Saya memang (sedang) tidak puasa. Tapi dalam hati, saya kepikiran tentang menu makan sahur pagi ini—yang sedang dihangatkan untuk nenek makan: ikan sarden kaleng. Kuah tomatnya meletup-letup di atas wajan. Memang nenek tidak akan tanya “Cuma nasi dan sarden nih?” Tapi dalam hati saya menjawab sendiri pertanyaan gaib itu, “Sesungguhnya kelak, berkah datang dari si ikan sarden ini.”
Ada berkah dalam setiap sahur. Rasulullah Saw berkata: “Makanlah sahur karena sungguh di dalamnya terdapat keberkahan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim), begitu hadis yang disampaikan oleh Anas bin Malik.
Di mana pun sahurnya, dengan apa pun menunya, bagi yang percaya, tentu berkah itu ada. Termasuk sahur hari Jumat, 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364 H. Di ruang makan rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, kebetulan, ikan sarden juga menjadi pelengkap sahur.
Bedanya, ketika itu di sana ada Soekarno dan Hatta. Mereka dan beberapa tokoh kemerdekaan lain baru saja usai merumuskan proklamasi. Ahmad Soebardjo yang juga ada di sana mengisahkan dengan intim,
“Sementara teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh.”
Di ruang makan Laksamana Maeda, naskah proklamasi kemerdekaan dirumuskan—dari draft hingga ditik. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura—Somobuco (kepala pemerintahan umum)—bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan naskah Proklamasi. Tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun muda, menunggu di beranda. Tentu mereka cemas.
Saya bayangkan para peramu naskah proklamasi seperti karyawan kerja lembur. Selain suasana kelabu sebab oleh diselimuti ketegangan, mungkin fokus mereka terpecahbelah. Antara mereka harus makan sahur sebelum imsak, dengan mengatasi kupu-kupu yang beterbangan di perut. Bagaimana tidak tegang? Bangsa sudah mau merdeka!
Sahur tanggal 17 Agustus itu, mereka yang Muslim bisa dibilang beruntung. Tuan rumah sudah menyiapkan makan sahur. Di ruang makan tersaji makanan sederhana.
"Karena nasi tidak ada, yang saya makan ialah roti, telur, dan ikan sardines. Tetapi cukup mengenyangkan. Setelah pamitan dan mengucapkan terima kasih banyak-banyak kepada tuan rumah…” Begitu Hatta menulis dalam Sekitar Proklamasi.
Di waktu yang sempit waktu itu, sepertinya makan sahur menjadi tampak tidak berarti banyak. Makan tak makan, kenyang tak kenyang, sepertinya para tokoh masih punya semangat menggebu menjalani puasa. Tentu sungguh berhasrat mereka dalam menyongsong kemerdekaan.
Orang-orang awam di bulan Ramadhan mungkin menganggap bahwa makan sahur sekadar mengisi perut supaya tak lapar. Sahur adalah momen berniat, sekaligus persiapan perut dan kerongkongan menuju hari yang akan terasa lebih panjang akibat dahaga.
Saya yakin, 17 Agustus itu, makna sahur melampaui urusan perut. Tapi pun tak neko-neko sampai menyentuh urusan transendensi; urusan pertanggungjawaban vertikal pada Tuhan YME. Bagi para tokoh kemerdekaan—khususnya Soekarno—sahur dan Ramadhan adalah perkara pengolahan keyakinan terhadap konsep kebangsaan.
Naskah proklamasi memang sedang ditik, tapi tentu makan sahur itu menjadi momen mereka melemaskan diri. Sejak tanggal 15 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta sudah ditekan sedemikian rupa oleh para pemuda. Para pemuda menuntut Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Perundingan sempat terjadi antara Soekarno dengan tokoh lain, Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Hingga Hatta menyampaikan pada para pemuda bahwa proklamasi tak bisa dilakukan tanpa perhitungan masak. Situasi masih rentan terhadap jatuhnya korban jiwa maupun materi.
Sejak berada di Saigon, Soekarno sudah memilih tanggal 17 Agustus 1945. Mungkin memang ia agak supersticious,
“Angka 17 adalah angka suci… kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat. Oleh karena itu, kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.” Demikian lanjut Bung Karno dalam percakapannya dengan para pemuda di Rengasdengklok—sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi.
Soekarno mengakui bahwa ia tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 memberi harapan lebih kepadanya. Namun pertimbangan tentang Ramadhan memberi gambaran tentang konsep berkah puasa di mata orang besar macam Soekarno.
Sahur—sebagai bagian dari puasa—menjadi motivasi yang mengarah pada keseimbangan: transendensi dan imanensi. Antara sesuatu yang abstrak, yaitu keimanan sekaligus sesuatu yang riil, yaitu kedaulatan sebuah bangsa. Dalam memasak proklamasi kemerdekaan, terkandung perkara langit sekaligus bumi. Yang abadi dan yang fana.
Hatta menulis, pukul 05.00 pagi, para tokoh keluar dari rumah Laksamana Maeda. Tentu dalam keadaan kenyang dan terberkahi menu ikan sarden. Saya tak dapat membayangkan sebangga apa mereka dengan hasil teks Proklamasi yang sudah mereka timbang-timbang sejak lama.
Massa bergerak menuju rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Bung Hatta sudah berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia.
Sahur menu sarden itu mungkin segera tertelan euforia kemerdekaan, namun berkah sahur ada bersama bangsa Indonesia.***