Masa depan kebebasan sipil dan demokrasi di Indonesia kini terancam. Larangan terhadap ideologi yang dianggap bertentang dengan pancasila masih terus mengalami bau yang tidak sedap. Apalagi, setelah disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bisa dijadikan legitimasi untuk melakukan pembubaran diskusi dan tindakan kriminalisasi serta persekusi terhadap aktivis.    

Masih segar dalam ingatan ketika terjadi sweeping buku-buku kiri di Gramedia, Makassar pada (6/8/2019) lalu oleh sekelompok orang yang menamakan diri Brigade Muslim Indonesia (BMI). Diantara buku yang mereka razia ialah buku Prof. Magnis Suseno tentang Marxisme, BMI mengatakan buku karya Magnis bermuatan penyebaran ajaran Marxisme atau komunisme setelah membaca sinopsis buku tersebut.                                

Sebelumnya, kita juga menyaksikan puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) menggeruduk kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Selasa 10 Mei 2016. Mereka memaksa agar kegiatan- Kelas Pemikiran Karl Marx- yang diadakan Lembaga Pers Daun Jati dibubarkan lantaran dianggap menyebarkan paham komunis.                                        

Tak hanya itu, praktik pembubaran diskusi juga terjadi di Surabaya pada Jumat 7 Februari 2014 dengan tema bedah buku berjudul “ Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia” Jilid IV, Karya Harry A. Setali tiga uang, pelaku pembubaran diskusi lagi-lagi dari kelompok Front Pembela Islam (FPI) dengan alasan yang sama : dianggap menyebarkan paham komunis.        

Bayangkan, sebelum disahkan KUHP pasal 188 tentang larangan Marxisme saja sudah sederet peristiwa sewenang-wenang yang terjadi. Apalagi sekarang, sudah punya landasan hukumnya pembubaran dan penangkapan secara membabi buta bukan tidak mungkin terjadi di masa depan. 

Dalam KUHP bermasalah Pasal 188 tentang Penyebaran atau Pengembangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau Paham lain yang Bertentangan dengan Pancasila. Ayat 1 “setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”.           

Asumsi yang melandasi pasal ini  adalah bahwa paham Marxisme atau Komunisme dianggap berbahaya dan bertentangan dengan Pancasila. Satu pertanyaan kritis yang layak diajukan ialah : bagaimana menentukan suatu ajaran atau ideologi bertentangan dengan Pancasila? Dengan corak keredaksian kelima silanya yang bermakna luas dan secara inheren memicu keragaman tafsir, apakah ada  satu penafsiran Pancasila yang sedemikian objektif sehingga ketika seorang yang melawan penafsiran itu, maka orang telah menentang Pancasila?  

Polemik Tafsir Pancasila

Jika kita lacak ke belakang perdebatan terkait penafsiran Pancasila di berbagai era selalu mengalami perubahan. Dalam konstelasi politik yang dinamis itu, Pancasila mendapatkan penafsiran yang beragam.                        

Di era orde lama pada 1959-1966, Pancasila menjadi dasar diterapkannya Demokrasi Terpimpin dengan kekuasaan terpusat pada diri Presiden. Dengan kata lain, Pancasila menjadi justifikasi bagi otoritarianisme. 

Soekarno menulis artikel panjang berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme dalam tulisan itu Soekarno berargumen bahwa Islam kompatibel dengan Marxisme dengan demikian tiga kekuatan besar itu harus bekerja sama untuk melawan imperialisme.        

Dalam artikelnya yang lain Pantja Sila Sebagai Dasar Negara Soekarno memberikan tafsiran atas sila kelima (Keadilan sosial) menggunakan konsep Marxis. Dikatakannya, “Keadilan sosial adalah sifat adil dan makmur, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada eksploitasi”.- istilah terakhir kental bernuansa Marxis.       

Rezim berikutnya, orde baru, membangun legitimasi di atas premis bahwa komunisme bertentangan dengan Pancasila. Orde baru mewarisi sebagian penafsiran Pancasila ala Demokrasi Terpimpin dan menamai demokrasinya, “Demokrasi Pancasila”, dengan kekuasaan terpusat pada Soeharto dan Golkar menjadi mesin politik. Soeharto juga menggunakan Pancasila untuk menekan oposisi.                       

Pada 1974, di acara Dies Natalis UGM ke-25, Soeharto mengutarakan pentingnya kesatuan tafsir atas Pancasila. Atas nama Pancasila juga, Soeharto meluncurkan kebijakan “massa mengambang” yang membatasi struktur partai pada tingkat kabupaten, tidak boleh lebih dari itu. 

Di sisi lain, Golkar memiliki struktur hingga tingkat desa/kelurahan. Pegawai Negeri diwajibkan memilih Golkar. Karena kekuasaan politik berpusat pada Soeharto ia bisa memecat anggota kabinet dan pejabat militer tanpa  melalui persetujuan DPR.

Pasca reformasi, Pancasila baru menggema lagi di pertengahan tahun 2000-2010 dengan fiturnya kebebasan berpendapat memuluskan gerakan islamis yang menghendaki formalisasi hukum islam mencuat ke permukaan. Gerakan ini lahir karena penolakan aspirasi pengembalian Piagam Jakarta dalam proses amandemen konstitusi memicu terjadinya konsesi penerapan hukum islam pada tingkat yang paling bawah yakni perda syariah. Pelan tapi pasti islamisasi gencar bergerak dari bawah atau syariatisasi merangkak.                    

Untuk menghalau gelombang kelompok islamis, bertepatan dengan hari lahir Pancasila 1 Juni 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pertemuan besar di Jakarta dan mendeklarasikan Maklumat Keindonesiaan. Dalam maklumat itu menegaskan bahwa Pancasila sebagai suatu “konsensus nasional” dan ideologi terbuka.                                    

Selanjutnya, beberapa tahun kemudian, golongan islamis berusaha merebut tafsir Pancasila dengan menekankan nilai tauhid sebagai makna dari sila pertama. Ahmad Syafii Maarif (2007: 149) menulis ‘sila pertama jelas sekali menunjukan konsep Ketuhanan dalam Pancasila bukanlah semata fenomena sosiologis, melainkan refleksi dari ajaran tauhid”.                              

Dari sini kita bisa melihat bahwa di satu periode Pancasila kental bernuansa sosialisme dan Marxisme, di periode berikutnya komunisme dinyatakan bertentangan dengan Pancasila. 

Di satu periode Pancasila dipertentangkan dengan Islam, di periode lain sila pertama dimaknai Tauhid. Di satu periode dianggap simbol perekat, di periode lain digunakan untuk membatasi kebebasan kelompok minoritas.    

KUHP yang memuat soal larangan atas paham lain yang dianggap bertentangan dengan Pancasila akan menjadi bahan bakar untuk melakukan persekusi bahkan kriminalisasi terhadap orang yang menurut pemerintah tidak sesuai dengan tafsir Pancasila. 

Seakan-akan ada usaha untuk memaksakan satu jenis penafsiran tunggal tentang makna Pancasila. Padahal, upaya semacam ini adalah salah satu bentuk kemunduran demokrasi dan tidak lain hanya mengulang apa yang sudah dilakukan orde baru.                            

Persoalan mendasar dari pasal tersebut adalah bahwa ketentuan itu secara terang-terangang memberi wewenang kepada negara untuk melakukan intervensi atau invasi pada kebebasan berpikir dan berpendapat. Pasal-pasal tersebut menyalahi prinsip-prinsip demokrasi yang melarang pengekangan atas kebebasan individu.                                        

Gambaran seperti itu memperlihatkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi dalam hukum di negara kita. Potret buram kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tampak belum profesional dan proporsional itu tidak elok rasa nya untuk terus dilanjutkan. Dengan gaji, tunjangan, dan fasilitas yang dinikmati selama ini, sesungguhnya pemerintah  seharusnya mampu bekerja secara maksimal dan berpihak pada rakyat.                        

Untuk itu, sudah saatnya pemerintah melihat kembali secara jernih tentang pengesahan pasal-pasal di KUHP yang bermasalah ini. Dan membatalkan KUHP yang berpotensi merusak hajat hidup orang banyak. Kita berharap agar pemerintah tidak melakukan tindakan yang mengarah pada otoritarianisme dan sudah selayaknya berpihak pada masyarakat luas.