Gelar pahlawan tanpa tanda jasa sudah terlanjur disematkan pada profesi guru. Fakta ini seolah-olah menjadi alasan pembenaran sehingga dianggap wajar jika sampai saat ini perhatian serius terhadap profesi mulia ini masih terbilang kurang. Ironisnya, silih berganti rezim ternyata tidak juga mampu menyelesaikan persoalan kesejahteraan guru.

Guru diamanahkan untuk tampil sebagai garda terdepan dalam mensukseskan misi pendidikan nasional guna mempersiapkan generasi yang terampil dan beradab untuk mengisi estapet kepemimpinan. Namun, tanggungjawab ini tidak diimbangi dengan pengakuan akan profesionalitas guru itu sendiri.

Sebagai profesi yang mulia sekaligus profesional, semua guru dituntut untuk mampu merencanakan, melaksanakan serta mengevaluasi semaksimal mungkin proses pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tidak ada tawar menawar, karena ini sudah menjadi ketetapan yang selanjutnya terus dilakukan evaluasi secara berkala. Guru selalu berupaya memaklumi itu semua, karena ini adalah bagian dari tanggungjawab.

Sementara di sisi lain, sekalipun konstitusi telah mengamanahkan agar alokasi anggaran pendidikan minimal 20%, secara faktual di lapangan masih terjadi kesenjangan yang nyata antara sesama profesi guru itu sendiri. Terlepas dari status kepegawaiannya, pendapatan guru masih banyak yang jauh dari kata layak. Disini terjadi kesenjangan yang sangat nyata. Bahkan ironisnya, lama masa pengabdian ditambah lagi dengan tantangan saat menjalankan misi pendidikan di daerah (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) seolah tidak pernah diperhitungkan.

Bukan tentang bersyukur atau tidak bersyukur, akan tetapi ini persoalan bagaimana seharusnya negara mengakui dan menghargai jasa para guru. Maka wajar, saat ini jutaan pahlawan tanpa tanda jasa menaruh harapan besar agar kiranya kebijakan yang berpihak pada guru benar-benar terakomodir dalam Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

Pemerintah melalui kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah resmi mengajukan RUU Sisdiknas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Perubahan Tahun 2022 kepada DPR RI.

Dalam pengantarnya disebutkan bahwa semangat perubahan kearah yang lebih baik pada pengelolaan pendidikan nasional diterjemahkan dengan rencana mencabut tiga Undang-Undang terkait pendidikan, diantaranya UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang selanjutnya diintegrasikan menjadi satu kesatuan dalam UU Sisdiknas.

Pasca disebarluaskannya secara resmi draft RUU Sisdiknas melalui siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 533/sipres/A6/VIII/2022, alih-alih menuai kontroversi dari berbagai pihak terutama pihak-pihak yang terlibat langsung dalam jalannya sistem pendidikan di Indonesia,salah satunya adalah guru.

Disatu sisi sangat mengapresiasi beberapa rencana dan skema yang direncanakan akan berpihak pada guru, akan tetapi dari 150 pasal dalam RUU Sisdiknas tersebut, tidak ada satupun yang menyebutkan terkait hak atas pengakuan profesionalitas guru sebagaimana semestinya, dalam hal ini hak untuk menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG).

Pengurus Besar PGRI dalam konfrensi persnya pada Minggu, 28 Agustus 2022 dengan tegas menyatakan menolak terhadap beberapa muatan draft RUU Sisdiknas yang dianggap menciderai semangat guru dalam menjalankan tugas mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak disebutkannya hak guru untuk mendapatkan TPG seolah memberi makna tersirat bahwa profesi guru tidak lagi menjadi profesi yang penting.

RUU Sisdiknas seharusnya mempertegas pengakuan profesionalitas guru

Pada prinsipnya guru tidak pernah menolak akan perubahan, justru dengan semangat profesionalnya sangat paham bahwa nothing endures but change, tidak ada sesuatu yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Guru sangat memaklumi perubahan dalam tatanan dunia pendidikan itu adalah suatu keharusan.  

Sebenarnya bukan selalu tentang kesejahteraan, tetapi pada prinsipnya adalah mempertanyakan bagaimana pengakuan negara atas profesionalitas, loyalitas dan pengabdian warga negaranya dalam hal ini guru yang sudah mendedikasikan diri untuk terlibat secara langsung dalam proses pendidikan. Sukses tidaknya misi pendidikan sangat berimplikasi terhadap kemajuan bangsa dalam jangka panjang tentunya tidak pernah terlepas dari peran guru.

Berangkat dari fakta tersebut seharusnya semangat yang termuat dalam RUU Sisdiknas dapat memberi kepastian hukum sekaligus mempertegas akan pengakuan profesionalitas guru. Upayakan pengaturan yang sedemikian mungkin agar tidak terjadi lagi kesenjangan yang signifikan antara sesama guru. 

Hal ini penting, karena mempertegas pengakuan profesionalitas guru juga berarti sebagai bentuk nyata dukungan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sekali lagi, meskipun pada profesi guru sudah terlanjur disematkan gelar pahlawan tanpa tanda jasa, setidaknya pengakuan akan profesionalnya tidak boleh diabaikan.

Pemerintah dan DPR harus mendengarkan suara publik

Selama proses penyusunan draft RUU menjadi UU Sisdiknas, pemerintah dalam hal ini kementerian terkait dan DPR harus banyak memberi ruang akses kepada publik untuk menerima masukan dan ide-ide cemerlang terkait idealnya regulasi yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional. Karena masyarakat selaku pemegang kekuasan tertinggi juga memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk terlibat dalam upaya mewujudkan sistem pendidikan yang lebih baik.

Persoalan pendidikan yang merupakan sesuatu yang vital dan menyangkut keberlangsungan bangsa dalam jangka panjang, tentunya harus dikondisikan secara terukur dan maksimal. Libatkan seluruh pihak yang berkepentingan seperti organisasi profesi untuk menyampaikan saran dan masukan yang selanjutnya dipertimbangkan untuk diakomodir.

Pemerintah dan DPR harus memberi akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses menyusun RUU Sisdiknas ini. Tujuannya agar apa yang nantinya menjadi dasar hukum pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia, akan selaras dengan logika publik dan cita-cita mulia bangsa Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.