Bagi masyarakat sekarang, berita tentang kekerasan tidak lagi asing di telinga. Namun, survei mengaatakan bahwa sebagian besar kekerasan dilakukan oleh anak remaja atau golongan usia muda.
Lalu, apa yang menyebabkan banyak kalangan remaja jaman sekarang begitu agresif?
Menurut artikel yang saya baca dari dosenpsikologi.com, telah dinyatakan bahwa seseorang yang menjadi korban kekerasan pada masa kecilnya akan juga melakukan tindakan kekerasan saat dewasa nanti.
Bukti lainnya tercatat oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), bahwa 78.3% dari pelaku kekerasan pernah menjadi korban kekerasan sendiri atau pernah melihat tindakan tersebut dan menirunya.
Kondisi ini kita sebut sebagai efek berantai dari sebuah kekerasan yang terjadi. Kekerasan tidak hanya bisa terjadi dalam rumah tangga, tetapi juga di lingkungan yang lebih luas.
Untuk menanggulangi dampak berantai tersebut, langkah yang paling baik diambil adalah dengan memberikan para korban perawatan secara mental supaya kelak ketika beranjak dewasa tidak akan melakukan hal yang tidak diinginkan kepada orang-orang terdekat atau disekitarnya.
Dalam sudut pandang saya saat ini, pendidikan bisa menjadi jawaban atas berbagai tindakan kekerasan yang sedang terjadi. Saat ini, sebagai negara berkembang, Indonesia masih harus meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan di setiap daerahnya.
Hal itu didorong oleh persebaran penduduk yang tidak merata karena tidak semua warga Indonesia beruntung bisa bersekolah. Kita semua tahu pembangunan di Indonesia tidak merata. Sebagian besar terfokus pada kota-kota penting saja, contohnya Jakarta.
Dampaknya, banyak orang yang tinggal di daerah terpencil tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Kita bisa lihat sendiri perbedaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di kota dan di daerah pelosok.
Orang-orang yang kurang berpendidikan pada umumnya lebih mudah diprovokasi dan dikendalikan. Terlebih, yang berbahaya dari hal tersebut adalah mereka dapat dimanfaatkan seseorang dan berujung melakukan tindakan kekerasan hanya karena dikompori sedikit.
Terorisme memanfaatkan situasi yang sama. Menurut KBBI, terorisme merupakan tindakan kekerasan yang menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan.
Kelompok teroris berkembang biak dengan cara mencari orang-orang yang mudah ditarik masuk dan dicuci otaknya, terutama yang masih dalam usia muda. Dan karena tidak memiliki hikmat yang baik, maka mereka hanya bisa percaya dan bersedia melakukan apa yang menurut mereka harus dilakukan.
Kembali lagi, segala sesuatu yang terjadi pasti ada yang melatarbelakangi. Dalam konteks ini, terorisme terjadi karena adanya paham radikal yang salah dan akhirnya dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan mengancam dan menakut-nakuti.
Sikap radikal sebenarnya memiliki dampak positif, yaitu mempererat hubungan dan menjaga keutuhan suatu budaya. Jika budaya tersebut dipertahankan dengan baik, maka budaya tersebut otomatis terlestarikan.
Sebaliknya,sikap radikal bisa dipandang sebagai hal yang negatif dalam sekejap jika diterapkan dengan cara menyimpang. Buktinya, ada banyak kasus terorisme yang mengatasnamakan agama, namun tidak bertindak sesuai ajaran agama tersebut yang seharusnya.
Semua orang pasti mengawali hidupnya dengan belajar. Seorang bayi akan belajar berjalan, berbicara, dan banyak aktivitas dasar lainnya. Namun, keahlian untuk bisa melakukan semua itu tidak bisa dipelajari secara otodidak, sehingga memerlukan seseorang yang bisa mengajarkan, yaitu orang tua.
Di dalam sebuah keluarga, orang tua memiliki peran penting sebagai pendidik utama dan pertama seorang anak. Pendidikan yang benar akan membentuk sikap dan kepribadian anak menjadi orang yang benar, ramah, dan tahu sopan santun.
Fakta tersebut ditekankan lagi oleh tulisan Hasbullah (1997), “bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak di rumah serta fungsi keluarga/orang tua dalam mendukung pendidikan di sekolah.”
Berbeda dengan anak yang dididik dengan cara didik yang salah. Anak yang dididik dengan tidak benar dapat berujung melakukan hal-hal yang menyimpang.
Salah satu contoh hal menyimpang yang sering ditemukan adalah terlibat dalam pergaulan yang buruk. Lingkungan pergaulan dapat mengubah sikap siapa saja, termasuk orang yang dari dasarnya sudah baik, menjadi buruk.
Seorang anak terumata dalam masa remajanya cenderung terjerumus pada pergaulan yang buruk karena kurangnya pengawasan dan bimbingan orang tua. Anak yang bijak seharusnya bisa membedakan yang mana teman yang baik dan buruk.
Supaya anak memiliki pengetahuan dan cara berpikir yang bisa membedakan yang benar dan tidak, sebelumnya haruslah diajarkan dulu oleh orang tua.
Sayang sekali, seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang tua gagal dalam tugasnya untuk mengawasi kelakuan anak. Beberapa bahkan membiarkan anaknya melakukan segala sesuatu sendiri sehingga orang tua tidak lagi dipandang menjadi sosok yang memberikan pendidikan.
Situasi yang sebenarnya darurat ini seringkali diremehkan dan tidak terlalu dipandang oleh mata masyarakat. Dampaknya memang tidak terlihat pada awalnya. Namun, sebenarnya akan berdampak besar ketika waktunya tiba.
Golongan muda adalah orang-orang yang akan tinggal di masa depan. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan masa depan yang terjamin, perlu dipastikan golongan muda terdidik dengan benar.
Seperti kata mereka, “Sekolah adalah rumah kedua”. Jika pendidikan pertama kita dapatkan dalam keluarga, maka pendidikan berikutnya dapat juga kita gali di sekolah.
Kecerdasan tidak hanya dinilai dari angka dan warna yang tercatat di dalam buku rapor, namun juga tercermin dari sikap dan perilaku seseorang. Sebagai seorang guru, tanggung jawab terpenting adalah untuk mencerdaskan, mengasah kemampuan dan juga membentuk karakter anak muridnya.
Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah kekerasan dapat diselesaikan melalui jalur pendidikan, tidak hanya pendidikan secara akademis, namun juga secara emosional. Jika para golongan muda terdidik, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi di masa depan.