Wacana pemulangan 6500 mantan anggota kelompok teror ISIS menjadi perbincangan dan perdebatan sejak tahun 2017 hingga awal tahun 2020. Pembakaran rumah di Sigi dan peledakan bom oleh Ali Kalora anggota Mujahidin Indonesia dan menguasai wilayah Indonesia Timur cukup mengagetkan kita bersama. Hal ini menjadi bencana dan keprihatinan Nasional.
Pemulangan 6000 anggota ISIS menjadi wacana kembali. Tidak hanya di lapisan elit selaku pemangku kebijakan akan tetapi juga di level grassrote. Bahkan merunut liputan berbagai stasiun TV, penelusuran para jurnalis dan penggalian berita dilakukan dengan mewawancarai korban-korban teror bom seperti di Surabaya bulan Mei 2018 lalu.
Mereka diwawancarai kebanyakan masih dalam kondisi trauma dan fisik mereka yang cacat permanen. Misal kaki bengkok dan pernah berlubang, buta juga lumpuh total, menjalani hari-harinya hanya di atas tempat tidur.
Jurnalis sebenarnya ingin menyuguhkan fakta aktual bagaimana sejarah terorisme berdampak di masyarakat. Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang dalam hal ini, tragedi dan penanganan terorisme.
Berbicara tentang pemulangan kembali kelompok ekstrim ISIS ke Indonesia, pasti akan ada costs yang harus dibayar, yakni costs sosial, politik, ekonomi. Ini adalah hipotesis penulis. Akan tetapi ini mungkin yang tengah terjadi.
Ketidakamanan wilayah Indonesia Timur saat ini dan wilayah Indonesia Timur yang agak terkoyak mungkin menjadi suatu tanda yang tidak baik atau bahkan sebenarnya bencana sudah terjadi.
Dimana media dan akan ke mana kita melalui wacana?
Di bidang sosial terdapat risiko tidak amannya kelompok-kelompok pribumi dan juga minoritas yang sangat beragam. Ada 370 bahasa Ibu (artinya adalah bahasa yang berakar langsung dari Nusantara) yang tersebar dari Provinsi Aceh hingga ke Papua. Ini berarti bahwa ada 370 kelompok berbeda penduduk asli Nusantara yang mungkin tidak mengenal sama sekali konsep-konsep seperti Negara Islam atau ide-ide seperti Khilafah.
Lebih lanjut, bisa dikatakan mayoritas, penduduk Indonesia (200.000 orang) tak mengenal diksi-diksi seperti; Syari'ah, Mahkamah Syariah, Qanun, Ahlus Sunnah, Jihad, Hadist Soheh, Nasab, Hijab, Fardlu, Ahad, Thogut, Quraish, dan tak familiar mengenai wacana-wacana seperti perdebatan mahzab; antara Syafi'i, Hambali, Hanafi, dll. Juga perdebatan tafsir serta apa itu syariat, juga lain-lain yang masih banyak lagi yang sudah mesti akan mewarnai wacana keseharian.
Lantas kita akan membicarakan apa?
Ini sebetulnya adalah pertanyaan paling problematik. Sebab, wacana-wacana ruang publik tentu akan dikuasai oleh elit dan penguasa juga media dominan, tentu motifnya jelas adalah penguasaan akan hajat hidup dan orang banyak.
Ketika kita sudah tak saling bercakap-cakap lagi. Khususnya dengan bahasa Ibu. Tentu itu tanda-tanda bahwa kita sudah dikuasai oleh wacana dominan tersebut. Intinya sudah diatur atau tepatnya diatur oleh yang berkuasa.
Siapa Moderat VS Siapa Ekstrim?
80% angka mayoritas Islam di Indonesia menurut Phew Research, pada kenyataannya Islam sendiri terbagi-bagi ke dalam puluhan organisasi besar dan ratusan kelompok kecil dan tidak memiliki cara atau custom, sudut pandang yang sama persis kadang justru cenderung sangat beragam.
Hal ini kemudian mengakibatkan kemungkinan bahwa pergesekan di masyarakat akan sangat besar jika kelompok yang sangat berbeda hadir di tengah-tengah mereka. Ormas seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah yang jelas mengusung ide Islam moderat adalah organisasi paling pertama yang tentu akan menjadi versus dari organisasi ekstrim baru yang mungkin muncul.
Di tahun 2017, telah ada sekitar 300 anggota ISIS yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Kebanyakan mereka bersembunyi di daerah pedesaan terpencil, salah satunya di Jawa Tengah seperti Salatiga dan berbasis di Sukoharjo. Mereka secara jelas dan tidak pernah malu-malu untuk mengakui bahwa mereka mengada untuk mewujudkan Daulah Islamiah atau negara Khilafah. Mereka meyakini bahwa meskipun mereka ramping dalam jumlah anggota organisasi tetapi mereka militan.
Mereka pun sangat optimis. Lebih optimis dari apa yang kebanyakan orang kira. Selain itu, rasa percaya diri (confidence) itu datang dari dukungan sumberdaya yang jauh lebih 'modern', menurut mereka. Mereka juga memiliki cyber jihadist atau yang dikatakan sebagai jihadis di ranah siber yang juga bisa dikatakan oleh mereka semilitan dan sekaliber Ali Kalora di medan jihad.
Sementara kita yang awam mungkin masih berkutat pada mungkin atau tidak mungkin misi terwujudnya negara khilafah dan bagaimana feedback kita tentangnya. Selain itu berputar pada perdebatan yang lebih seringkali sangat sengit. Kita juga terjebak pada bagaimana perdebatan itu berlangsung. Meskipun sebenarnya siapa dan bagaimana sudah tak penting lagi. Mengingat kemana kita akan dibawa oleh wacana-wacana itu.
Aceh yang telah terbentuk dan sistemnya telah berjalan secara legal sebab adanya Peraturan Daerah (Perda) yang menyokongnya selama 18 tahun, juga aparat bernama Polisi Syari'ah yang mengawal perda-perda itu. Aceh pada 2020 ini sepertinya menjadi percontohan paling nyata dari cita-cita negara bersyariah atau Khilafah.
Cita-cita yang telah ada bahkan sejak zaman Soekarno, di mana untuk pertama kalinya saat itu ditandai dengan memperkenalkan Islam Sontoloyo. Silakan membaca Academia jika Anda tak memiliki bukunya (1). Agar urat syaraf tak tegang atau bahkan putus. Saya merekomendasikan untuk berwisata ke lukisan Gus Mus, Berdzikir Bersama Inul (2).
Jika kembali ke Aceh, pada dasarnya Aceh dalam kerangka Syari'ah yang berjalan selama 18 tahun ini, telah terbukti gagal dalam mensejahterakan masyarakatnya sendiri dan mengolah Sumber Daya Alam (SDA), juga Sumber Daya Manusia (SDM) dan pariwisata yang ada.
Menurut wawancara yang dilakukan oleh penulis, banyak bioskop ditutup, tempat hiburan dan pemberlakuan jam malam juga larangan konkow atau nongkrong dan ngebar di kafe-kafe dan angkringan, sehingga mengakibatkan Aceh menjadi "kota mati" yang tak menarik, tak menggoda, untuk dikunjungi.
Pendapatan daerah terus turun. Aceh menjadi negara termiskin di Sumatra pada akhir 2019 (3). Masyarakat Aceh juga tidak bahagia atau sering mengalami pressure psikologis sebab menghadapi aturan-aturan yang sering mengakibatkan was-was, depresi, anxiety, dan gangguan psikologis yang lainnya.
Tutur, salah satu sumber, warga asli yang lahir dan hidup di Aceh, yang penulis wawancarai di suatu kesempatan. Mewujudkan sistem syariah, secara ekonomi, cost yang harus dibayar ternyata terlalu besar, sebab menyebabkan kemerosotan ekonomi yang luas, hingga satu provinsi.
Lantas, kembali lagi kepada wacana pemulangan eks-anggota Islamic State. Terdapat pendapat yang menarik dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau sering disapa Kang Emil, yang sangat menyukai Batik Osing; Gajah Oling & Kopi Pecah. Dikatakan oleh Kang Emil bahwa "tidak apa-apa mantan anggota ISIS pulang ke Indonesia yang penting sudah Insyaf".
Akan tetapi kemudian hal ini terbantah oleh pakar terorisme Universitas Indonesia, Ridlwan Habib di suatu liputan wawancara Kompas TV yang ditayangkan 9 Februari 2020. Ia mengatakan bahwa tidak semudah itu mantan anggota ISIS dapat meninggalkan atau berhenti dari kebiasaan mereka. Ini terkait dengan alam bawah sadar juga mindset.
Sekali lagi, mereka banyak bermental kombatan dan beberapa yang paling 'biasa' telah 'terbiasa' hidup dalam militerisme atau terpapar terorisme. "Eks-ISIS juga mudah berbohong".
Wacana pemulangan eks-ISIS sejak 2017 memang ternyata tak hanya membuat ketakutan di masyarakat akan tetapi terbukti wacana apa pun sepertinya tak dapat meredam jua spekulasi risiko-risiko yang mesti dibayar ke depannya. Sejak Ali Kalora membakar sebuah rumah di Sigi. (4)
Apakah orang-orang berbaur dengan masyarakat kita?
Apakah orang-orang ini telah kembali dan telah mempengaruhi dalam interaksi kita sehari-hari. Apakah mereka telah menguasai media dan seterusnya? Apakah telah mempengaruhi secara ideologis atau kebiasaan. Semoga kita tidak melihat kekerasan atau bentuk-bentuk kerusakan yang diakibatkan oleh ektrimis yang mengganggu sistem bermasyarakat kita. Sebenarnya lebih sulit dan sangat sulit membayangkan mereka dapat terintegrasi menjadi masyarakat Nusantara.
(1) Muslim Moderat. 2016. Ini Makna
(1) Academia.edu. 2020. Islam Sontoloyo. Dalam https://www.academia.edu/37072307/Islam_Sontoloyo_Membaca_Kembali_Pandangan_Keislaman_Soekarno.
(2) Detik. 2020. Fakta-fakta Seputar Aceh Sebagai Provinsi Termiskin di Sumatra. Dalam https://news.detik.com/kolom/d-4877496/fakta-fakta-seputar-aceh-sebagai-provinsi-termiskin-di-sumatera
(4) Kompas. 2020. Ali Kalora Pemimpin MIT yang Diduga Terlibat Teror di Sigi. Dalam https://regional.kompas.com/read/2020/12/02/06560041/jejak-ali-kalora-pemimpin-mit-yang-diduga-terlibat-teror-di-sigi-kerap?page=all