Dari lahir saya tinggal di kota besar di kota yang bisa dibilang metropolitan, sebab jarak tempat tinggal saya ke ibukota hanya satu jam, itu kalau gak macet, ya. Karena itu pula saya jadi terbiasa apa-apa serba cepat, praktis dan mudah. Saya sadar privilese yang saya miliki cukup banyak, kemudahan dalam mengakses apapun membuat kualitas hidup saya lumayan sejahtera.
Meskipun begitu, saya juga punya cita-cita tinggal di desa atau kota kecil saat sudah tua, seperti kebanyakan orang lainnya. Namun, harapan itu ternyata diwujudkan terlalu cepat, belum bekerja dan menikah saya sudah terlanjur bermukim di kota kecil sayanganya bukan untuk istirahat pensiunan tapi untuk kuliah.
Iya, saya kuliah di Turki tapi di kota kecilnya, jauh dari gemerlap hiruk pikuk kota besar, tidak ada mall dan tempat-tempat hiburan besar. Gak usah tanya kenapa dan bagaimana, ceritanya panjang dan rumit, gak penting juga kalau saya jelasin di sini.
Sejujurnya, saya cukup merasakan gegar budaya yang berkali-kali lipat. Tinggal di luar negri di kota kecilnya pulak, sama-sama hal yang sangat baru bagi remaja 19 tahun kala itu.
Di kota tempat saya kuliah sebenarnya gak desa-desa banget sih, infrastrukturnya bisa dibilang lumayan, masih ada bioskop walaupun kecil tempatnya, saya pun juga masih bisa delivery order makanan, belanjaan dan lainnya tapi dari segi variasi makanan, pakaian dan perkembangan teknologi agak ketinggalan, gak hanya itu tempat-tempat hiburan juga minim, kalau dulu saya bosan bisa nongkrong cantik di mal, main ke dunia fantasi atau ke tempat –tempat yang instagramable.
Rasa bosan pun kerap menyelimuti, saya yang apa-apa inginnya serba praktis dan cepat sehingga mau gak mau saya harus pelan-pelan menyesuaikan dinamika kehidupan di kota kecil, meski agak jeles sama teman-teman yang kuliah di kota besar yang bisa ke sana ke mari dengan lincah, belanja asik di mall besar dan hal-hal mewah lainnya.
Tapi, saya berusaha bijaksana dalam mengahadapi hidup ini, saya percaya apapun yang terjadi pasti ada pelajaran hidup yang bisa dipetik.
Pertama, karena jarak dari satu tempat ke tempat lainnya gak terlalu jauh bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, kalau ada janjian sama teman/dosen saya jadi gak takut telat. Apalagi kalau berangkat ke kampus, fyi aja nih, di sini transportasi publik kebanyakannya adalah bus umum dan bus untuk jalur utamanya hanya ada tiga.
Bus ke kampus relatif sering dijumpai, kelas jam 10.00 pagi masih bisa berangkat mepet-mepet 20 menit sebelum kelas dimulai. Udah gitu, jarang macet juga soalnya orang-orang sini lebih banyak gunain transportasi umum ketimbang kendaraan pribadi. Jadi gak sering was-was karena telat.
Kedua, dulu waktu masih tinggal di kota besar, di Indonesia gaya hidup saya bisa terbilang hedonis, uang bisa dengan cepat hilang sekejap tak terasa habis hanya untuk memenuhi gaya hidup semata. Semenjak tinggal di kota kecil, apalagi sambil berkuliah dan ngerantau jauh saya jadi belajar pentingnya hidup seadanya dan berhemat.
Bahagia gak harus jalan-jalan ke mal, makan di tempat makan yang fancy dan hal-hal mewah lainnya. Menikmati hal-hal kecil juga bagian dari kebahagaiaan yang patut disyukuri.
Ketiga, karena kota saya kecil dan orang asingnya gak banyak, termasuk Indonesia, penduduk lokal di sini jadi cukup cepat mengenali kami, para pelajar asing. Waktu mampir ke rumah makan dan kebetulan makanannya cukup pas di lidah dan kantog saya, saya jadi sering makan di sana kalau lagi bosen masak di rumah. Orang yang punya jadi kenal saya dan gak jarang suka ngasih diskonan. Mereka bahkan suka berbagi cerita –cerita.
Hidup di kota kecil malah buat saya jadi lebih menikmati obrolan-obrolan ringan yang susah dicari di bisingnya kota besar.
Terakhir, saya jadi lebih tenang. Pasalnya, hidup dengan hiruk pikuk perkotaan memang melelahkan mau jalan saja bisa tiba-tiba macet, liburan gak keren kalau gak ke mal, polusi di mana-mana harga barang-barang juga bikin kantong kering. Semenjak kuliah dan tinggal di kota kecil, saya jadi lebih sering berkontemplasi, merefleksikan kisah-kisah hidup mungkin karena gak banyak tempat hiburan yang asik.
Sekadar duduk di cafe sederhana memesan kopi yang paling murah sesekali membaca atau nulis dan lebih sering diam memandang jalan yang tidak ramai dari jendela, sudah menjadi hiburan tersendiri buat saya.
Kalau hidup hanya perkara mensyukuri dan menjalani seharusnya kita bisa setiap hari bahagia tanpa perlu menyesali keadaan. Namun, pada nyatanya memang tidak sesedarhana itu, tapi paling tidak, cobalah nikmati apa-apa yang ada di sekitar bisa jadi selama ini yang dikejar terus-terusan bukan benar-benar yang dibutuhkan.
Turki, 2022