Terkenal dengan gerakan ofensifnya dibidang militer, kapabilitas Rusia dibidang sumber daya energi ternyata juga mencengangkan. Rusia merupakan negara dengan cadangan gas alam terbesar di dunia. 

Selain itu, negara tersebut menempati posisi terbesar kedua untuk cadangan batu bara dan ketujuh untuk cadangan minyak bumi. Rusia juga menjadi aktor aktif dalam dinamika perdagangan energi di pasar internasional.

Hingga tahun 2022, meskipun diwarnai konflik berkepanjangan dengan Ukraina, Rusia masih masuk Top 3 negara produsen minyak bumi terbesar di dunia.

Rusia mampu mengamankan posisinya akan pasokan energi bersama dengan Arab Saudi dan Amerika Serikat.

Selain itu, Rusia masih mengamankan posisinya sebagai pemasok terbesar energi dan minyak bumi di daratan Eropa. 

Menurut data dari International Energy Agency (2022), hingga November, sekitar 60% total ekspor minyak bumi Rusia masih didistribusikan ke daratan Eropa, sementara sekitar 20% lagi ke China. 

Pada tahun 2021, 83% dari total ekspor energi gas Rusia didistribusikan ke Eropa dan Turki, sementara 17% sisanya ke China dan CIS.

Hadirnya fakta di atas membuktikan bahwa Rusia memiliki kapabilitas tinggi di bidang sumber daya energi. 

Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah kapabilitas tersebut mampu dimanfaatkan Rusia untuk mengamankan posisinya atas Eropa? 

Apakah besarnya ekspor energi Rusia ke Eropa mampu menimbulkan dependensi Eropa atas Rusia?

Untuk membahas segala hal tentang Rusia, penulis menganggap teori-teori dalam payung realisme masih sangat relevan. 

Pada kasus ini, penulis mengambil salah satu aliran realis yang mencoba membawa kembali ide realisme klasik dengan tambahan neorealisme. 

Dominasi Energi Rusia dalam Realisme-Neoklasik

Teori ini percaya bahwa struktur internasional mendorong bagaimana suatu negara berperilaku namun sebelum mengimplementasikan kebijakan luar negerinya, ada variabel domestik yang memengaruhinya. 

Dengan demikian, teori ini memang difokuskan untuk melihat kebijakan luar negeri dan perilaku negara secara individual.

Penulis mengambil dua argumen utama realisme-neoklasik yaitu pertama, dalam kondisi struktur internasional yang anarkis, negara besar cenderung memperluas kekuasaannya. 

Perluasan kekuasaan juga dapat disebut politik ekspansionis. Hal diatas dilakukan untuk mempertahankan keamanan dan menjadi yang terkuat. 

Asumsi kedua, politik ekspansionis dapat dilakukan karena kekuatan negara. Kekuatan negara dapat lahir dari kemampuan negara menggunakan kekuatan nasionalnya. 

Kedua asumsi realisme-neoklasik itu penulis aplikasikan untuk memahami bagaimana sebenarnya kemampuan sumber daya energi Rusia dijadikan strategi ekspansionis ke daratan Eropa.

Dalam pandangan Realisme-neoklasik, kebijakan luar negeri Rusia yang ekspansif dalam bidang ekspor energi merupakan respons nyata atas situasi dunia internasional yang masih didominasi Barat. 

Sejalan dengan yang dikatakan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, bahwa:

https://pin.it/55qBjtJsource image: https://pin.it/55qBjtJ

negaranya berkomitmen kuat berhenti bergantung dengan cara apa pun pada segala sesuatu yang berasal dari Barat untuk memastikan pengembangan sektor-sektor yang penting bagi keamanan, ekonomi, atau lingkungan sosial tanah airnya.

Ekspor sumber energi Rusia dengan mayoritas negara tujuan Eropa sebagai sebuah strategi untuk keluar dari dominasi Barat dan menciptakan dominasi baru. 

Pada akhirnya, justru Eropa yang mengalami ketergantungan atas energi Rusia. 

Ketergantungan yang dimaksud adalah bagaimana Eropa memercayakan pemasokan sumber energi mereka sepenuhnya ke Rusia. 

Seperti yang kita ketahui, kebutuhan akan energi adalah prioritas di setiap negara. Lewat aspek ini, Rusia berhasil mengamankan posisinya atas Eropa lewat ekspor energi tersebut. 

Argumen di atas dapat dibuktikan lewat peristiwa yang saat ini masih berlangsung: perang Rusia-Ukraina. 

Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan berbagai pihak memberikan sanksi besar-besaran, termasuk juga Amerika dan Uni Eropa. 

Rusia tercatat menjadi negara dengan sanksi internasional terbanyak hingga tahun 2022. Negara itu menerima 2.778 sanksi internasional hingga bulan Februari.

Jika dikalkulasi, jumlah sanksi Rusia mencapai 5.530. Mayoritas sanksi dijatuhkan dari Amerika Serikat dan sekutunya yaitu Eropa.

Namun, hal itu tidak membuat Rusia memenuhi tuntutan internasional: menghentikan serangannya ke Ukraina. Dengan demikian, sanksi Barat bagi Rusia tersebut tidak efektif. 

Bukti lain yang dapat kita lihat adalah bagaimana Rusia dapat mengamankan sektor ekonominya lewat pasokan energi di tengah gempuran sanksi. 

Harga gas berjangka Eropa naik empat kali lipat dari level Juni lalu. Biaya naik 16 persen setelah Gazprom, perusahaan gas raksasa milik Rusia memotong aliran pipa utama Nord Stream. 

Meskipun demikian, pendapatan perusahaan tersebut diperkirakan masih sama dengan tahun sebelumnya. Rusia juga mampu membuka pasar gas baru dengan China dan Kawasan Asia.

Hal di atas menunjukkan Rusia mampu membuktikan komitmennya untuk mandiri dari ketergantungan Barat. Sanksi Uni Eropa yang bergulir tidak membuat Rusia mengubah keputusannya. 

Sebaliknya, di tengah gempuran sanksi, Uni Eropa justru masih secara terus menerus menerima pasokan energi dari Rusia. 

Jika ditarik kesimpulan, dominasi energi Rusia mampu mengamankan posisi negara tersebut atas kecaman dunia internasional, khususnya dari Eropa.