Stunting menjadi salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Hal tersebut dikarenakan stunting memberikan dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan anak. Dimana anak dengan gangguan stunting akan mengalami hambatan dalam perkembangan fisik maupun non-fisik. Stunting dapat menghambat pertumbuhan tinggi pada anak, menyebabkan gangguan intelektual, gangguan kemampuan psiko-sosial, keropos tulang, serta daya tahan tubuh yang rendah. Dampak dari stunting tersebut dapat dirasakan anak hingga tumbuh dewasa.
Pada umumnya dampak jangka pendek stunting terdiri dari penurunan fungsi kognitif, motorik, dan bahasa, serta memicu terjadinya peningkatan mortalitas dan morbiditas.
Adapun dampak jangka panjang stunting yaitu terjadinya penurunan kesehatan reproduksi, berpotensi mengalami penyakit degenerative, kapasitas belajar tidak maksimal, dan penurunan produktivitas.
Anak-anak dengan gangguan stunting memiliki risiko kematian yang lebih tinggi daripada anak-anak yang tumbuh dengan normal (Liem, et al., 2019).
Organisasi kesehatan dunia WHO menggambarkan stunting sebagai kegagalan untuk mencapai pertumbuhan linier pada balita yang disebabkan oleh kesehatan yang kurang optimal dan pola makan yang buruk. Stunting diakibatkan oleh kurangnya asupan makanan bergizi yang mengandung protein, kalori, dan vitamin, khususnya vitamin D.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), tingkat prevalensi stunting mengalami penurunan sebesar 6,4% sehingga tingkat prevalensi stunting pada tahun 2021 di Indonesia yaitu sebesar 24,4%. Angka tersebut masih tergolong tinggi, dimana WHO menetapkan angka prevalensi stunting yang baik adalah kurang dari 20%. Hal tersebut berarti bahwa prevalensi stunting secara nasional di Indonesia termasuk dalam tingkat kronis.
Kementerian Kesehatan menginformasikan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara Indonesia karena menyebabkan penurunan produktivitas sumber daya manusia yang akhirnya berdampak pada kesenjangan pendapatan (KemenKes, 2022). Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa stunting sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di Indonesia dalam mengembangkan potensi diri.
SDM yang mengidap stunting akan mengalami gangguan perkembangan otak.
Stunting dapat mengindikasikan adanya kerusakan organ, salah satunya adalah kerusakan otak. Otak merupakan pusat saraf yang mengontrol penglihatan, pendengaran, pemikiran, dan gerakan anak. Gangguan makan dan kekurangan nutrisi jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen yang bersifat irreversible (tidak dapat diubah). Stunting memiliki efek biologis pada perkembangan otak dan sistem saraf yang menyebabkan terjadinya penurunan kognitif.
Selama perubahan pada masa pertumbuhan dan tahap perkembangan yang cepat, otak berkembang dengan cara beradaptasi pada kondisi lingkungan. Dengan adanya perubahan terus-menerus yang berlangsung di korteks serebral akan mempengaruhi perhatian dan memori, serta dapat menurunkan kepadatan dendritik pada hippocampus.
Hal tersebut dapat melemahkan proses pembentukan dan retensi memori. Dampak lain dari kekurangan nutrisi dan stunting adalah penurunan mielinisasi pada serabut akson, yang dapat menurunkan kecepatan transmisi sinyal saraf (Subramanian, 2016).
Stunting yang terjadi pada usia emas atau golden age (0-3 tahun) mengakibatkan perkembangan otak menjadi kurang optimal dan membatasi kemampuan intelektual anak yang belum berkembang menjadi rendah secara permanen.
Anak-anak dengan derajat stunting berat akan mengalami keterlambatan perkembangan serta terjadi keterlambatan perkembangan kognitif yang signifikan (Arini, et al., 2019). Artinya semakin banyak anak yang terkena derajat stunting berat, maka anak tersebut lebih cenderung mengalami gangguan perkembangan kognitif atau mengalami keterlambatan lebih lanjut dalam perkembangan intelektual.
Perkembangan intelektual tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi dapat diamati dalam berbagai tindakan nyata yang merupakan hasil pemikiran rasional. Sehingga balita dengan gangguan stunting akan menciptakan sumber daya manusia yang kurang dalam kemampuan kognitif dan kemampuan intelektual akibat gangguan pada perkembangan otak.
Stunting menyebabkan SDM terkena penyakit degeneratif dan penyakit mental.
Balita dengan gangguan stunting memiliki kekebalan sistem tubuh yang lebih buruk dibandingkan dengan balita normal. Dengan sistem kekebalan tubuh yang tidak optimal menyebabkan balita dengan stunting lebih rawan terinfeksi bakteri atau virus serta respon tubuh terhadap penyembuhan infeksi juga lebih lama.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Helmiyati et al. (2020), menyatakan bahwa balita dengan gangguan stunting akan lebih berisiko terkena diabetes saat dewasa. Hal tersebut dikarenakan kondisi tubuh yang kekurangan gizi pada masa pertumbuhan sehingga sistem hormon insulin dan glukagon yang berada pada organ pankreas terganggu. Dengan begitu tubuh akan kesulitan untuk mengatur keseimbangan gula darah dan tubuh akan lebih mudah membentuk jaringan lemak.
Balita yang mengalami stunting juga berpotensi mengidap penyakit degeneratif seperti kanker dan obesitas. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan tubuh akan gizi baik mikro ataupun makro tidak terpenuhi, sehingga pembentukan sel fungsi tubuh menjadi terganggu. Selama terjadi malnutrisi akut, tubuh menggunakan simpanan lemak dan organ vital untuk memperoleh energi dari katabolisme asam lemak.
Sebagian besar asam lemak tidak dapat melewati penghalang antara darah dengan otak secara langsung, karena hanya glukosa yang digunakan langsung oleh otak. Jika kekurangan energi berlanjut selama beberapa hari, otak juga akan menggunakan badan keton yang larut dalam air karena kekurangan glukosa.
Perubahan penggunaan badan keton lebih cepat pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa karena perbedaan ukuran relatif massa otak. Meskipun penggunaan badan keton meningkat, otak dan sel darah merah masih menggunakan glukosa yang dihasilkan dari turunan gliserol metabolik (trigliserida) oleh ginjal dan hati, serta asam amino (alanin dan glutamin) yang dilepaskan oleh otot.
Asam amino hati juga diperlukan untuk menjaga metabolisme protein. Ketika asupan protein tidak mencukupi, maka energi menjadi berkurang hingga dapat menyebabkan kematian.
Adapun dampak jangka panjang bagi balita yang menderita stunting berupa kesulitan berbicara, rendahnya kemampuan belajar, dan keterbelakangan mental. Dampak pada kesehatan psikis dan mental ini didasari dari pertumbuhan otak yang tidak maksimal pada masa golden age anak (Arinin, et al., 2019). Hal ini menyebabkan aktivitas sumber daya manusia menjadi terhambat akibat dampak dari stunting.
Stunting mempersulit SDM untuk bersosialisasi dan mendapat pekerjaan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arini et al. (2019), memaparkan adanya perbedaan pada ukuran kepala anak. Anak dengan gangguan stunting memiliki ukuran kepala yang lebih kecil, yang berkaitan dengan ukuran otak dan kemampuan berpikir.
Ukuran kepala tersebut menunjukkan sedikitnya jumlah sel pada otak dengan gangguan stunting. Hal tersebut membuktikan ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan otak dalam proses biokimia yang akhirnya dapat menghambat kecerdasan anak.
Perkembangan kognitif pada anak mencakup semua yang berkaitan dengan pemahaman proses bagaimana anak belajar dan berpikir tentang lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, sumber daya manusia yang mengalami stunting akan merasakan kesulitan dalam kemampuan berkomunikasi (Erfanti, et al., 2016).
Dengan kemampuan komunikasi yang tidak optimal menyebabkan penurunan produktivitas pada seseorang sehingga organisasi atau perusahaan enggan untuk mempekerjakan sumber daya manusia dengan riwayat stunting.
Pada akhirnya stunting mengakibatkan terjadinya peningkatan angka pengangguran yang tinggi, maka akan mempengaruhi perkembangan ekonomi negara Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah mulai gencar mengupayakan pencegahan stunting pada balita dan anak-anak di Indonesia.
Stunting menjadi salah satu indikator yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di suatu negara. Hal tersebut dikarenakan stunting memiliki dampak jangka panjang yaitu produktivitas sumber daya manusia. Dengan tingkat produktivitas yang rendah dapat menyebabkan penurunan ekonomi.
Selain itu, orang dengan gangguan stunting berpotensi melahirkan generasi stunting selanjutnya. Beberapa penyebab stunting sendiri adalah kurangnya asupan makanan yang diserap tubuh sejak masih dalam kandungan hingga setelah lahir, kurangnya akses layanan kesehatan, serta kurangnya akses air bersih dan jamban. Oleh karena itu, upaya pencegahan stunting harus dilakukan dengan cara perbaikan gizi dan pola asuh kebersihan.
Pemerintah Indonesia melakukan tindakan pencegahan stunting dengan memberikan pil penambah darah bagi ibu hamil minimal 90 pil selama masa kehamilan, memberikan makanan tambahan bagi ibu hamil, persalinan dengan dokter atau bidan yang berpengalaman, IMD (Inisiasi Menyusui Dini), ASI Eksklusif bagi bayi sampai dengan 6 bulan, memberikan makanan pendamping ASI dari 6 bulan sampai 2 tahun, memberikan imunisasi dasar lengkap dan vitamin D memantau tumbuh kembang anak di posyandu terdekat serta menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Daftar Pustaka
Arini, D., Mayasari, A. C., & Rustam, M. Z. A. (2019). Gangguan Perkembangan Motorik Dan Kognitif pada Anak Toodler yang Mengalami Stunting di Wilayah Pesisir Surabaya. Journal of health science and prevention, 3(2), 122-128.
Erfanti, D. O., Setiabudi, D., & Rusmil, K. (2016). The relationship of psychosocial dysfunction and stunting of adolescents in Suburban, Indonesia. Open Journal of Medical Psychology, 5(04), 57.
Ginting, K. P., & Pandiangan, A. (2019). Tingkat Kecerdasan Intelegensi Anak Stunting. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 1(1), 47-52.
Helmyati, S., Atmaka, D. R., Wisnusanti, S. U., & Wigati, M. (2020). Stunting: Permasalahan dan Penanganannya. UGM PRESS. hlm. 91-106.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi balita pendek (stunting) di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2022
Liem, S., Panggabean, H., & Farady, R. M. (2019). Persepsi sosial tentang stunting di Kabupaten Tangerang. Jurnal Ekologi Kesehatan, 18(1), 37-47.
Subramanian, S. V., Mejía‐Guevara, I., & Krishna, A. (2016). Rethinking policy perspectives on childhood stunting: time to formulate a structural and multifactorial strategy. Maternal & child nutrition, 12, 219-236.