Pemilu presiden dan legislatif 2019 secara serentak telah ditunaikan. Namun, perhelatan belum sepenuhnya usai: suara-suara terus-menerus dibilang, hasil penghitungan temporer bersinambung disiarkan, dan beberapa orang masih memilih larut-hanyut dalam kesumat tentang siapa yang mengungguli siapa.
Saya pikir semua lazim adanya, meski berantukan-karena-Pemilu memang jadi tanda bahwa ada yang tak beres pada sebagian kita. Ada hal lain yang saya pikir terlampau menggelisahkan.
Saya betul-betul tergemap ketika tahu ratusan fungsionaris Pemilu—yang termasuk petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan personel Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)—telah gugur.
Sebagai orang yang pernah bekerja di biro iklan, saya mafhum bagaimana kerasnya bergelut nyaris nonstop dengan order—beberapa kasus berkait dengan praktisi periklanan yang wafat akibat kelelahan bekerja pun sudah tak aneh terangkat, dan itu adalah buah dari sistem yang salah. Namun, saya belum bisa menanggapkan bagaimana penyelenggaraan Pemilu mampu menggeramus nyawa, sampai saya tahu betapa mengerikannya Pemilu serentak.
Pada Pemilu serentak tahun 2019 ini, setidaknya ada 813 ribu lebih tempat pemungutan suara yang masing-masing ditunggui oleh tujuh petugas KPPS. Itu berarti ada 5,6 juta lebih petugas KPPS yang diembani fungsi. Selanjutnya, coba kita taksir total anggota Panwaslu dan personel Polri yang juga ditugasi. Itu tentu jumlah yang masif, jika tak mau dikatakan eksesif.
Sejak hari hajatan Pemilu masih bisa dihitung dengan jari, para fungsionaris Pemilu yang dititipi beban itu telah mencicip kesibukan yang terus-menerus. Membincangkan penyebaran logistik akan jadi lebih serius kala kita menginsafi wilayah Indonesia yang belantara. Menyelia kelayakan dan kecocokan jumlah kelengkapan (kotak suara, surat suara, paku pencoblosan, dan sebagainya) pun pasti tak enteng.
Pada hari ketika Pemilu dilantaskan, mereka yang telah sedia sejak pagi-pagi tak putus-putus berurusan dengan surat suara yang memunjung. Jangan lupa: ada lima rupa surat suara tercoblos yang minta diladeni. Itu masih belum mencakup tetek bengek lain.
Ada tekanan untuk memastikan pencoblosan berjalan nirkendala, penghitungan suara tak molor, dan gelagat patgulipat kosong sama sekali. Untuk membayar semua itu, yang tentu saja belum pasti lunas, ada istri yang harus merelakan berpulangnya suami; ibu yang kehilangan jabang bayi yang telah lama dinanti; dan anak yang bingung kenapa ayahnya tak kunjung tiba di rumah.
Kita patut berduka, itu tentu. Namun, menjadi latah dengan turut menamakan para mendiang “pahlawan demokrasi”, saya pikir, merupakan kealpaan. Menjadikan tagar #IndonesianElectionHeroes tren di Twitter adalah bentuk pengekoran yang tak elok.
Kita perlu menafakurkan permainan bahasa yang acap dimanfaatkan oleh sebagian besar politisi. Di mana akar problem hendak ditimbun, di situ retorika berbuat. Alih-alih menyimbolkan apresiasi tinggi, frasa “pahlawan demokrasi” justru menyiratkan betapa tebal telinga para petinggi negeri.
Saya tak tahu siapa yang lebih dahulu menggagas frasa itu dan apa mayoritas penguasa semufakat melisankan frasa-frasa serupa. Setidaknya presiden sekaligus petahana, Joko Widodo, telah mengujarkan. Tim Kampanye Nasional, Komisi Pemilihan Umum, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jawa Barat. Entah satuan dan tokoh dominan mana lagi yang sehaluan. Media massa, yang amat berpengaruh terhadap pemasyarakatan istilah, secara tak arif, membebek pula.
Ada hal yang tak boleh luput dari perhatian: para fungsionaris Pemilu itu sejak awal tak diberikan jaminan keselamatan. Perekrutan petugas KPPS bersifat acak dan mendadak—beberapa kawan suami saya mengalaminya—membuat pemeriksaan kesehatan yang memadai kecil kemungkinan dilakukan. Honor berpajak yang ditetapkan tak setolok dengan waktu kerja yang menyalahi aturan ketenagakerjaan.
Jika alasan memadukan Pilpres dan Pileg dalam sehari adalah agar terwujud Pemilu yang mangkus dan sangkil, maka kita tak berhasil.
Memang ironi: Mahkamah Konstitusi menghendaki Pemilu yang tak mengganyang banyak waktu dan anggaran, tetapi kemudian mensyaratkan Pemilu yang pelaksanaannya di luar kapabilitas manusia. Yang lebih menyesakkan, itu terjadi ketika revolusi industri 4.0 kerap dikumandangkan oleh pembesar-pembesar.
Sungguh bijak jika kita mau mengakui bahwa para fungsionaris Pemilu yang gugur adalah korban-korban dari struktur yang bersengkarut. Iktikad untuk memperbaiki regulasi yang bercela tentu jauh lebih masuk akal.
Sekali lagi, menganyam kata-kata berbunga sambil menutup mata adalah seburuk-buruknya tindakan.