Ruang kelas, mendengarnya saja membuat kita mengingat kembali ke ruangan yang memiliki buku-buku tebal, bangku, papan tulis dan tidak lupa tuturan dari guru. Terkadang ingatan dalam ruang kelas diwarnai dengan hal yang menakutkan dan membuat gemetar. Sebab, sepemahaman kita ruang kelas seakan representasi atau wujud nyata dari pendidikan.
Pendidikan sebatas dimaknai dengan sebuah ruangan tempat anak-anak diberi pengetahuan.
Sayangnya, beberapa hal membuat ruang kelas menjadi cacat fungsinya. Dikarenakan, proses yang dijalani dalam ruang kelas hanya sebatas pentranferan ilmu. Seolah murid hanya tempat untuk menerima tanpa mengeritisi pemikiran yang telah disampaikan. Ini mengakibatkan ruang kelas seakan menjadi pembatas seseorang dalam merenguk ilmu pengetahuan.
Neil Postman dalam buku Matinya Pendidikan, Redefinisi Nilai-nilai Pendidikan menyindir kelas yang tidak benar-benar menyelesaikan masalah kehidupan. Sebab, ruang kelas yang dimaknai sekarang telah jauh dari kehidupan yang sebenarnya. Ini ditandai dengan ruang kelas yang dapat memaksa seorang anak nelayan, tercabut dalam imajinasinya menggambarkan suasana lautan. Pendidikan yang hakekatnya membebaskan seseorang dalam bertindak dan berpikir seolah slogan semata.
Miris memang melihat kenyataan dalam pendidikan yang selama ini kita jalani. Tidak bisa dipungkiri, sampai hari ini kita masih merasakan adanya pemasungan dalam pembelajaran di ruang kelas. Kita tidak akan pernah puas dengan ilmu yang didapatkan. Bahkan, kerap kali kita menelan kekecewaan dengan proses pembelajaran yang terjadi.
Untuk melepaskan segala kekesalan, kekecewaan dan membunuh rasa bosan pelbagai aktivitas kita lakukan. Entah itu dengan mencoret-coret buku, mendengarkan musik atau mengobrol di kelas. Terkadang, kitapun hanya diam dalam mengikuti proses pembelajaran, seakan sudah mengerti. Padahal, kita hanya malas dan bebal ketika otak ini dihinggapi dengan pengetahuan yang disampaikan.
Seakan mengamini, Russel Crowe dalam film Beautiful Mind menggugat mengenai pemikiran yang terjadi di dalam kelas. Ia menyatakan bahwa kelas bukanlah tempat yaang penting. Dikarenakan, ruang kelas tidak membuatnya memiliki pemikiran yang otentik. Kita hanya dapat mengikuti setiap tuturan dari pemberi ilmu.
Keterpasungan mengenai ruang kelas berhubungan pula dengan kurikulum dijadikan acuan. Winarno Surakhmad dalam buku Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi menyatakan bahwa kurikulum merupakan solusi yang bermasalah. Sebab, kurikulum menjadi patokan ajeg yang dijadikan acuan. Tanpa memedulikan setiap karakteristik, budaya dan keanekaragaman. Sangat disayangkan, dengan setiap karakteristik, budaya dan keanekaragaman yang ada di Indonesia, ruang kelas tidak memiliki tempat untuk menampungnya.
Pada akhirnya ruang kelas hanya diimajikan menjadi alat untuk memeroleh nilai. Ruang kelas menginginkan kita untuk terus berburu nilai, bukan berburu pengetahuan. Terkadang kita mengabaikan cara-cara untuk meraih nilai tersebut. Tak ayal untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, mencotek menjadi cara jitu dalam meraih hasil.
Ruang kelas yang selaiknya tempat berproses meraih pengetahuan, hanya menjadi tempat mendapatkan nilai. Hafalan menjadi kunci dasar supaya kita dapat memeroleh nilai yang memuaskan. Tidak mengherankan, kalau kita menjadi generasi yang hanya mengetahui. Lantaran, kitapun belum benar-benar paham dengan hal yang telah dipelajari.
Saat berlangsungnya ujian, kita segera berpacu dengan waktu untuk menghafal. Namun, saat ujian telah selesai semua hal itu menjadi tidak berarti dan terlupakan. Semudah itu arti pengetahuan yang selama ini dijalani. Kerap kali kita terjebak pada hasil yang menjadi patokan utama keberhasilan pendidikan.
Mungkin ini tuntutan zaman pula yang menganggap semua hal yang cepat menjadi baik merasuk sampai ke ruang kelas. Sehingga, kita tidak menikmati setiap proses yang dilalui. Kita lebih memerhatikan hasil yang telah dicapai. Tanpa sadar kita menjadi buta dalam mengukur pengetahuan yang telah didapatkan. Seakan dengan nilai yang bagus menjadikan kita berpuas diri dalam mereguk ilmu pengetahuan.
Segala hal yang mudah dan praktis ini membuat kita tidak mendalami makna pendidikan. Padahal, makna pendidikan yang diharapkan dapat membuat kesejahteraan. Akan tetapi, makna pendidikan yang selama ini dijalani masih jauh dari harapan. Tercerminkan dari setiap masalah, pemerintah hanya menyelesaikan masalah secara cepat. Ini imbas dari pendidikan yang membuat mental masyarakat menyelesaikan permasalahan secara praktis.
Kita dapat melihat fenomena ketika seseorang ingin kaya ia melakukan korupsi. Ketika masyarakat kelaparan, pemerintah memberikan sembako gratis. Itu adalah akibat dari solusi yang diajarkan dikelas dalam memeroleh solusi yang praktis. Ini adalah petaka bagi pendidikan di Indonesia. Bila pendidikan yang telah dijalani hanya bersifat penyelesaian yang kurang memiliki solusi yang baik.
Pendidikan dalam ruang kelas membuat kita makin merefleksikan diri kebermaknaan kelas sebagai ruang belajar Menciptakan diri untuk terus berproses menikmati pengetahuan. Untuk itu, selaiknya kita dapat mengubah orientasi dalam memaknai pendidikan. Dikarenakan, kelas bukanlah satu-satunya tempat kita memeroleh ilmu pengetahuan. Kitapun tidak dapat mengartikan kelas sebagai ruang peraih nilai semata.