Sesekali aku merasakan kengiluan di dada, saat mengamati sekeliling setiap kali menikmati secangkir kopi yang mengamuk menciptakan genangan, demi melawan kuatnya pengaruh kenangan.
Kita duduk di tempat masing-masing tanpa perlu bertegur sapa, kita seolah kehilangan identitas untuk saling mengenal. Dunia seperti menjelma animasi mengubah tatanan sosial jadi khayalan dalam genggaman digital yang lebih nyata.
Cangkir-cangkir keramik berisikan keheningan, sisa ampas yang mengeras nampak seperti misteri menyihir suasana jadi beku. Percakapan tak selalu hangat, seperti kopi yang tak tersentuh sehingga pasrah menerima kenyataan yang begitu dingin.
Mulut-mulut kita menjahit dirinya menuju satu kesimpulan yang berakhir bisu. Sementara android lebih meriah menertawakan kesepian kita yang hanya bisa saling menatap tanpa suara.
Teknologi merenggut banyak hal dari manusia, selain percakapan. Manusia juga kehilangan selera humor dan nilai sosial. Kita dibuat lebih mengenal angka dengan hitungan matematik, tanpa sebuah rasa.
Nyaris semua serba digital, seperti hidup dan mati kelak bisa saja tergantung tegangan listrik. Pemakaman lebih sunyi, di mana kematian akan sering datang bertandang.
Duka cita hanya dihaturkan lewat berbagai macam lantunan doa meramaikan dinding Facebook dan beranda Instagram.
Nama-nama baru akan muncul tanpa esensi. Kata-kata menjelma nyanyian tanpa makna. Hidup semakin absurd perihal manusia semakin jauh dari nilai-nilai sosial yang membuat hidup lebih berguna.
Seorang bocah lebih tergiur menampilkan wajah di hadapan layar ketimbang berbagi cokelat di balik panggung. Ibu-ibu akan terobsesi memainkan tik-tok daripada mengolah limbah plastik jadi bingkai untuk memasang foto cucu tetangganya.
Menentengi sesuatu di depan seseorang lalu meng-upload di sosial media, bisa jadi menghasilkan apresiasi, lantaran dianggap terlalu baik sebab bisa terus berbagi.
Di lain sisi ada orang terus melakukan kebaikan tetapi dicap buruk sebab tak pernah memperlihatkan ke dunia maya. Sungguh keakuan dan pengakuan sama kedudukannya bagi mereka.
Kebaikan dan keburukan tergantung teknologi, sekarang. Semua yang dilakukan akan dinilai berdasarkan followers, terlepas dari tindakan apalagi oleh kata dan makna.
Jika seorang anak kecil saja bisa berisik di hadapan presiden lalu viral dan dilantik jadi orang penting, seperti duta. Lalu kenapa kita tidak menirunya, melakukan hal serupa demi viral dengan harap bisa mendapatkan kedudukan tinggi.
Akan semakin rumit saja. Bahkan untuk membedakan mana yang penting atau sinting sama susahnya dengan melepas kopi dari pahitnya.
Saat orang sinting diviralkan kemudian dinilai menghibur dan layak jadi tokoh, seperti orang penting yang selalu diagungkan lantaran dianggap berguna terhadap banyak orang. Keduanya berlaku sama, selalu diapresiasi banyak orang.
Di negeri ini, sejumlah orang muda muncul sebab dianggap penting lantaran pernah atau sedang viral di sosial media. Terlepas dari perbuatannya berguna atau sangat merugikan.
Lagian baik dan buruk bukan masalah, seolah publik terkecoh dari eksistensi semata. Di mana seseorang bila sudah viral dan terkenal, seolah semua kesalahan dan kejahatannya sekejap dimaklumi, lalu dijunjung layaknya tokoh besar yang pernah melakukan hal luar biasa di luar kemampuan umum.
Kita bisa melihat beberapa aktivis memilih hengkang dari jalannya demi sesuap nasi di tubuh birokrasi, lalu sebagian lainnya berharap selamat dengan menjebakkan dirinya dalam lingkaran politisi. Serta beberapa lainnya melakukan pembenaran dengan dalih, ini semua demi kebutuhan perut.
Padahal sejak kecil hingga tumbuh besar, sebelum sempat mereka mengenal birokrasi dan politisi, perutnya senantiasa terisi dan selalu cukup. Sialnya, mereka melihat hidup sederhana yang apa adanya sebagai hidup yang gagal dan tak layak dipertahankan.
Sungguh mulia perspektif orang-orang muda semacam itu. Semoga mereka semua panjang umur dan sehat selalu dalam selangkangan penguasa.
Generasi muda seperti kita semakin dilema menjalani hidup, memilih jadi pejuang kemanusiaan akan membuatnya miskin dan asing. Sementara mendalami kemapanan akan hidup gemilang namun, dihujat.
Sehingga kita akan terjebak dalam pilihan tersebut lalu memilih alternatif sederhana, minimal jadi bajingan.
Kemajuan teknologi mengeksploitasi kreativitas. Sebab, lemahnya sumber daya manusia. Maka tak jarang kita terjebak dalam dunia digital yang menyuguhkan kenyamanan semu.
Di mana perilaku seperti ini tak mungkin bisa dibendung, karena sudah menjadi hegemoni massal yang berpengaruh secara global.
Tentu ini bukan kesalahan kita. Tetapi sebagai kaum muda yang masih sering mengagungkan ide serta gagasan dan perspektif. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab bersama untuk lebih menganalisis setiap peristiwa.
Tidak bisa dipungkiri, kita terlibat dalam siklus yang itu-itu saja, mendewakan mereka yang sedang viral hingga kita lupa bahwa banyak hal-hal penting yang mestinya diapresiasi namun cenderung terlupakan hanya karena tidak terekspos.
Tetapi sudahlah, apapun yang terjadi. Hiduplah sebagaimana mestinya. Tanpa harus banyak berucap, berulah dan berubah di luar kemampuan.
Hiduplah dalam dunia masing-masing, sebab dalam kaca mata yang rabun ini, gagal dan suksesnya seseorang tergantung kemampuannya memainkan sosial media.