UUD 1945 ayat 33 (3) menyebutkan: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat dalam undang-undang ini begitu fundamental demi terbentuknya masyarakat Indonesia makmur dan mandiri.
Dikenal dengan negeri maritim, Indonesia memang memiliki hamparan laut yang luas dengan berbagai kekayaan hayati di dalamnya. Dari itu, pemanfaatan kekayaan laut ini begitu penting. Tujuannya tentu merujuk pada UUD 1945 ayat 33 (3), sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Selain laut, Indonesia juga dianugerahi begitu banyak gugusan pulau. Bukan pulau biasa, melainkan pulau dengan struktur lahan yang subur. Tanah-tanah di negeri ini memiliki potensi kekayaan yang tak ternilai. Produksi pertanian dan perkebunan yang dihasilkan adalah salah satu terbaik di dunia.
Sumber daya alam yang tertanam di dalam tanah-tanah ini juga memiliki kekayaan yang luar biasa. Minyak bumi, gas, batu bara, emas begitu melimpah.
Maka benar apa yang disebutkan dalam lirik lagu Koes Plus: orang bilang tanah kita tanah syurga, tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman... Ini menunjukkan betapa menakjubkannya potensi tanah di negeri ini.
Namun, dengan mengetahui betapa suburnya tanah di Indonesia, sudahkah kesuburan itu berkorelasi dengan kemakmuran rakyat? Sudahkah rakyat menikmati tanah-tanah di Indonesia tanpa harus terjerat pada kepemilikan modal yang kapitalistik?
Agar pertanyaan itu tidak mengkristal menjadi sebuah kekhawatiran yang terjadi, maka dibuatlah konsep reforma agraria. Salah satu tujuan reforma agraria adalah memperbaiki struktur ketimpangan lahan serta mengembalikan tanah pada esensinya.
Csaba Csaki dan John Nash dalam papernya, The Agrarian Economies of Central and Eastern Europe and the Commonwealth of Independent States menyebutkan bahwa reforma agraria secara sempit merujuk kepada distribusi ulang lahan pertanian atas prakarsa atau dukungan pemerintah (land reform). Secara luas diartikan peralihan sistem agraria suatu negara secara keseluruhan, yang sering kali meliputi reformasi pertanahan.
Maka reforma agraria adalah kontruksi pemerintah untuk menjaga kemanfaatan tanah dalam dimensi kerakyatan. Secara sederhana, supaya tidak terjadinya ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia.
Namun, berdasarkan data yang dihimpun Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), tiap menit Indonesia kehilangan 0,25 hektare lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi nonpertanian. Apabila 0,25 hektare itu, anggaplah, dikelola satu rumah tangga, maka akibat konversi lahan tiap menit satu rumah tangga petani kehilangan penghidupannya.
Jika dikaitkan dengan perhitungan gini rasio, maka penguasaan tanah di Indonesia mendekati angka 0,59. Ini artinya hanya sekitar satu persen penduduk menguasai 59 persen sumber daya agraria dan tata ruang.
Maka kekhawatiran atas pertanyaan di atas telah mengkristal menjadi realitas. Kenyataan yang sudah terjadi di negeri yang subur ini.
Di sini perlu kiranya mengkaji kembali struktur reforma agraria dalam sudut pandang yang lain. Salah satu dari sekian world of view yang ada, Islam menghadirkan satu konsep yang menarik. Mengapa Islam? Diketahui Islam bukan hanya kompleks dalam persoalan transenden, tetapi juga materialistik.
Persoalan kepemilikan tanah sudah diatur dan dikonsepkan dalam ajaran Islam. Keadilan agraria menjadi salah satu perhatian khusus yang secara historis termuat dalam tatanan fiqih muamalah.
Betapa pentingnya persoalan agraria dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan sahabat Sa'id bin Za'id: Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat. (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan polemik agraria sudah ada sejak awal-awal kemunculan Islam. Maka menjadi penting untuk melihat bagaimana Rasulullah saw mengubah tatanan agraria yang bathil menjadi haq demi terciptanya keadilan.
Ira M. Lapidus dalam A History of Islamic Societies (1988) menyebutkan bahwa kepemilikan tanah menjadi faktor yang menentukan bagi perebutan kekuasaan di kalangan umat Islam. Perebutan ini dapat memicu pergolakan sosial dalam manisfestasi pemberontakan politik (political rebellion) dan perlawanan rakyat jelata (people's resistance).
Konsepsi pengaturan hak atas tanah sendiri dalam sejarah Islam mulai terjadi pasca hijrahnya Rasulullah saw beserta para sahabat ke Madinah. Dari Ibnu Abbas ra bahwa takkala Rasulullah SAW tiba di Madinah, maka penduduk Madinah bersedia menyerahkan seluruh tanah yang tidak terjangkau air.
Sejarah mencatat, itu merupakan praktik landform pertama dalam sejarah umat Islam yang dilakukan secara sukarela (Abu Ubaid Al-Qasim, 2006: 367).
Makin berkembangnya umat Islam, maka pemberlakuan hak atas tanah pun makin kompleks. Selain kepemilikan tanah pribadi, Rasulullah saw juga mengatur lahan tanah untuk kepentingan umum (hima). Penjelasan lebih detail mengenai hal ini termuat dalam kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid Al-Qasim.
Ibnu Sirin meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah mengapling tanah kepada laki-laki dari kalangan Anshar yang bernama Sulaith. Selanjutnya juga pemberian kaplingan tanah kepada Zubair ra sebagaimana hadiss yang disampaikan Asma' binti Abu Bakar ra bahwa Rasulullah memberikan kaplingan tanah kepada Zubair ra di Khaibar dengan pepohonan dan kebun kurma di dalamnya (Abu Ubaid Al-Qasim, 2006: 360).
Kebijakan pemberian tanah juga dilakukan kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Seperti yang dilakukan Rasulullah kepada pemuka Bani Hanifah, Mujja'ah Al-Yamamah. Kepadanya Rasulullah memberikan hak tanah beserta surat pengkaplingannya (Abu Ubaid Al-Qasim, 2006: 366).
Beberapa riwayat ini menunjukkan bagaimana pengelolaan hak atas tanah menjadi perhatian Rasulullah . Pemberian kaplingan tanah kepada orang-orang yang membutuhkan adalah cara Rasulullah dalam mendistorsi kesenjangan sosial ekonomi.
Adanya pemberian lahan tanah itu diharapkan agar umat Islam dapat memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup di masa depan. Pemberian hak atas tanah kepada orang yang baru masuk Islam juga bertujuan menguatkan hati dan keimanan mereka.
Selain pengeloaan tanah secara individu, Rasulullah mengatur hima, yaitu lahan-lahan kosong untuk kepentingan umum. Ini dilakukan untuk menjaga kestabilan ekonomi dan meghindari ketimpangan dalam penguasaan kepemilikan tanah. Hima akan dikelola oleh negara dan keuntungannya untuk kepentingan kolektif.
Selain pemberian dan pengelolaan, Rasulullah juga sering menjadi inisiator dalam penyelesaian konflik agraria. Di antaranya konflik antarseorang laki-laki yang telah menanam pohon kurma di tanah milik seorang laki-laki Anshar dari Bani Bayadh.
Rasulullah pun memutuskan agar pemilik tanah tetap mengambil hak tanahnya. Sementara untuk laki-laki yang menanam pohon kurma di atas tanah orang lain untuk mencabut pohon kurmanya.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Hisyam bin Urwah ra dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang mengelola tanah kosong (mawat), maka hal tersebut telah menjadi kepemilikannya dan tidak ada hak bagi pelaku kedzaliman untuk mengambil dan merampasnya.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Rafi' bin Khudaij dari Rasulullah saw, beliau bersabda: Barangsiapa yang bercocok tanam pada tanah orang lain tanpa sepengetahuan dan izin mereka, maka pemilik tanah berhak membiayai tanaman itu. Sementara penanam tidak ada hak untuk mendapatkan hasil dari tanaman yang telah diusahakannya (Abu Ubaid Al-Qasim, 2006: 372).
Dari hadis tersebut, maka ada dua sisi yang muncul. Pertama, penanam tidak boleh mengambil dan memetik hasil dari usahanya selain dari biaya yang telah dikeluarkannya terhadap tanaman. Kedua, pemilik tanah supaya memberikan ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan si penanam sehingga hasil tanaman itu menjadi hak pemilik tanah.
Reforma agraria dalam rekam historis Islam terus berlangsung hingga masa Khulafaurraasyidiin bahkan Dinasti Abbasyiah. Makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka aturan pengeloaan tanah pun makin berkembang tanpa mengurangi subtansi dari riwayat yang sudah dilakukan semasa Rasulullah. Tujuan utama dari reforma agraria itu hanya satu, pengendalian kesenjangan.
Hadirnya konsepsi Islam dalam pengelolaan tanah begitu penting. Sebelum datangnya Islam, masyarakat jazirah Arab begitu primitif dalam pengendalian konflik agraria. Pendekatan yang dilakukan adalah kekerasan. Untuk itulah Islam datang untuk mereformasi sistem agraria yang brutal menjadi lebih adil.
Peran Islam dalam membangun struktur landreform di Indonesia juga signifikan. Sejak masa kolonial, tokoh-tokoh Islam di Indonesia sudah melakukan gerakan revolusioner, seperti pemberontakan petani Banten tahun 1888 yang ditulis Sartono Kartidirjo.
Tokoh-tokoh yang berperan dalam pemberontakan tersebut adalah H. Abdul Karim, H. Tubagus Ismail, dan H. Wasid. Mereka semua adalah para pemuka agama Islam di Banten (Sartono Kartidirjo, 2015: 194).
Selain di Banten, gerakan-gerakan serupa juga terjadi di berbagai daerah, seperti pemberontakan Pesantren Sukamanah yang dipelopori dari kalangan Nahdlatul Ulama KH. Zaenal Moestafa pada tahun 1944 (Ahmad Mansyur Suryanegara, 2010: 89-93). Kemudian pemberontakan di Indramayu yang dipelopori H. Madrijas, H. Kartiwa, Kiai Srengseng, Kiaia Moekasan, dan Kiai Koesen (Ahmad Mansyur Suryanegara, 2010: 94-95).
Dalam rangka pembenahan agraria dan peningkatan keadilan hak atas tanah, maka pada pada tahun 1960 dibentuk Undang-undang No.5 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau disebut dengan UUPA. Tidak sampai di situ, pembenahan berlanjut dengan penerapan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.56/Prp/1961 tentang Pembatasan Tanah Pertanian.
Setelah itu, dibuat juga Peraturan Pemerintah (PP) No.224/1961 tentang Redistribusi Tanah dan prosedur Ganti Rugi. Kemudian Undang-undang No.21/1961 tentang pengadilan landreform dalam rangka melaksanakan program Land Reform yang bertujuan membatasi kepemilikan lahan individu.
Aturan-aturan itu dibuat tidak terlepas dari peran umat Islam. Banyak tokoh-tokoh Islam yang terlibat langsung dalam pembentukan Undang-undang agraria, seperti KH. Zainul Arifin seorang ulama dari Partai Nahdlatul Ulama (PNU) yang merupakan ketua DPR-GR (Gotong Royong). Beliau yang didukung pemuka agama Islam terlibat langsung dalam pengesahan UUPA tahun 1960.
Sejarah Islam dalam rangka pelaksanaan reforma agraria tidak hanya dalam kerangka mikroistik. Secara makro, tata kelola agraria sudah ada sejak awal-awal kemunculannya Islam. Maka dari itu, telaah secara historis ini untuk melihat khazanah Keislaman yang luas terutama menyangkut aturan pertanahan oleh negara.
Reforma agraria adalah perahu yang dibuat untuk mencapai UUD 1945 ayat 3 (3). Setidaknya, Islam hadir sebagai cakrawala baru yang mungkin sudah terkikis oleh aturan-aturan yang berkiblat pada orientalis. Reforma agraria dan Islam memiliki common sense yang tak bisa diindahkan, yaitu terbentuknya baldatun, thayyibatun wa Rabbun ghafur.