minim. Sebagaimana misalnya contoh sehari-hari yang saya sebutkan sebelumnya.

Dampak kesepian akibat penggunaan teknologi smartphone dan media sosial ini sungguh tak bisa diremehkan. Para editor di Psychology Today mencatat jika kesepian kini sedang mengalami pelonjakan. Pada tahun 2010, sekitar 40 persen warga Amerika melaporkan merasa kesepian secara konsisten, naik sekitar 20% dari tahun 1980-an.

Psikolog dari Universitas Birmingham, Julliane Holt-Lunstand dalam penelitiannya mengungkap bahwa efek fisiologis kesepian setara dengan merokok dan obesitas, bahkan lebih. Penelitiannya menjadi bukti kuat bahwa kesepian dapat menyebabkan risiko kematian dini.

Di saat bersamaan, salah satu dampak lain yang tak bisa disepelekan dari kesepian akibat teknologi media sosial dan kultur digital kita adalah: depresi. Hampir lebih dari 300 juta orang kini hidup dalam depresi. Dan parahnya, persentase meningkat lebih dari 18% dari tahun 2005-2015. 

Sementara di sisi lain, keadaan depresi bisa menjadi salah satu pendorong utama bagi seseorang untuk bunuh diri. Yang lagi-lagi sayangnya, tingkat persentasenya belakangan juga semakin meningkat di seluruh dunia.  

Melihat fakta-fakta itu, gagasan keabadian yang disodorkan Harari sebagai agenda masa depan manusia jadi tampak terlalu muluk. Dan, tentu saja sangat bertolak belakang dengan realitas yang ada. 

Boro-boro menjadi abadi, jika kita tak mengevaluasi ulang dampak sains serta teknologi bagi budaya kita hari ini, bukan tidak mungkin di masa depan akan banyak orang justru terperosok dalam depresi. Dan, yang terburuk, banyak orang mati lebih dini karena bunuh diri. 

***

Sebagai penutup, ada baiknya jika kita merenungkan pengalaman seorang psikolog, Susan Pinker bersama timnya. Ia bertandang ke Sardinia, sebuah pulau terisolir dekat Italia untuk meneliti kehidupan masyarakat setempat. Masyarakat di sekitar lereng desa Villagrande Strisaili hidup cukup terisolir. Mereka tak terjamah budaya sains dan teknologi modern kita hari ini. 

Namun, penduduk di desa itu punya sesuatu yang diidamkan banyak orang: umur rata-rata sebanyak tiga dekade lebih lama daripada sesama orang Eropa dan Amerika. Fakta menarik lainnya, di sana adalah salah satu dari sedikit daerah pegunungan di dunia di mana lebih banyak orang hidup melewati usia 100 daripada di tempat lain. 

Bagaimana mungkin hal itu terjadi?. Bagaimana bisa mereka berusia panjang tanpa bantuan sistem kesehatan masyarakat dan kedokteran modern?. 

Kesimpulan Susan dan tim cukup mencengangkan: salah satu kunci umur panjang mereka mungkin adalah bahwa mereka hidup dalam ikatan sosial yang begitu erat.

Jadi, melihat fakta itu, apakah kita masih sangat perlu teknologi Artificial Intellegence (AI) dan pemintas genom untuk menggapai kehidupan masa depan yang abadi?. Atau minimal, berumur panjang?.[]