Pada satu kesempatan, aku hanya ingin berkata, "Kont**l kalian dijual ke mana? Argumen selangit, bahasanya politis, tapi praktiknya sok heroisme. Atau, karena terlalu banyak melotot tayangan drama televisi yang melankolis itu setiap hari, sehingga aksi di jalanan ikut-ikutan menjelma menjadi drama kehobongan?"
Ini ya, satu tulisan sederhana. Mungkin terkesan nyeleneh, tapi cukup plural. Yang mengangkat tema 'Revolusi Kekanak-kanakan" filosofis tentang kumpulan manusia yang telah dihidangkan makanan mewah yang kemudian berubah menjadi hewan.
Ruang-ruang publik telah seksi. Buktinya, hampir semua media, baik cetak maupun online, memberitakan semua mahasiswa turun ke jalan. Dan itu luar biasa! Bahkan "Dua Tumb" untuk kalian.
Dan tak dimungkiri, hampir semua daerah melaksanakan praktik yang sama. Tapi, eitss, tunggu dulu! Ada beberapa pula daerah yang cukup mengesankan dan menggelitik ketika ingin terlihat seperti mereka, "Walaupun hanya sekadar promosi."
Tapi biarkan saja: intinya adalah Gerakan Rakyat itu dinamis, "Tergantung dari gerak kualitas di dalam." Tengok Materialisme Metafisik; Ontologi dan Animisme.
Selanjutnya, sebelum masuk ke pembahasan inti, tak lebih dan tak kurang, sekadar imbauan, jenis aksi yang disebut promosi aksi itu tak ubahnya seperti meja makan: sebuah tempat berkumpul untuk berpesta pora. Cengar-cengir sana-sini sambil merumuskan sebuah solusi dari suatu masalah yang ada.
Tapi sebentar, yang anehnya, solusi yang dilahirkan dijadikan sebagai ladang mainan untuk mendapatkan keuntungan dan jabatan. Bahkan ada yang mencoba menjadi superman. Bedanya, mereka nggak pakai sayap, atau nggak punya kekuatan.
Dan sigap saja, sambil bersimpuh di kaki rakyat, walaupun mereka nggak pakai sayap, kekuatan mereka mampu untuk menguliti praktik sosial itu. Dengan berjalan leak-leyok dengan pekikan megaphone: seperti Soekarno dua, tapi yang terjadi, menjadi bahan tertawa dari elitw politis? Bahkan elitw politis itu bergumam dalam hati:
"Itu mahasiswa atau anak kecil? Kok suaranya selangit tapi praktiknya ilusi. Sudah, tutup saja pagar itu, mereka nggak akan masuk, kok!" Sahut mereka dengan senyum setan sambil memperlihatkan gigi kekuning-kuningan."
Dan pikirku, ketika ini terjadi secara berkala: kita telah masuk pada jurang kesalahan dalam menafsirkan praktik sosial (demonstrasi). Karena sebuah aksi tanpa sesuatu yang terencana secara sistematis dan struktural dan tanpa pandangan teori revolusioner yang mendukung itu, pastinya tidak akan menghasilkan apa-apa. Malahan hanya menguras tenaga dan pikiran.
Sebut saja sang komandante Che Guevara, tokoh revolusioner Kuba. Tanpa pikir panjang, di sela-sela ketakutan pasukannya di bawah bayang-bayang rezim Batista, dia berkata: "Tidak ada jalan yang rindang bagi pejuang perubahan sosial—ketika perjuangan itu masih menyandarkan kepada negoisasi dan diplomasi dengan kelas penindas.
Pada intinya, teman kita itu; Che Guevara bersama pimpinan revolusi Kuba Fidel Castro, sangat menyayangkan ketika sebuah perjalanan menghapus luka negara diisi dengan panggung sandiwara yang spekulatif. Apalagi diisi oleh pelakonnya yang bermuka dua, maka yang lahir adalah untung-rugi uang di balik gedung bertingkat.
Dan itu sah. Buktinya, sejarah Indonesia telah mencatat itu. Revolusi 45 yang dikatakan sebagai revolusi gagal dan Reformasi 98 sebagai reformasi yang belum dewasa tidak akan menemukan apa-apa tanpa pengorbanan rakyat dan mahasiswa yang diculik, dibunuh dan tidak melakukan jabatan tangan dengan kelas penindas. Karena ketika negosiasi hanya melahirkan sebuah revolusi yang kekanak-kanakan.
Atau simpelnya: apakah perlakuan negara atas dasar suka sama suka, atau suka dan duka? Marilah kita bedah satu per satu.
Suka sama suka
Suka sama suka adalah aksi yang terkesan nominal: yang menjelaskan sebuah manifestasi gerakan adalah sebuah ladang pencarian uang maupun jabatan politik, dan itu banyak!
Dan biasanya mereka menggunakan tesis pertama itu sebagai topeng agar dikatakan sebaga pegiat demokrasi sebenarnya. Padahal tak lebih, mereka adalah orang yang berwatak pelaku prostitusi, membeli kepentingan rakyat dengan uang dan jabatan.
Sebut saja seperti sebuah tikus, hewan itu tak akan mencari makan ketika dia kenyang. Begitu halnya dengan aksi suka sama suka: negara akan memberikan uang kepada massa ketika aksi sosial itu ditinggalkan dan seenak jidat ditelantarkan begitu saja.
Suka sama duka
Tesis ini bukanlah jalan yang paling tepat sebagai alat tempur rakyat untuk bahagia dalam segala sektor kehidupan. Tapi, kusebut rute ini cukup bersih dan murni ketika dipakai oleh pegiat demokrasi.
Mengapa? Karena dari tesis ini mereka bisa membedakan mana aksi yang lahir dari duka rakyat sejatinya yang tak berkesudahan, dan kepentingan pribadi mereka karena dompet kosong.
Sepintas, alat ini adalah sebuah jalan yang terang sebagai senjata yang tepat sasaran. Karena alat ini tidak dipolitisasi sebagai tempat promosi untuk menjadi pejabat negara.
Alasannya adalah, karena biasanya orang-orang dengan gagah berani bersuara dengan nada yang menggelegar bak petir di siang hari adalah orang-orang yang spontanitas tanpa memandang sebuah hukum ketimpangan praktik revolusioner.
Oke. Cukup sekian dan terima kasih. Salam hangat dari anak miskin ini. Tetap perkokoh tameng persatuan mahasiswa dan singkirkan paham-paham yang menindas.