Pada perjalanannya, dari sebelum kemerdekaan hingga saat ini, sastra dan kesenian (baca: seni pertujukan/ drama) memiliki andil dan tempat tersendiri dalam sejarah Indonesia. Bahkan, dengan drama (sebagai bagian dari sastra) itu sendiri, sejarah bisa terabadikan dan dikenal oleh manusia-manusia di zaman sekarang.

Sastra mampu memotret dengan apik bagaimana wajah Indonesia di segala masa, baik dengan bentuk tertulis ataupun bentuk lainnya. Potret-potret tersebut tidak lain adalah berkat tangan-tangan piawai para sastrawan.

Sekilas membayangkan bagaimana teater/ drama hidup dan berkembang hingga dapat dinikmati sampai saat ini, tentu sudah dapat dirasakan pula bahwa perjuangan dalam membawa drama dapat memiliki umur panjang sebagai suatu seni sastra yang dikenal di Indonesia bukanlah hal mudah.

Banyak hambatan yang harus dihadapi oleh para pelaku sastra atau dramawan untuk bisa mempertahankan eksistensinya di lingkungan masyarakat.

Dalam rentang waktu 1955 sampai 1966, kelompok-kelompok teater yang ada di Jawa yang memang menelurkan elemen pertunjukkan yang berkualitas seperti aktor, sutradara, hingga naskah-naskah yang terkenal sangat baik.

Di antara banyaknya karya yang terkenal saat itu, salah satunya terdapat Bunga Semerah Darah dan Orang-orang di Tikungan Jalan yang tidak lain penulisnya adalah Rendra.

Bicara tentang Rendra, siapa yang tak kenal sosoknya. Sebagai seorang penyair juga dramawan, Rendra menjadi salah satu tokoh yang tak terlupakan. Melalui tangan Rendra, lahir banyak karya juga wadah yang riuh dikenal dengan Bengkel Teater. Dari Bengkel Teater tersebut, terlahir pula seniman-seniman terkemuka.

Sebagai seorang sastrawan/ dramawan yang terkenal dan sangat produktif karena telah melahirkan segudang karya, banyak hal dan perjalanan panjang yang  sebelumnya harus dilalui oleh Rendra. 

Memiliki seorang ayah yang bisa memainkan drama tradisional, menjadikan Renda telah mengenali dunia sastra sejak dini.

Setelah itu, upaya menyelami sastra pun dilakukan Rendra dengan melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada dan mengambil Jurusan Sastra Barat.

Ketika usianya baru menginjak 19 tahun, atau tepatnya pada tahun 1954, Rendra memperoleh undangan dari Pemerintah Amerika Serikat untuk hadir di seminar kesusastraan yang berlokasi di Universitas Harvard.

Kurang lebih selama dua bulan Rendra tinggal di sana, ia mengambil kesempatan itu untuk menyelam lebih dalam perihal mempelajari sastra di Amerika.

Perjalanannya di Amerika untuk mempelajari sastra berlanjut saat berkesempatan untuk menggali ilmu di negara tersebut dengan diperolehnya beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA) pada tahun 1964 yang kala itu ia sedang memiliki kesibukan dalam kelompok teater di Yogyakarta.

Sekitar tiga tahun Rendra habiskan waktunya untuk mengantungi ilmu mengenai drama. Waktu yang tidak sebentar tersebut sudah terbilang cukup untuk kemudian bisa Rendra aplikasikan berbagai pengetahuan yang telah ia peroleh di sana.

Hingga satu tahun berselang setelah kepulangannya dari American Academy of Dramatical Art (AADA), Rendra menerapkan ilmu-ilmunya pada Bengkel Teater yang baru ia bangun pada bulan Oktober 1967.

Pasalnya, Bengkel Teater yang didirikan oleh Rendra tersebut begitu terkenal di Indonesia dan mampu menyumbangkan warna baru pada keberlangsungan hidup teater khususnya di Yogyakarta.

Perjalanan Bengkel Teater di Yogyakarta tak berlangsung lama. Hal ini disebabkan pada 1977, Bengkel Teater dipersulit dalam mengadakan pertunjukan. Tak pelak, keadaan ini membuat Bengkel Teater Yogya sukar bertahan. Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya, Rendra hijrah ke Jakarta, lalu ke Depok.

Perjuangan Rendra mengembangkan Bengkel Teater tidak berhenti begitu saja. Saat di Depok, Rendra kembali mendirikan Bengkel Teater Rendra.

Sebagai seorang maestro teater Indonesia yang memiliki segudang karya, Bengkel Teater yang berada dalam genggamannya berimbas cukup kuat pada pertumbuhan teater di Indonesia.

Karya-karya yang ia hadirkan kerap berisikan perlawanan atas kesewenangan pemerintah masa itu.

Bengkel Teater mampu merambah begitu cepat ke telinga masyarakat karena sajiannya yang mengandung problematika sosial dan politik dengan alur yang tak terduga. Akan tetapi, hal tersebut berimbas pada tekanan dari penguasa yang menghujam Rendra.

Tekanan dan ancaman yang diterima Rendra salah satunya ialah saat beberapa hari sebelum membacakan sajak-sajak bertema pembangunan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 28 April 1978.

Sepucuk surat anonim diterima Rendra, isinya mengancam ia dan keluarganya. Pada saat pementasan, bom amoniak dilemparkan, mengakibatkan tiga orang penonton pingsan. Tiga hari setelah penyerangan, Rendra ditahan aparat keamanan.

Perjuangan Rendra dalam meneruskan kehidupan Bengkel Teater Rendra bukan hal mudah terlebih saat seni dianggap sesuatu yang mengancam dan mampu menimbulkan kerusuhan.

Akan tetapi, Rendra tidak mundur begitu saja. Meski Bengkel Teater Rendra pernah pula surut pada 1990-an dengan alasan ekonomi dan politik, Rendra mampu kembali bangkit untuk meneruskan apa yang telah dimulai dan diperjuangkannya dengan susah payah.

Sampai akhirnya dari Bengkel Teater Rendra yang berdiri di Depok di atas lahan 3 hektar, kita tahu bahwa Rendra hidup abadi dalam karya-karyanya yang tersemat di sana.