Semiotika menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi. Tradisi semiotika terdiri dari sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri (Littlejohn, 2009:53).
Semiotika sendiri bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Proses pemaknaan ini tidak lepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan.
Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang tersebut inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi sebuah tanda.
Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotika tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Kriyantono, 2007:261).
Menurut Pierce, dasar semiotika adalah mempelajari tentang konsep tanda. Dalam konteks ini, sistem tanda-tanda ini tidak hanya terbatas pada wilayah bahasa dan komunikasi, melainkan dunia itu sendiri secara luas.
Hal ini sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya yang terdiri atas tanda-tanda, jika tidak demikian, manusia tidak akan mampu menjalin hubungannya dengan realitas. Sedangkan Preminger menyebutkan bahwa semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan adalah merupakan tanda-tanda.
Dalam konteks di atas, dapat diketahui bahwa wilayah kajian semiotika sangatlah luas sejauh ia berkaitan dengan masalah tanda dan makna. Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik untuk mengkaji pemikiran Pierre Bourdieu dalam konteks kajian semiotika sosial. Meski Bourdieu lebih dikenal sebagai seorang sosiolog dalam wilayah kajian teori kritis, namun kajian Bourdieu sangatlah kompleks dalam melihat struktur dan perkembangan masyarakat, khususnya dalam mengungkapkan keganjalan-keganjalan yang terjadi dalam struktur sosial.
Bourdieu dalam hal ini, mencoba mengungkap simbol-simbol yang terselubung dalam melanggengkan suatu kekuasaan dan dominasi sosial oleh kelas-kelas borjuis. Bourdieu berpendapat bahwa bahasa sangatlah berperan penting dalam membentuk citra dan cara kerja suatu masyarakat.
Ciri penelitian yang dilakukan oleh Bourdieu dalam membaca kondisi masyarakat adalah dengan menggunakan suatu istilah yang disebutnya sebagai “strukturalisme konstruktivis” atau “konstruktivisme strukturalis”. Dalam konteks ini, istilah strukturalisme yang dipakai oleh Bourdieu sama sekali berbeda dengan yang berlaku dalam tradisi Sausurean atau Levi Straussian.
Lewat strukturalisme ini, Bourdieu menyatakan bahwa di dalam dunia sosial sendiri, dan bukan hanya dalam sistem simbolis (bahasa, mitos, dan sebagainya) terdapat struktur-struktur objektif yang independen dari kesadaran dan kehendak agen, yang mampu mengarahkan dan menghambat praktik-praktik atau representasi mereka (Bourdieu, 2011:163).
Beberapa contoh penelitian empiris yang dilakukan oleh Bourdieu selama hidupnya di antaranya: pertama, walaupun kebebasan memilih terlihat jelas dalam budaya Prancis, namun selera seni masyarakat (misalnya dalam memilih musik klasik, tradisional, atau Rock) sangat berkorelasi dengan posisi mereka di dalam ruang sosial. Kedua, seluk beluk bahasa seperti aksen, grammar, pengucapan, dan gaya bahasa-sebagai bagian dari cultural capital-merupakan faktor utama dalam mobilitas sosial (misalnya mendapatkan kenaikan gaji, kebaikan jabatan, dsb.
Ada beberapa istilah kunci dalam memahami pemikiran Pierre Bourdieu untuk sampai pada pemahaman akan kondisi struktur masyarakat, di antaranya habitus, arena, modal, dan kekeran simbolik. Semuanya akan diuraikan sebagai berikut:
Pertama, habitus. Habitus adalah struktur mental atau kognitif, yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosialnya. Habitus mengambarkan kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Habitus merupakan produk dari sejarah, sebagai warisan dari masa lalu yang dipengarui oleh struktur yang ada. Habitus sebagai produk dari sejarah tersebut, menciptakan tindakan individu dan kolektif dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah (Ritzer & Goodman, 2003:522).
Kedua, arena. Arena merupakan dunia tempat melakukan permainan-permainan atau juga disebut dengan game. Arena adalah jaringan hubungan antar posisi objektif didalamnya. Arena adalah seporong kecil dunia sosial, sebuah dunia yang penuh dengan kesepakatan yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya sendiri (Basis, 2003:34).
Ketiga, modal. Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting untuk mengendalikan diri sendiri maupun orang lain. Modal merupakan aset yang dimiliki individu dalam lingkungan sosialnya yang digunakan untuk menentukan posisi dalam suatu arena. Menurut Bourdieu terdapat empat modal, yakni modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik. Dalam konteks ini, distribusi kapital menentukan objek kelas-kelas di dalam sistem sosial (Jacky, 2015:184).
Keempat, kekerasan simbolik. Bourdieu melihat bahwa modal simbolik seperti harga diri, martabat, atensi merupakan simbol kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap modal yang dipandang melalui skema hubungan sosial, yang ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya dan berhadapan dengan agen yang lebih lemah akan berusaha mengubah tindakannya.
Fenomena ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik jauh lebih kuat daripada kekeraasan fisik, karena melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individu, dan memaksakan legitimasi pada tatanan sosial (Arismunandar dalam Jacky, 2015:184).
Empat tipologi di atas memberikan satu perspektif tentang bagaimana suatu kondisi masyarakat dewasa ini terkonstruk melalui mekanisme yang telah ditentukan oleh simbol-simbol tertentu. Bahwa tidak ada sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh kebebasan, semua telah dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang saling berkorelasi.
Dengan demikian, secara semiotik, bahwa ada pergeseran makna yang begitu kuat yang terjadi dalam struktur masyarakat di mana setiap aspek kehidupan individual, telah ditentukan dan dikendalikan oleh suatu pertautan yang saling mengisi antara mekanisme kekuasaan yang kendalikan salah satunya oleh mediasi bahasa, dan begitupun juga bahwa seluruh cara pandang terhadap kehidupan dikendalikan oleh nilai-nilai budaya yang mengitarinya.
Kepustakaan
- Bourdieu, Pierre. 2011. Choses Dites; Uraian dan Pemikiran. Terj. Ninik Rochani. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
- Jacky. M. 2015. Sosiologi; Konsep, Teori dan Metode. Jakarta: Mitra Wacana Media.
- Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Terj, Alimanan. Jakarta: Prenada Media.
- Kriyantono, Rachman. 2007. Teknik Praktik Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
- Lettlejohn, Stephen W. 2009. Teori Komunikasi Edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.