Satu dasawarsa terakhir, minim terdengar perdebatan penentuan awal puasa serta pelaksanaan lebaran baik ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha.
Padahal dalam beberapa tahun sebelumnya, penetapan 1 Ramadan sebagai penanda awal puasa, 1 Syawal sebagai Hari Raya ‘Idul Fitri, maupun 1 Zulhijah yang berdampak pada Hari Raya ‘Idul Adha tanggal 10 Zulhijah menjadi topik yang panas diperbincangkan.
Pasalnya, selama satu dekade terakhir, hilal seolah bersahabat dengan masyarakat Indonesia. Dalam penetapan awal tiga bulan di atas, terkadang hilal muncul dalam derajat yang tinggi, atau juga terkadang masih berada di bawah ufuk saat matahari tenggelam, sehingga ketinggiannya dihitung minus.
Tipologi Klasik Penetapan Awal Bulan Hijriyah
Sebelum membincang potensi perbedaan Hari Besar Islam, perlu kiranya kita mengenal tipologi pemikiran dalam penetapan awal bulan hijriyah.
Dapat diklasifikasikan, setidaknya ada tiga kategori penetapan awal bulan hijriyah pada masyarakat Indonesia. Kesemuanya memandang bulan yang sama, hanya berbeda kriteria yang digunakan untuk menganggapnya sebagai bulan baru.
Pertama, kategori yang berisi pendapat para ahli dengan metode rukyatul hilal dan hisab imkanur rukyah. Metode awal berpendapat bahwa bulan baru dapat dimulai jika hilal dapat terlihat dengan mata ketika matahari terbenam, metode kedua dengan penghitungan astronomis (hisab), namun mengacu pada standar minimal agar bulan dapat dilihat dengan mata.
Meskipun secara teoretis dua metode tersebut berbeda, namun pendapat keduanya seringkali sama dalam menetapkan awal bulan hijriyah. Para ahli imkanur rukyah dalam kategori ini menetapkan batas minimum visibilitas hilal setinggi dua derajat, selain adanya beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Kategori kedua berisi para ahli dengan metode penghitungan astronomis hisab wujudul hilal. Para ahli dalam kategori ini menyatakan bahwa bulan baru akan dimulai jika bulan telah melewati masa konjungsi (ijtima’) sebelum matahari terbenam, selain juga dengan beberapa kriteria lain.
Dalam kategori ini, jika kriteria yang ditetapkan telah terpenuhi maka dianggap sudah masuk bulan baru meskipun kondisi hilal sangat tipis sehingga tidak memungkinkan untuk bisa dipandang mata.
Kategori ketiga berisi pendapat yang berbeda dari kedua pendapat di atas, dan biasanya menggunakan metode Hisab ‘Urfi (penghitungan berdasarkan kebiasaan). Misalnya dengan menggunakan metode Hisab Munjid yang digunakan Jamaah Naqsyabandiyah, Hisab Aboge, dan sebagainya.
Ada pula yang menggunakan model pasang surut air laut maupun metode lain.
Tentu ini hanya memasukkan tipologi klasik yang sudah dikenal luas oleh masyarakat, dan sejenak kita sampingkan tipologi dan kriteria hisab-rukyat modern yang mungkin masih asing bagi masyarakat awam kita.
Potensi Perbedaan Hari Besar Islam
Selama hampir satu dekade terakhir, kelompok pertama dan kedua tidak ada perbedaan dalam penetapan tiga bulan tersebut. Kalaupun ada yang berbeda sehari-dua hari, maka itu berasal dari kelompok ketiga dalam klasifikasi di atas.
Namun, romantisme antara kelompok pertama dan kedua tersebut sepertinya akan segera berakhir. Pasalnya, terhitung mulai 2022 ini, mulai muncul beberapa perbedaan besar keagamaan Islam.
Diawali dengan perbedaan penetapan 1 Ramadan 1443 H, lalu penetapan 1 Zulhijah yang berdampak pada perbedaan hari raya ‘Idul Adha 1443 H. Namun hari raya ‘Idul Fitri 1443 H akan dilakukan serentak oleh dua kategori tersebut karena tidak ada perbedaan dalam penetapan 1 Syawal 1443 H.
Tahun 2023 diisi dengan perbedaan penetapan hari raya ‘Idul Fitri dan hari raya ‘Idul Adha, meskipun dalam penetapan 1 Ramadan tak ada beda keduanya. Sebaliknya, pada 2024 muncul perbedaan dalam penetapan 1 Ramadan, namun keduanya menetapkan hari yang sama dalam penetapan Idul Fitri dan ‘Idul Adha.
Sementara itu tahun 2025 diisi dengan kesamaan penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal, lalu berbeda lagi dalam penetapan 1 Zulhijah. Pada tahun 2026, 1 Ramadan dan 1 Zulhijah akan dilaksanakan bersama, namun akan berbeda penetapan hari ‘Idul Fitri.
Artinya, pada tahun 2022 dan 2024 nanti, kategori kedua akan berpuasa lebih lama dari pada kategori pertama yang hanya 29 hari. Sebaliknya, tahun 2023 dan 2026 kelak, kategori pertama yang akan berpuasa lebih lama sehari.
Keduanya akan kembali bersama dalam penetapan tiga tanggal istimewa tersebut pada tahun 2027 dan 2028, sementara tahun 2029 mereka kembali menemui perbedaan dalam penetapan 1 Zulhijah meski sama dalam menetapkan dua awal bulan istimewa sisanya.
Bersiap Menghadapi Perbedaan
Apabila ditanya tentang kesiapan menghadapi perbedaan, saya yakin masyarakat Indonesia sangat siap. Tidak mungkin sebuah negara yang terdiri dari 1331 suku bangsa dan 652 bahasa yang berbeda ini tidak menerima adanya anugerah dari Tuhan berupa perbedaan.
Bagi seorang muslim yang memahami adanya perbedaan sebagai sebuah sunnatullah, tentu ia tidak akan terjebak pada klaim kebenaran (truth claim) dalam menafsirkan ayat Allah, selama tidak terjadi dalam hal yang sifatnya muhkamat seperti ayat tentang keesaan Allah, kewajiban Salat, dan sebagainya.
Dalam hal yang mutasyabih atau memungkinkan munculnya penafsiran, maka perbedaan adalah hal yang sangat lazim.
Sayangnya, sering kali penerimaan terhadap perbedaan tersebut hanya sebatas di mulut saja, tidak sampai hati apalagi diwujudkan dalam bentuk perbuatan.
Sebagai contoh tentang perbedaan awal puasa dan lebaran 'Idul Fitri. Ada sebagian masyarakat yang inkonsisten dalam menggunakan metode, dengan memilih mana yang puasa belakangan dan lebaran duluan. Meskipun awalnya dianggap sebatas guyonan, tapi faktanya benar-benar ada yang melakukan.
Hal ini seperti menjadikan agama sebagai bahan “prasmanan”, hanya mengambil menu yang disukai dan mengabaikan pilihan lainnya. Tentu saja, konsistensi terhadap metode berpikir dan penentuan awal bulan menjadi kunci dalam hal ini.
Dalam bahasa fiqih, dikenal perbedaan antara Mazhab dan Manhaj. Mazhab merupakan sekumpulan produk hukum yang telah disusun para mujtahid, sementara Manhaj adalah metode pengambilan hukum tersebut.
Kita bisa saja tidak terikat dalam satu madzhab tertentu, selama kita konsisten dengan manhaj yang digunakan. Termasuk dalam hal penetapan awal bulan istimewa tersebut.
Sementara itu, "sidang itsbat" yang dilakukan oleh pemerintah saat penetapan awal bulan istimewa tersebut seyogyanya juga menjadi salah satu corong penebar penerimaan terhadap perbedaan.
Artinya, dengan adanya perbedaan metode penetapan awal bulan sebagaimana di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa pasti perbedaan akan terjadi. Dari sinilah muncul adagium “unity in diversity”, bersatu di dalam perbedaan.
Narasi “Perbedaan adalah rahmat” dapat terwujud jika seluruh pihak menyadari bahwa terdapat sebuah hikmah yang muncul di balik perbedaan.
Salah satu hikmah yang muncul dari perbedaan penetapan awal bulan ini adalah munculnya semangat untuk terus mengembangkan keilmuan bidang falak atau identik dengan Astronomi Islam.
Bagaimanapun juga, semangat Ummat Islam untuk belajar falak salah satunya dimotivasi oleh munculnya perbedaan-perbedaan makna hal yang bersifat astronomis misalnya penentuan awal bulan, penetapan waktu salat, pengukuran arah kiblat, serta konversi hijriyah ke tahun masehi.
Terlebih lagi, saat ini ilmu pengetahuan astronomi terus berkembang sedemikian rupa. Definisi “Bulan baru” bukan hanya menjadi milik muslim sebagai penentu kegiatan peribadatan yang berkaitan dengan siklus lunar. Kegiatan ilmiah seputar bulan juga dilakukan oleh ilmuwan di luar kepentingan keagamaan.
Misalnya dengan pengambilan gambar sabit bulan sesaat setelah konjungsi di siang hari sebagaimana dilakukan oleh Thiery Legault pada pertengahan Mei 2018. Hasil dari jepretannya menunjukkan eksistensi bulan baru setelah konjungsi terjadi tanpa harus menunggu berbagai kriteria.
Meskipun ia melakukannya tas dasar pengetahuan Astrofotografi, namun hasil karyanya memiliki irisan dengan persoalan penentuan awal bulan hijriyah. Tentu ini menjadi bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu, ini menjadi saat yang baik untuk melakukan uji publik terhadap keberhasilan upaya penyatuan kalender Islam. Sebagaimana diketahui terdapat upaya unifikasi kalender hijriyah secara internasional sebagaimana dikenal dengan kriteria Kongres Turki 2016.
Apabila kriteria ini dapat diterima oleh berbagai negara maupun ormas keagamaan, maka niscaya perbedaan penetapan awal bulan tersebut akan menghilang dengan sendirinya dan terdapat keseragaman penetapan awal bulan bagi muslim seluruh dunia.
-----------------------