Kemunculan Film Cek Toko Sebelah 2 pada tanggal 22 Desember 2022 lalu mengingatkan saya mengenai sekuel film sebelumnya dengan judul serupa yang muncul pada tahun 2016. Kedua film tersebut merupakan karya Ernest Prakasa yang bertemakan komedi dan keluarga. 

Sekuel pertama yang dibintangi Ernest Prakasa (Erwin), Dion Wiyoko (Yohan), Gisella Anastasya (Natalie), Chew Kin Wah (Koh Afuk), dan sejumlah aktor terkenal lainnya sukses memainkan emosi penonton dengan mengemas drama sebuah keluarga dengan sentuhan komedi.

Sekuel kedua dari film Cek Toko Sebelah ini juga tak kalah ramai dengan serial sebelumnya. Sebanyak 210.000 orang lebih telah menyaksikan sekuel kedua dari film ini yang mana baru tayang selama 4 hari. Hal ini membuat saya akhirnya  menonton ulang serial sebelumnya melalui layanan streaming online.

Saat setelah menonton ulang film karya Ernest tersebut, pendapat saya masih sama bahwa film tersebut benar-benar menghibur sekaligus menyentuh. Namun ada hal lain yang baru saya sadari dan cukup menarik untuk dibahas. Oleh karena itu, hal tersebut akan coba saya uraikan dalam tulisan ini..  

Praktik Marking di Film

Pemilihan Ernest dalam penokohan karakter di filmnya yang berlatar belakang etnis Tionghoa menimbulkan pertanyaan di pikiran saya. Namun setelah membaca artikel dari beberapa portal berita, ternyata hal ini memang disengaja oleh Ernest. Seperti ungkapnya di fimela.com, hal ini lantaran ia terinspirasi oleh kebanyakan pedagang keturunan Tionghoa yang selalu menyuruh pembeli mengecek toko sebelah apabila menawar harga barang dagangannya. Kemudian Ernest menggabungkan kisahnya dengan kebiasaan yang dilakukan orangtua keturunan Tionghoa.

Dalam kajian ilmu sosial dan linguistik, terdapat istilah marking, yaitu penandaan terhadap suatu hal yang dianggap tidak normal atau tidak lazim dihadapan suatu hal lainnya. Hal ini bertujuan agar sesuatu yang berbeda tersebut menjadi mencolok.

Mereka yang diberi tanda karena dianggap berbeda, seperti minoritas, yang mana dalam hal ini adalah etnis Tionghoa. Karakter-karakter Tionghoa hampir tidak pernah ditampilkan secara netral, tanpa ditandai. Praktik semacam ini sudah menjadi modus umum di media.

Pada film ini contohnya, terdapat tokoh pemilik toko yaitu Koh Afuk. Melihat dari kata “koh” yang digunakan, kita sudah bisa mengetahui bahwa etnis Tionghoa sangat ditonjolkan. Selain itu, logat bicara yang digunakan tokoh tersebut pun juga jadikan sebagai tanda etnisitasnya. Selain itu, tokoh tersebut ketika sedang marah dan kesal dengan karyawannya digambarkan dengan bergumam menggunakan bahasa Mandarin.

Tokoh lain yaitu Amiauw yang merupakan karyawan Koh Afuk juga selalu mendapat sebutan “koh” dari tokoh lainnya meskipun logat bicaranya ditampilkan secara netral. Selanjutnya juga ada Erwin yang merupakan anak kedua dari Koh Afuk ketika hendak bersalaman disambut dengan salam Soja yang merupakan budaya etnis Tionghoa.

Menampilkan sebuah etnis dalam produksi media memang merupakan sebuah pilihan. Namun ketika menjadikan etnisitas sebagai hal yang utama dalam mendefinisikan karakter dari tokoh di dalamnya bisa menimbulkan stereotype pada etnis tersebut.

Stereotype Etnis Tionghoa di Film

Dalam kajian multikulturalisme, istilah stereotype merupakan konsepsi yang secara tetap melekat pada kelompok tertentu. Hal tersebut menyebabkan persepsi seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain adalah latar belakangnya dan kemudian menjadikan hal tersebut sebagai dasar untuk menilai individu yang bersangkutan(Sukmono and Junaedi 2014). Meskipun demikian, stereotip tidak selalu negatif namun juga bisa positif.

Stereotip bahwa etnis Tionghoa sebagai pedagang merupakan sesuatu hal yang sudah melekat sejak lama. Tentunya hal tersebut berdasarkan sejarah di mana nenek moyang etnis tersebut yang datang dari Tiongkok ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah untuk dibeli dan diperjualkan kembali. 

Pemilihan karakter beretnis Tionghoa yang dilakukan pembuat film meneguhkan pada penonton mengenai stereotip tersebut karena tokoh utama memiliki toko sembako. Selain itu, toko yang menjadi setting tempat utama dan sering dimunculkan mengukuhkan realitas kehidupan etnis Tionghoa sebagai pedagang.

Selanjutnya, terdapat stereotip etnis Tionghoa yang memiliki sifat pelit. Perbedaan persepsi menjadi latar belakang awal kemunculan stereotip tersebut. Prinsip hemat dan suka menabung dari mereka yang beretnis Tionghoa dianggap sebagai sifat pelit oleh pribumi. 

Hal ini juga terkait dengan stereotip pedagang yang melekat pada etnis tersebut, membuat mereka sering kali dianggap kaya dan tidak selayaknya berhemat.

Dalam adegan ketika Koh Afuk menerima kabar bahwa anak bungsunya (Erwin) mau meneruskan usaha tokonya, ia langsung hendak mentraktir pizza untuk seluruh karyawannya. 

Namun hal tersebut seketika ia batalkan ketika mendapatkan saran dari tukang roti keliling untuk mentraktir roti saja. Para karyawan tersebut merasa sedikit kecewa dan menganggap Koh Afuk pelit karena dalam hal ini pizza memiliki nilai harga yang lebih tinggi daripada roti.

Epilog

Saya rasa Ernest sukses merepresentasikan etnis Tionghoa dalam film ini. Meskipun menggunakan praktik marking untuk menonjolkan etnis sebagai identitas tokoh utamanya, Ernest berhasil mengemas hal tersebut secara baik. Selain itu, Stereotip yang dikemas dalam komedi dan dimunculkan sebagai dinamika bermasyarakat mampu diasosiasikan dengan baik tanpa maksud merendahkan etnis tersebut.


Referensi

Lestari, Puput Puji. 2016. “Ini Alasan Ernest Prakasa Bikin Film Berjudul Cek Toko Sebelah.” Fimela.Com, December, 1.

Sukmono, Filosa Gita., and Fajar Junaedi. 2014. Komunikasi Multikultur : Melihat Multikulturalisme Dalam Genggaman Media. Buku Litera.