Pada suatu hari, di 21 Mei 1998 gerakan yang membawa kehendak perubahan akhirnya dapat diwujudkan. Perubahan dari yang tertutup menjadi terbuka, dari yang buruk menjadi baik, dari yang terkungkung ataupun terpenjara menjadi terbebas juga terlepas dari segala jerat-jerat serakah akan kuasa.
Namanya: 'Reformasi.'
Era itu, selain disebut reformasi juga disebut era Pasca-Soeharto.
Pada masa-masa sebelum terwujudnya gerakan ini, ada banyak sekali pengekangan pada ide atau pada yang berpikir berbeda dengan kekuasaan. Berangkat dari hal tersebut tentu kita akan mengingat kembali nama-nama para manusia hebat itu juga peristiwa yang mereka telah alami.
Seperti: Pram yang ditahan di Pulau Buru tanpa proses pengadilan. Juga Marsinah yang peluru menembus beberapa anggota tubuhnya.
Dari dua peristiwa yang dialami oleh dua manusia hebat itu, kita dapat memercayai kembali apa yang sering dikatakan oleh orang tua - orang tua kita, bahwa dibalik musibah selalu ada berkah.
Karena Pram yang saat itu ditahan di pulau buru mampu melahirkan empat buah karya yang ia gabung dalam satu "tetralogi" pulau buru. Juga Marsinah yang ketika peristiwa itu terjadi dan kabarnya beredar, kaum perempuan dan kaum buruh menjadi bersemangat untuk bergerak karena tidak ingin lagi ter-papa-kan di negerinya sendiri.
Tidaklah perlu menjadi hakim untuk menyatakan bahwa: orde baru berdosa pada mereka juga kita.
Dari gerakan reformasi kita melihat dalil yang dibangun dan dihadapkan pada wajah kekuasaan saat itu adalah: vox populi vox dei-istilah yang berasal dari bahasa latin.
Gerakan dan istilah yang mengandung makna kehendak akan kebebasan (will to freedom).
Dalam hal ini, reformasi menunjukkan jati dirinya, ia telah mengucapkan bahwa kerakusan akan kekuasaan adalah racun bagi perkembangan peradaban. Kerakusan akan kekuasaan itu dapat terlihat melalui tindakan kotor yang kita namai sebagai: korupsi, juga lamanya seorang penguasa berkuasa pun adalah suatu kerakusan.
Reformasi menolak dua bentuk kerakusan tersebut.
Sejarah reformasi telah menunjukkan pada kita bahwa sesuatu memang harus dibentuk, dapat kita lihat bahwa reformasi adalah suatu jembatan penyebrangan dari otoritarian menuju demokrasi, atau dalam istilah Tan Malaka dalam Madilog: "Jembatan Keledai" (ezzellbuggece) yang jika diartikan dalam logika adalah suatu jembatan atau jalan menuju suatu kemajuan.
Dalam arti bahwa kehendak yang dibawa oleh reformasi adalah kehendak kemajuan. Karena lamanya otoritarianisme berkuasa di republik ini dengan membuat Pancasila menjadi azas tunggal yang harus diikuti oleh seluruh masyarakat, tidak menghasilkan kemajuan dalam bentuk apapun, setidaknya seperti itulah yang ada dalam pemikiran para penolak otoritarianisme pada saat itu.
Kelamaan berkuasa adalah suatu tindakan yang bersifat koruptif juga otoritarian. Mengapa? Karena dari hal tersebutlah segala hal buruk akan tumbuh dengan suburnya, seperti bunga bangkai di suatu taman yang merusak organ-organ penghirupan sehingga mata enggan memandang serta tubuh tak mau mendudukkan diri di kursi yang telah tersedia di taman itu.
Kabar buruk serupa juga telah tersiar, disiarkan langsung oleh para elit politik negeri ini. Kabar mengenai penundaan pemilu serta perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode.
Memakai sedikit teori hipotetik, kita akan melihat sekiranya ada kepentingan yang sifatnya penting untuk dipertahankan dalam kekuasaan, entah itu apa, kita juga belum tahu pastinya.
Yang melatarbelakangi wacana bencana ini adalah pasti kepentingan (das ding an sich). Kendati analisis ini masih hipotetik, tetapi ada sesuatu yang membuat itu terbukti pasti.
Mengenai kepentingan elit. Membuat saya teringat pada salah satu Roman tetralogi pulau buru karya Pram: Anak Semua Bangsa.
Dalam roman itu dikisahkan 'Minke' yang dengan Nyai Ontosoroh berangkat ke Sidoarjo untuk menemui salah satu anggota keluarga Sanikem itu.
Beberapa hari setelah sampai di Sidoarjo, Minke bertemu dengan seorang petani bernama Trunodongso. Petani yang tidak merelakan tanahnya dipergunakan untuk kepentingan pabrik gula.
Setelah petani itu bercerita mengenai pesakitannya selama ini yang disebabkan oleh elit dan pabrik gula, Minke pun menuliskannya, dan hasil dari tulisan tersebut ia sodorkan kepada Marteen Nijman seorang Pemred salah satu koran besar di Hindia.
Hasil akhir dari penyodoran tulisan itu adalah ditolaknya penerbitan atas tulisan tersebut oleh Marten Nijman, yang ternyata koran yang diasuh oleh Nijman adalah dibiayai oleh pabrik gula di Sidoarjo itu.
Dan pada akhirnya kita paham bahwa kepentingan juga-lah yang menjadi latar belakang dari penolakan penerbitan atas tulisan Minke itu. Secara tak sengaja kita melihat ada kesamaan antara elit politik saat ini dengan Marteen Nijman.
Kembali lagi ke persoalan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Dua ide diatas adalah ide untuk meng-korupsi reformasi dan akibat paling radikal dari ide ini adalah: kembalinya otoritarianisme menjamah republik ini.
Setiap mereka yang menganut republikanism dalam kepalanya akan menolak wacana bencana ini. Karena paham bahwa ide seperti ini hanya akan mengakibatkan reformasi dikorupsi.
Kendati tak hidup di masa orde baru, tetapi dengan memahami sedikitnya etika perjuangan aktivis pada masa itu, akan membuat kita menolak kembalinya sistem otoriter bergerak di republik ini.
Kita sadar bahwa Indonesia masih ada pada masa transisi demokrasi, tetapi karena kesadaran itu pula membuat kita menolak kembalinya hal buruk itu.
Akibat keambiguan pemikiran para elit politik ini. Kini skeptisisme berjalan mengelilingi Bumi Pertiwi.
Berangkat dari wacana bencana tersebut, membuat kita teringat pada Remus dan Romulus yang menghisap susu serigala untuk membangun Roma. Mungkin kita perlu menghisap susu reformasi untuk menghadirkan revolusi agar reformasi berhenti dikorupsi.