Aku terlahir sebagai musafir yang adanya untuk pemenuhan sebuah perjanjian. Melangkah tanpa alas dan pakaian, Isak tangis mengiringi kehadiran, disisi lain senyuman diiringi suka cita menyambut kelahiran ku. Sehingga sampai datang waktunya untuk berjalan ke sana kemari, timur ke barat, selatan ke utara dan tiba pada persinggahan terakhir di titik janji.
Aku terlahir dengan perjanjian rindu mengikat untuk sebuah perjumpaan. betapa pun jauh jiwa berjalan dia akan sampai di titik rindu. Sebab kelahiran ku adalah sebagai pembuktian sebuah perjanjian, bukan pemenuhan hasrat kebutuhan.
Hamparan bumi adalah sebuah persinggahan para perindu. Mereka bertaburan memenuhi hasrat kebinatangan dalam jiwanya, dari tertib sang fajar hingga terbenamnya sang senja. Bila rembulan datang mereka terlelap di tempat-tempat empuk, dan ketika sang mentari datang mereka bertebaran di muka bumi seraya bernyanyi "aku adalah perantau , pulang adalah kepastian adanya".
Gemerlap persinggahan adalah ilusi yang menelan jiwa. Dia berhias layaknya Cleopatra, menari-nari dengan lantunan syair-syair hedonis, dia tampil dengan emas permata berbalutkan sutera yang menghipnotis keburukan dengan kebenaran, kemunafikan dengan kemuliaan, dan dia membaluti dirinya dengan kesenangan-kesenangan yang semu layaknya patamurgana.
Bagaimanapun indahnya, eloknya, nikmatnya dia tetap adalah sebuah persinggahan, kita tinggal hanya sementara sebatas memenuhi haus dahaga, tempat mempersiapkan bekal untuk perjalanan yang abadi.
Seorang penyair pernah bertutur dalam syairnya "Yang tampak dari bumi adalah debunya, namun di balik debu itu ada sifat-sifat Tuhan yang mengejawantahkan. Dimensi dalamnya adalah emas permata sedangkan hiasan luarnya adalah sebongkah batu". Jangan lupa kau lahir dengan sebuah perjanjian primordial yang membelenggu, suatu saat jiwa akan kembali di sebuah titik perjanjian.
Seekor burung kebebasannya terhalang oleh sarangnya, dan sejauh-jauh dia terbang akan kembali ke sarangnya, begitulah aku terlahir dengan perjanjian rindu, seorang pecinta akan kembali kepada sang kekasihnya, menyatu, serta bertemu dengannya adalah kenikmatan yang tiada tara.
Sang pecinta dia terkurung dalam sangkar rasa. Kebebasannya terkurung oleh rindu, sang kekasih adalah tuanya dia tidak bisa pergi jauh apalagi meninggalkannya, hanya pasrah di dalamnya menunggu kedatangan sang kekasih.
Aku yang berjalan telah tenggelam dalam percikan api kerinduan. Kobarannya telah menelan jiwa, membakar lerung qalbu sehingga diri layaknya abu yang berterbangan di udara. Semakin menjauh semakin dekat sehingga aku dan dia menyatu dalam kerinduan di dalam relung hati.
Kini aku telah minum anggur kerinduan. Kesadaran tertelan olehnya, berjalan kesan kemari layaknya orang gila yang terlunta-lunta. Kini, aku bukanlah diri-ku, Aku yang berjalan bukan diri-ku, Aku telah lupa akn diri-ku, tertelan dalam jeratan sang kekasih. Dan aku hanya bisa berceloteh tidak keruan.
"Aku terlahir dengan perjanjian rindu. Penderitaan rindu membuat aku berkelana dari sang fajar hingga sang senjata. Rindu yang membelenggu membebaskan aku dari bayangan-bayang kekasih yang semu, mengikat menuju dia seorang.
Aku kira kau di ufuk fajar, akau berjalan menuju fajar. Namun, kekosongan, kehampaan yang akau temukan.
Aku berpikir lagi kau bersemayam di ujung senja, akau bergegas lari menuju senja. Namun, keheningan dan kegelapan yang aku temukan.
Di manakah engkau kekasih?
Aku di sini layaknya bangkai diam terlentang.
Keberadaan-ku adalah ilusi dari sang kekasih".
Aku adalah lilin yang perlahan hilang ditelan api kerinduan, panasnya membakar jiwa yang membuat lupa akan diri, sehingga yang tampak bukanlah diri melainkan sang kekasih.
Panasnya api kerinduan akan tidak terasa bila sang kekasih tampak dekat, kerinduan hadir bila ada sebuah jarak sebab kerinduan itu ada karena sang kekasih jauh adanya. Kalau orang kata "penawar racun kerinduan itu adalah sebuah perjumpaan, dia merupakan mutiara yang sering didambakan oleh setiap pecinta".
Rembulan bersinar menampakkan kekuasaannya kepada malam. Mentari berjalan dengan keagungan-nya melintasi penghuni semesta dan dia menjelma sebagai estetika yang penuh hasrat di penghujung senja, lalau sang perindu berjalan menyusuri batas waktu perjanjian.
Aku adalah seorang perantau, di kala gelep dan sunyi tiba selalu menangis, terkadang nyanyian rindu adalah nostalgia akan kampung halaman. " Kapan aku pulang?. Apa aku bisa kembali bila ?" Adalah pertanyaan yang kian sering menghantui pikiran. Namun, kadang aku lupa akan diri adalah seorang perantau, kesan kemari hingga terlena dengan ilusi persinggahan adalah sebab diri lupa dengan tempat kembali, malah enggan.
Aroma wewangian menimbulkan gairah rindu para pecinta kepada sang kekasihnya. Sehingga di kesunyian malam mereka mabuk dengan anggur kerinduan yang menelan jiwa sang pecinta, mereka menangis menempelkan kepala di tanah lalu mereka melebur menjadi satu kesatuan yang ada hanya sang kekasih.
Di kesunyian malam aku teringat sebuah sajak dari seorang pujangga " Hadir adalah hadiah paling indah bagi rindu yang memuncak". Tidak ada kenikmatan yang sempurna bagi perindu kecuali pertemuan.
Sang sultan agung pernah menulis sebuah sajak "Puasa batin kenikmatannya adalah ketika berbuka berjumpa dengan sang kekasih (Ilahi)".