Omne vivum ex ovo. Omne ovum ex vivo.

Semua kehidupan berasal dari sel telur. Setiap sel telur berasal dari yang hidup. Tak mungkin ada kehidupan yang bermula dari benda mati. Begitulah menurut Louis Pasteur pada pertengahan abad ke-19 berdasar eksperimennya.

Pandangan itu dikenal sebagai konsep biogenesis, yang kelak menjadi filosofi dasar ilmu biologi dan kedokteran modern.

Menariknya, logika itu telah ada sejak zaman filsafat Yunani kuno yang dipelopori oleh Thales, Parmenides, dan Democritus. Intinya menekankan bahwa materi adalah dasar segala kehidupan. Tak mungkin ada materi yang berasal dari ketiadaan. Dan, mustahil kehidupan bermula dari kekosongan.

Dalam bidang fisika, Einstein berhasil menguak soal hukum kekekalan energi. Bahwa energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, tetapi bisa berubah bentuk.

Bagi Einstein, alam ini adalah energi itu sendiri. Jika dunia ini adalah energi/materi, maka konsekuensinya adalah dunia ini memang telah berusia sangat lama dan abadi.

Dengan kata lain, alam tidak pernah diciptakan. Alam memang telah ada sendiri sejak permulaan. Dan, akan selalu begini adanya. Hanya bentuknya saja yang berubah.

Kini, pandangan itu telah menjadi dasar dari sains modern. Dan, memang cenderung berhaluan materialistik.

Berbeda dengan pandangan agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam), yang menekankan tentang doktrin creatio ex nihilo. Bahwa setiap kehidupan berasal dari ketiadaan. Dunia ini berasal dari kekosongan. Dan, Tuhan-lah yang memungkinkan suatu penciptaan terjadi.

Di sisi lain, doktrin itu juga menekankan menyoal hari akhir dunia. Bahwa dunia ini suatu hari akan musnah. Dan, kehidupan hanyalah hal fana.

Tampak di sini bahwa sains dan agama seperti bertentangan. Titik tolak mereka berbeda. Konsekuensinya, kesimpulan dari keduanya pun berbeda.

Kebenaran sains berbeda dengan kebenaran agama. Metode sains berbeda dengan metode agama.

Dalam dunia kedokteran kuno, penyakit dianggap sebagai kutukan Tuhan atau dewa. Mereka menumpahkan murka pada manusia. Makanya, dulu banyak ritual penyucian sebagai sarana penyembuhan. Tujuannya agar murka sang kuasa mereda dan menganugerahkan kesehatan.

Tapi, Hippocrates yang pertama kali menyadari bahwa penyakit bukan berasal dari angkara murka Tuhan dan dewa. Menurutnya, penyakit adalah sebuah fenomena alam.

Penyakit utamanya terjadi karena ada ketidakseimbangan cairan dalam tubuh. Dalam kedokteran modern, konsep ini dikenal sebagai prinsip homeostasis tubuh.

Namun, Hippocrates juga menekankan kalau penyakit terjadi juga karena kebiasaan dan lingkungan hidup yang buruk. Prinsip inilah yang kini menjadi dasar ilmu epidemiologi yang posisinya sangat penting dalam ilmu kedokteran modern yang berorientasi preventif.

Sejak masa Hippocrates, perlahan kedokteran berbasis sains mulai menggeser doktrin agama dalam memandang penyakit dan metode penyembuhan.

Karena ilmu kedokteran yang berbasis sains itulah peradaban kita kini bisa menikmati harapan hidup yang panjang dan tak ada bandingnya dalam sejarah. Kini, penyakit infeksi berhasil ditaklukkan. Metode pencegahan penyakit pun juga semakin canggih.

Kitab-kitab suci agama tak memberi kita panduan dalam memerangi penyakit infeksi, pengembangan alat, dan teknologi mencegah penyakit.

Dalam bidang ilmu perbintangan pun begitu. Dahulu, perpaduan antara agama paganisme dan perbintangan melahirkan astrologi. Intisari astrologi adalah bahwa kedudukan bintang atau benda-benda di langit berhubungan erat dengan keadaan manusia di bumi, terutama menyangkut nasib kehidupan masa depan.

Sebenarnya, logika dasar astrologi lahir dari pemahaman bahwa bumi adalah pusat alam semesta.

Jangan salah, peradaban kita cukup lama bersanding erat dengan astrologi. Bahkan, hari ini pun masih banyak orang yang memercayainya.

Tentu saja, agama samawi (Yahudi, Kristen, dan  Islam) sangat mengutuk keras astrologi. Tetapi sainslah yang benar-benar memukul telak astrologi.

Lewat metode khas sains berupa observasi, eksperimen, dan akurasi perhitungan matematis, kebenaran terungkap. Bumi bukanlah pusat alam semesta. 

Pandangan tersebut dirintis oleh Aristarchus. Berlanjut hingga era Copernicus. Mencapai klimaks di zaman Galileo. Kemudian diperdalam di era Keppler dan Newton. Sehingga lahir dan semakin kokohlah kedudukan ilmu astronomi.

Singkatnya, astrologi itu berlandas interpretasi. Sedangkan, astronomi berlandas fakta. Astrologi irasional. Astronomi rasional.

Sebagai sains, astronomi berjasa menuntun manusia menjejak kaki di bulan. Seperti kata Neil Armstrong tatkala mendarat di bulan: “Ini hanyalah satu langkah kecil seorang manusia. Namun, ini adalah lompatan besar bagi peradaban manusia.”

Bisa dibilang, sains berorientasi pada progresivitas dan masa depan. Sedangkan agama berorientasi pada ajaran masa lalu. Kebenaran sains bisa diganti sesuai zamannya. Kebenaran agama tak bisa diganggu gugat.

Terlepas dari itu semua, sains dan agama juga sama-sama punya masa lalu kelam. Bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada PD II jadi saksi bahwa sains bisa menjadi senjata pemusnah massal.

Begitu pun dengan agama. Perang salib yang berjilid-jilid membuktikan bahwa agama juga bisa jadi senjata pemusnah massal yang tak kalah mengerikan dan biadab.

Lantas, apakah sains dan agama bisa menebus kesalahan masa lalunya itu? Apakah sains akan bisa menuntun peradaban ke masa depan yang lebih baik? Apakah agama akan semakin tak relevan dengan tantangan zaman? Ataukah sebaliknya?

Faktanya, kini semangat beragama semakin berapi-api. Konservatisme agama di berbagai belahan dunia justru semakin menguat. Di sisi lain, perkembangan sains juga semakin gila dan pesat.

Di antara polarisasi ini, ke mana peradaban kita akan berlabuh?