Sangat disadari bahwa tulisan ini jauh terlambat seusai kasus Herry Wirawan mencuat di pemberitaan media massa. Namun relevansi tulisan ini terhadap pertimbangan Hak Asasi Manusia (HAM) ke depan akan tetap diperlukan. Kerap kali dijumpai bahwa pertimbangan HAM terlampaui subjektif dan bukan intersubjektif.

Kekerasan seksual sudah menjadi kejahatan yang banyak terjadi di Indonesia, namun kasus Herry Wirawan mendapat sorotan khusus dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan karena Herry Wirawan sebagai guru ngaji yang notabenenya tokoh moral dalam agama yang mampu membimbing seseorang ke dalam jalan yang benar justru melakukan perbuatan immoral terhadap murid-murdinya.

Tidak perlu panjang lebar untuk mengemukakan fakta hukum apa saja yang Herry Wirawan lakukan terhadap anak-anak di bawah umur, cukup untuk mengatakan bahwa perbuatannya termasuk perbuatan yang biadab dan tidak dapat dibenarkan.

Daya destruktif yang ditimbulkan akibat perbuatan Herry Wirawan dapat dilihat dari beberapa sisi. Dari sisi sosiologi kekerasan seksual terhadap anak ini menimbulkan gangguan sosial yang ditandai semakin keras dan ketatnya pengawasan orang tua terhadap anaknya, yang dalam hal tertentu anak justru harus diberikan kebebasan untuk memilih, bermain, belajar mengenal dan belajar memutuskan sesuatu.

Dilihat dari sisi psikologis, korban kekerasan seksual akan mengakibatkan respons terhadap suatu keadaan akan dipertimbangkan menurut kondisi kejiwaannya yang sedang dalam kondisi trauma. 

Sikap menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna, merasa minder akan sangat berpotensi dominan menguasai dalam responsnya terhadap sesuatu dan sangat mempengaruhi masa depan korban.

Dilihat dari sisi kriminologi, perbuatan Herry Wirawan sebagai seorang guru spiritual akan menjadi preseden untuk menimbulkan kejahatan serupa dengan menggunakan relasi kuasa untuk memperdaya korban sehingga memperoleh kepatuhan total.

Terhadap perbuatan Herry Wirawan kemudian Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Herry Wirawan dihukum mati dan kebiri kimia. Tuntutan itu kemudian menimbulkan pro dan kontra. Argumentasi pro terhadap tuntutan itu karena perbuatan Herry Wirawan sudah di luar batas wajar, dan argumentasi kontra terhadap tuntutan itu karena terdapat Hak Asasi Manusia yang tidak memperbolehkan seseorang dihukum mati.

Secara normatif, hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan kekerasan seksual anak diatur di dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui UU Nomor 17 Tahun 2016 di dalam Pasal 81 ayat (5) menyatakan bahwa:

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Kemudian, kebiri kimia diatur dalam Pasal 1 angka 2 PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, menyatakan bahwa:

“Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.”

Maka dalam batas dan syarat yang ditentukan oleh Peraturan Perundang-Undangan hukuman mati dan kebiri kimia itu sah.

Namun, bagaimana hukuman tersebut dilihat dari perspektif HAM? Apabila melihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Dilihat dari perspektif HAM maka hukuman mati dan kebiri kimia tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa yang notabenenya merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Tetapi apabila diilihat lebih kritis terdapat ketimpangan yang cukup mendasar.

Emmanuel Levinas memperkenalkan konsep etika untuk mencari tahu mengapa kita merasa tertantang untuk bersikap baik terhadap sesama. Pembentukan identitas kita selalu sudah berdasarkan sebuah peristiwa asali yang terulang setiap kali kita bertemu dengan orang lain. Setiap kali saya bertemu dengan orang lain terjadi sesuatu yang mendasar: saya bertanggung jawab atasnya.

Tanggung jawab awal mendahului segala sikap saya, merupakan kenyataan paling dasar dalam kesadaran saya. Inilah inti dari filsafat Levinas. Dalam pengertian Levinas, filsafat pertama bukanlah ontologi seperti yang dipahami Heidegger, tetapi filsafat pertama adalah etika. Ya, etika tanggung jawab atas orang lain. Kehadiran orang lain langsung memenjarakan saya dalam tanggung jawab.

Latar belakang orang lain begitu dijunjung oleh Levinas karena filsafat barat kebanyakan mereduksikan “yang banyak” ke “yang satu” dan “keberlainan” ke “kesamaan”. 

Oleh sebab itu orang lain dipandang sebagai aku yang lain. Demikian filsafat India klasik yang beranggapan bahwa segala-galanya pada akhirnya adalah satu atau atman, atau brahman. Kesan-kesan pluralitas yang sedang dialami manusia dalam hidup sehari-hari hanyalah maya, tipuan, dan kesan kosong.

Menganggap semuanya satu atau sama dan mengingkari keberlainan merupakan pengingkaran terhadap suatu hal yang berbeda. Dengan demikian, orang lain yang harusnya berbeda dengan diri saya tidak terjamin keberadaannya atau alteritas dalam istilah yang dipakai Levinas. Inilah latar belakang mengapa Levinas mengangkat konsep etika yang menonjolkan “orang lain.”

Kalau demikian, maka pertanyaan mendasar etika Levinas terhadap HAM adalah, apakah suatu hak itu bisa dibicarakan tanpa mempertimbangkan orang lain? Jawabannya, tidak mungkin suatu hak dapat dibicarakan tanpa berbicara orang lain. Oleh sebab itu tidak adil apabila konsep HAM direduksi hanya kepada pertimbangan “tersangka atau terdakwa” dalam hal ini Herry Wirawan.

Pertimbangan HAM harus diekspansi (diperluas) kepada pertimbangan orang lain, korban, dan masyarakat. Tidak dapat dibenarkan atas nama HAM seseorang diberi kebebasan sedemikian rupa yang digunakan untuk menyakiti orang lain. 

Di dalam doktrin Republikanistis beranggapan bahwa, hak-hak keanggotaan lebih mendasar daripada hak-hak asasi individu, maka hak-hak asasi manusia merupakan hasil dari persetujuan komunitas politis dan bukan sesuatu yang “pra-politis” seperti yang dimengerti oleh John Locke sebagai hak alamiah.

Lagipula tidak ada seorang pun yang lahir dengan membawa pengetahuan alamiah mengenai HAM, andaikata kita membenarkan pendapat Locke bahwa hak untuk hidup, kebebasan dan hak milik merupakan hak alamiah manusia yang dapat dikatakan telah ada saat manusia itu dalam kandungan.

Konsekuensi apabila hak-hak keanggotaan lebih mendasar daripada hak-hak asasi individu maka hukuman mati atau kebiri kimia diperbolehkan sejauh memang anggota komunitas itu menghendaki demikian disertai dengan alasan-alasan yang cukup dan masuk akal.

Menggunakan etika Levinas untuk menguji hak asasi manusia agar dipergunakan lebih proporsional, maka penulis akan mengajukan pertanyaan mendasar mengenai hak. 

Apakah ada suatu hak yang bersifat absolut? Jawabannya, secara etis tidak ada hak yang bersifat absolut, karena hak itu bersifat prima facie artinya suatu hak tetap berlaku sampai dikalahkan dengan hak yang lebih tinggi.

Hak untuk hidup memang sangat penting tetapi tidak absolut, contoh: seorang Adolf Hitler yang telah membunuh kurang lebih enam juta orang haruslah dihukum mati karena apabila tidak demikian wibawa kepemimpinannya dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya untuk berbuat hal yang sama dengan Hitler.

Hak untuk tidak disiksa memang merupakan hak yang mendasar tetapi juga tidak bersifat absolut. Contoh: ada seorang teroris sedang memasang bom di kota A dengan daya ledakan yang sangat tinggi. Kebetulan ia ditangkap oleh polisi dan saat diinterogasi ternyata teroris tersebut enggan memberitahu di mana ia memasang bom yang beberapa jam ke depan akan meledak di kota A.

Pada kasus ini apabila tidak diperbolehkan penggunaan kekerasan untuk memperoleh informasi tentang keberadaan bom tersebut, maka bom akan meledak dan memakan banyak korban jiwa yang terletak di kota A tersebut. Oleh sebab itu hak untuk tidak disiksa tidak bersifat absolut.

Hak yang memperoleh predikat absolut seperti dalam Pasal 4 Undang-Undang HAM mengalami persoalan etis yang tidak terhindarkan. Jangan sampai demi nama HAM kemudian Herry Wirawan mendapat pembelaan sedemikian rupa sehingga tidak patut dihukum mati, namun di sisi lain traumatisasi orang lain dan hak-haknya tidak sepenuhnya dipertimbangkan. 

Pembelaan berlebihan terhadap Herry Wirawan tidak proporsional dengan kuantitas korban dan kualitas perbuatannya. Patut kiranya Herry Wirawan dihukum mati atas perbuatan yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun. 

Hak hidup atas dirinya secara prima facie harus dikalahkan dengan hak yang lebih besar yaitu korban kekerasan seksual yang notabenenya adalah seorang anak, dan anak adalah aset negara, apabila anak mengalami traumatisasi serius maka negara dalam keadaan bahaya ke depannya.

Etika Emmanuel Levinas mengingatkan kita bagaimana cara kita menyikapi HAM mengharuskan kita mempertimbangkan orang lain dalam hal berucap, berbuat, maupun berpikir. 

HAM harus beretika agar pertimbangannya tidak bias dan merugikan orang banyak. Janganlah beranggapan HAM itu hanya sekedar pemikiran, akan tetapi HAM itu merupakan pengalaman yang harus dialami agar menjadi momen etika yaitu “perjumpaan dengan orang lain memberikan tanggung jawab terhadap apa yang harus aku perbuat, ucapakn , dan pikirkan.”