Tidak lama setelah kasus Reynhard Sinaga dipublikasikan, beredar pesan-pesan di berbagai grup WhatsApp dan juga di media sosial lain tentang opini netizen menanggapi kasus tersebut. Hampir semua netizen tercengang dengan aksi bejat yang dilakukan Reynhard Sinaga.

Tercengang, karena tindakan yang dilakukan Reynhard luar biasa, memperkosa puluhan, bahkan diduga ratusan laki-laki di dalam apartemennya. Luar biasa, karena banyaknya jumlah korban, disebut oleh hakim yang mengadili kasus tersebut sebagai kasus perkosaan terbesar sepanjang sejarah di Inggris.

Saya pun tercengang sekaligus takjub dengan kelihaian Reynhard memperdaya korban-korbannya. Mereka tak menyadari dirinya sudah diperkosa sampai polisi memberitahukan fakta menyakitkan tersebut.

Kasus pemerkosaan memang kasus yang luar biasa biadab. Dalam perkosaan terjadi praktik kuasa, karena tindakan tersebut dilakukan oleh seseorang di luar persetujuan pihak lain, dalam hal ini si korban.

Atas kebiadabannya, maka sudah sewajarnya pelaku perkosaan diberi sanksi seberat-beratnya. Perkosaan memang harus dikutuk agar seseorang tidak lagi berpikir untuk melakukan penguasaan sepihak atas tubuh orang lain.

Hujatan Salah Fokus

Namun, saya cukup shock dengan bagaimana netizen memperbincangkan kasus tersebut. Alih-alih menghujat tindakan perkosaan, netizen justru asyik mengungkit-ungkit permasalahan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender).  

Sebuah pesan di salah satu grup WhatsApp tertulis yang kurang lebih mengingatkan bahaya LGBT. Pesan yang lain memberikan petuah tentang pentingnya para orang tua mendidik anak-anaknya agar tidak terperosok pada perilaku LGBT. Saya cukup pusing dengan berseliwerannya pesan-pesan itu di lini masa media sosial saya. 

Sebenarnya tidak mengherankan jika netizen salah fokus atau gagal mengidentifikasi persoalan yang sebenarnya. LGBT sudah sejak lama diberi stigma sebagai perilaku yang menyimpang, abnormal, penyakit, membahayakan, dan label-label negatif lainnya. Kelompok-kelompok LGBT dianggap sebagai pendosa, kriminal, dan sebangsa virus yang harus dihindari atau bahkan diberantas.

Kebencian netizen inilah yang kemudian membuat mereka justru lebih tertarik mengutuk Reynhard yang kebetulan seorang gay daripada membencinya karena ia adalah seorang predator seks, seorang pemerkosa. Kejahatan yang dilakukan Reynhard menjadi semacam pembenaran atas kebencian mereka terhadap kelompok-kelompok LGBT.

Menormalkan Perkosaan?

Netizen seolah-olah lupa (atau tidak mau tahu) tentang fakta Reynhard adalah seorang pemerkosa. Mereka justru mengungkit dan makin membenci LGBT. Akibatnya, mereka justru permisif terhadap tindakan perkosaan.  

Lihat saja pesan-pesan yang berseliweran di media sosial adalah imbauan untuk para orang tua agar mengawasi anak-anaknya supaya tidak terjerumus dalam perilaku LGBT. Tapi saya belum pernah menemukan pesan yang intinya mendorong orang tua untuk mendidik anaknya agar tidak menjadi pemerkosa. 

Bukankah ini semacam menormalkan tindakan perkosaan dan mengeksklusikan perilaku dan kelompok LGBT? LGBT memang masih menjadi pro dan kontra di mana-mana. Saya bukan seorang yang anti atau pro LGBT. Saya hanya melihat bahwa menjadi LGBT adalah sebuah pilihan yang harus dihormati. Artinya, masih ada ruang untuk mendiskusikan soal LGBT.

Tapi perkosaan? Saya tegaskan lagi, perkosaan adalah tindakan yang biadab. Adakah yang tidak setuju dengan saya? Saya kok tidak yakin ada orang yang mendukung perkosaan. Jadi tidak ada kompromi dengan perkosaan yang sudah jelas-jelas adalah tindakan kriminal.

Lalu mengapa dinormalkan? Dengan mengabaikannya, tidak pernah membicarakannya, tidak menghujatnya, itu berarti kita menormalkannya. Ini berbahaya. 

Kita tidak pernah dibiasakan untuk mendidik anak-anak kita agar tidak menjadi pemerkosa. Namun kita justru lebih sibuk mewanti-wanti jenis pakaian anak kita, cara bergaul anak kita, atau melarang anak kita pergi sendirian malam-malam. 

Bukannya tidak penting, tapi yang lebih penting justru tidak kita lakukan. Seharusnya kita mengajarkan anak kita untuk menghargai dan menghormati tubuh dan privasi pihak lain. Sudah menjadi kewajiban kita untuk mendeskripsikan pada anak-anak kita betapa biadabnya seorang pemerkosa.

Nalar Berengsek

Ada fakta mencengangkan lain yang saya temukan dalam perbincangan netizen di media sosial. Saya membaca salah satu cuitan di Twitter yang seperti ini, “Memalukan, malu baca beritanya…Kalau memperkosa wanita masih maklum…Ini dobel memalukan.”

Saya sangat emosional membaca cuitan tersebut. Ini bentuk normalisasi perkosaan yang lain. Kemarahan sang netizen didorong karena korban perkosaan adalah laki-laki. Jadi, kalau yang diperkosa perempuan, adalah hal yang wajar. Seolah-olah menjadi perempuan memang sudah nasibnya untuk diperlakukan sebagai objek oleh laki-laki. Tapi menjadi laki-laki bukan untuk diobjektifikasi.

Sebuah nalar berengsek. Ini juga bukan fakta yang mengejutkan kalau sebagian masyarakat kita bernalar demikian. Kita sudah dijejali pemahaman sejak kecil bahwa menjadi laki-laki sudah ditakdirkan untuk memiliki sejumlah privilege, menjadi superior dan powerful. Jadi saat ada laki-laki yang kehilangan superioritas dan kekuatannya, hal tersebut dianggap memalukan.

Saya jadi ingat tulisan Tom Boelstoff (2004) tentang Political Homophobia. Istilah itu merujuk pada maraknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas kepada kaum homoseksual. 

Manurut Boelstoff, Political Homophobia merujuk pada adanya relasi antara kekerasan politik, budaya, dan seksualitas. Homophobia yang ditunjukkan oleh sekelompok laki-laki didorong oleh adanya perasaan malu atas penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok non-normatif. 

Kaum homoseksual dan transgender dianggap mengingkari identitas maskulin yang melekat pada laki-laki seperti konstruksi norma heteroseksual. Tindakan kekerasan tersebut merupakan tindakan maskulin laki-laki sebagai konfirmasi identitas kelaki-lakian mereka.

Saya jadi paham apa yang dimaksud dengan “dobel memalukan” pada cuitan tersebut. Memalukan yang pertama adalah si netizen yang notabene laki-laki merasa malu dengan orientasi seksual Reynhard. 

Laki-laki membenci gay karena ia mengingkari identitas maskulininitasnya. Laki-laki maskulin adalah laki-laki heteroseksual yang berkuasa atas perempuan. Itu yang menyebabkan pemerkosaan pada perempuan adalah sesuatu yang bisa dimaklumi.

Memalukan yang kedua merujuk pada fakta bahwa korban perkosaan adalah laki-laki. Dalam budaya patriarki, laki-laki sebagai korban perkosaan, baik oleh laki-laki maupun perempuan sangat jarang diungkap.

Sebagai korban perkosaan, laki-laki enggan melaporkan atau menceritakan perkosaan yang dialaminya karena ia merasa itu sebagai tindakan yang memalukan. “Beban” laki-laki sebagai makhluk superior menjadi penyebabnya. Laki-laki tidak boleh lemah. Menjadi korban perkosaan menunjukkan ia sebagai laki-laki yang lemah.

Budaya Perkosaan

Budaya patriarki memang menormalkan laki-laki untuk menjadi pelaku kekerasan seksual. Saya yakin, jika korban Reynhard adalah perempuan, pasti lain lagi ceritanya. 

Netizen pasti lebih asik menggunjingkan kenapa si perempuan mau diajak masuk ke kamar Reynhard, si perempuan pakai baju apa, atau salahnya sendiri kok perempuan berkeliaran malam-malam, mabuk lagi. Sementara perilaku Reynhard akan dimaklumi. Namanya juga laki-laki, ya sudah pasti nafsunya besar.

Budaya kita memang dekat dengan budaya perkosaan atau rape culture. Pemakluman atas tindakan perkosaan makin melanggengkan budaya tersebut. Jika ingin memutusnya, kita harus mengubah mindset kita tentang peran dan posisi gender.

Epilog

Seorang teman Facebook mengomentari status saya dengan bertanya, bagaimana caranya mendidik anak untuk tidak menjadi pemerkosa. Saya pikir, kita bisa memulainya dengan mengubah mindset kita.

Jika selama ini kita memaklumi nafsu birahi laki-laki dan melaknat perempuan yang memiliki nafsu yang sama, mulailah kita untuk melihat laki-laki dan perempuan sebagai entitas yang dianugerahi nafsu yang sama, sehingga baik laki-laki maupun perempuan wajib belajar untuk mengendalikannya.

Mulailah kita untuk melihat laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara, sehingga dalam berelasi kita bisa saling respek dan melengkapi satu sama lain. 

Hal penting lainnya adalah mulailah kita menghargai dan menghormati tubuh dan privasi orang lain. Setiap orang berhak untuk mengekspresikan tubuhnya dengan caranya masing-masing. Kita tidak berhak untuk menilai, menatap, bahkan menyentuh tanpa persetujuan sang pemilik tubuh. Bisakah?