Berbagai konflik agraria kian telah menjadi bulan-bulanan ditengah-tengah masyarakat. Akhir-akhir ini peristiwa di Indonesia sebagian besar diisi oleh perilaku anmoral, berujung pada kekerasan (penganiayaan), kriminalisasi, intimidasi, tindak pidana, bahkan kejatuhan korban jiwa akibat usaha untuk mempertahankan hak masyarakat atas tanah.
Umumnya masyarakat dibenturkan kepada aparat keamanan (polisi) atas kepentingan pengusaha pun pemerintah. Padahal, era reformasi sebenarnya bertautan dengan kebebasan hak masyarakat atas tanah.
Sebenarnya konsep reformasi agraria telah sukses di zaman orde lama. Jika kita melihat sejarahnya mulai Februari 1946 terdapat UU Nomor 13 Tahun 1946. Bersama Sunaryo RUU Pokok Agraria final dan diserahkan kepada Soekarno. Tetapi, RUU tersebut diminta pengujian kepada universitas yang saat itu digondol oleh DPR dan Universitas Gadjah Mada.
Tahun 1966-an memasuki masa Orde Baru, sisa dari berbagai kebijakan di Orde Lama mulai ditimbun. Pengingkaran reforma agraria mulai menjamur. Hasil dari kebijakan land reform Orde Lama di bagi-bagi kepada para jenderal dimasa Orba. Tahun 1970-an, jika masyarakat berbicara tentang agraria akan dicap komunis, dan bahkan sampai berujung pada kematian.
Hal tersebut menjadi strategi elit untuk menutup ruang gerak tuntutan masyarakat. Kembali cita-cita pendiri bangsa tertutup awan hitam (pekat).
Era reformasi selaku mimpi besar masyarakat dengan dalih kebebasan menjadi peluang kembalinya visi founding fathers. Begitulah ambisi pendiri ketika diperhadapkan dengan usaha kemerdekaan, hal utama menjadi fokus pemerintah ialah agraria. Tanah untuk siapa? Untuk rakyat, kala itu.
Krisis ekonomi 1998-an, setelah jatuhnya Orde Baru, sedikit menyisihkan isu agraria. Karena mendongkrak ekonomi menjadi fokus utama semua. Pemerintah pun masyarakat.
Jika melihat tahun terakhir perjalanan reformasi, sepanjang 2021 terhitung sedikitnya 207 konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, dengan perkiraan luasan mencapai setengah juta hektar, serta sebaran masyarakat yang terkena dampak sekitar 198 ribu kepala keluarga. Konflik terbesar jatuh pada sektor pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Memang, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada 2020 terjadi penurunan peristiwa konflik, yang pada tahun tersebut sekitar 241 peristiwa konflik, menurut data yang dihimpun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Akan tetapi, luas wilayah dan jumlah penduduk yang terkena dampak oleh konflik agraria jauh lebih besar di tahun 2021.
Berbagai kejadian telah terhimpun sejak tahun 2022, saat ini masyarakat dengan pengusaha pun pemerintah memang tidak terlepas dari kepentingan ekonomi. Pun bakal tentu pemerintah menginginkan investasi dari penanam modal dengan orientasi peningkatan devisa pendapatan negara.
Apalagi jika menilik persaingan ekonomi yang semakin gencar antar negara, tentunya untuk mengggait investor, segala kemudahan diberikan pemerintah. Seperti halnya ijin usaha, pendirian bangunan, reformasi birokrasi, kadang mengabaikan AMDAL, dan sebagainya. Menjadi angin segar bagi investor kotor.
Halnya konflik agraria antar perusahaan dan masyarakat yang tak berkesudahan. Seperti masyarakat sekitar danau Toba dengan PT. Toba Pulp Lestari, Setelah kasus kriminalisasi yang dialami dua masyarakat adat Sihaporas tahun 2019 kepada Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita.
Pertengahan tahun 2021 PT.TPL kembali melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat adat Natumingka yang sedang menjaga perampasan tanah dari perusahaan. Setidaknya ada 12 orang korban luka-luka akibat kekerasan dari perusahaan PT.TPL.
Sebenarnya konflik antara masyarakat dan PT. TPL sudah berlangsung sejak orde baru, dimulai ketika Soeharto membuka kran investasi sebesar-besarnya melalui Undang-undang PMA.
Saat itu masyarakat sekitaran Tano Batak (Tanah Batak) tidak mampu menghadapi kerasnya militerisasi negara yang banyak mengambil peran pada tatanan kehidupan masyarakat. Sampai saat ini, dihimpun dari data AMAN Tano Batak sejak tahun 2013 setidaknya 80 kasus penganiaayaan, intimidasi, kriminalisasi yang dilakukan perusahaan kepada masyarakat adat saat sedang memperjuangkan tanahnya dan tidak sedikit berujung kepada tindak pidana.
Perampasan ruang hidup, tanah, kerusakan hutan Kemenyan, hutan alam, sungai ditimbun, anak sungai mati, memecah belah tatanan keluarga di setiap kampung masyarakat adat dan berbagai kerusakan lainnya puluhan tahun telah menghempas masyarakat adat.
Dua dekade lebih masa reformasi memberi sedikit ruang untuk masyarakat merebut kembali tanah mereka. Akan tetapi perjuangan masyarakat selalu dibenturkan oleh standart negara akan administrasi. Negara atau perusahaan selalu bertanya kepada masyarakat, “jika ini tanah masyarakat, mana suratnya?”. Ini pertanyaan yang sangat keliru. Padahal reforma agraria seharusnya tidak lagi mempersulit pengakuan hak masyarakat atas tanah. Apalagi masyarakat adat yang sudah berdiam sejak ratusan tahun lalu.
Sedangkan kata kunci reforma agraria sebenarnya ialah redistribusi (penataan ulang pemilik akibat banyaknya kepemilikan hanya pada elit orde baru), dan bukan hanya bagi-bagi sertifikat. Jika hanya bagi-bagi, lebih banyak yang tidak dapat, konflik akan berkepanjangan. Akan tetap timpang. Harusnya pengakuan dahulu dijalankan pemerintah dan diteruskan melalui surat keputusan atau sertifikat.
Poin dalam mengurangi ketimpangan struktural ialah pembatasan kepemilikan tanah, serta Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak mengeyampingkan alam dan dalam penentuannya melibatkan hak-hak masyarakat adat sebagai pemilik wilayah.
Sejauh ini, kerangka berpikir kebijakan agraria yang developmentalistik akan memandang sumber agraria dan alam sebagai aset pembangunan. Pembangunan ini cenderung mencari keuntungan sebesar-besarnya, meski menggusur masyarakat dan merusak alam.
Jadi, bukan tidak jarang alam membalas perlakuan rakus manusia melalui longsor, kekeringan, bencana alam lainnya, serta konflik hewan dengan manusia yang sering kita sebut mereka hama, padahal sebenarnya kita yang telah menjadi hama bagi mereka (merusak habitatnya). Semuanya kian tak bersahabat lagi.
Intinya, reforma agraria sejati mengedepankan keadilan. Kepentingan ekonominya nanti, akan mengikut setelah pengakuan hak masyarakat adat atas tanah final. Bukan timpang. Aparat mengayomi masyarakat. Bukan menganiaya. Berat? Yah memang demikianlah tanggung jawab negara.
Semua berkeluh, negara kelautan tapi impor garam, tanah subur tapi impor pangan, dan lainnya. Kapan swasembada? Jika semua orientasi kebijakan mengedepankan investasi dan tidak memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat atas tanah, serta mengeyampingkan dampak lingkungan (keadilan) maka pupus masa depan.
Padahal, jika investasi dalih untuk perluasan lapangan kerja, itu hanya efek sementara. Sehingga, kemiskinan struktural imbasnya.
Jika memang niat pemerintah ingin reformasi agraria seperti wacananya kepada masyarakat, perlunya kemauan kuat politik penguasa, niat baik pengakuan hak atas tanah, data lengkap terintegrasi dari kampung, resolusi konflik mengedepankan kemanusiaan, pengakuan hak atas wilayah adat melalui Perda/Perpres, sertifikat kepada wilayah rentan konflik, serta elit politik yang terpisah dari bisnis kotor.