Dahulu, di Yunani, dikenal sekelompok orang yang menamakan dirinya sebagai sofis, yang artinya guru, sorang sarjana, atau seorang yang bisajaksana. Mereka memiliki kebiasaan mengelilingi pelosok kota atau desa untuk mengajarkan ilmunya kepada banyak orang. Kebiasaaan ini kerap mereka lakukan untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki intelektual tinggi di masanya.

Pada mulanya, dalam mengajarkan ilmu, terutama ilmu-ilmu alam, mereka demikian tulus. Namun seiring berjalannya waktu, ketika kepopuleran mereka mulai menerjang, ketulusan mereka mulai memudar dan puncaknya benar-benar sirna. Kepopuleran mereka membuat jiwa mereka lengah hingga mereka memungut biaya dalam setiap pengajaran.

Kalua tidak bisa dikatakan lebih parah, hal yang sama sekarang terjadi. Sangat susah untuk menilai sekte pendidikan nasional dengan sekte pendidikan tradisonal dalam menerapkan hakikat dari tujuan pendidikan; apakah hal ini sudah diaktualkan atau masih dalam proses. 

Barangkali, sama sekali tidak ada niat apalagi usaha yang nyata, mengingat target dari pendidikan hari ini hanyalah mengisi otak dalam batok kepala. Itu pun dilakukan dengan doktrinitas yang mengancam.

Satu yang pasti dari hasil pemikiran pakar pendidikan yang sampai hari ini kita yakini sebagai tujuan puncak pendidikan, yakni menjadikan manusia sebagai manusia. Dalam meraih kemanusiaannya, peserta didik atau pelajar disediakan wadah untuk berproses mengarungi samudra ilmu guna terbentuknya intelek.

Wadah besar ini kental dengan kampus atau universitas sebagai lahan aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Tetapi sekarang tidak lagi mengentuh hakikat dari makna pendidikan itu sendiri. Lembaga pendidikan semata-mata hanya dijadikan sebagai area bertarung para kapitalis, terlebih lagi lembaga pendidikan nasional.

Pendidikan nasional? Bullshit! Pendidikan nasional nyatanya pendidikan gaya perjudian bagi para pebisnis! Pendidikan nasional nyatanya hanya mementingkan kertas! Pendidikan nasional nyatanya menghasilkan sarjana yang menjadikan suap-menguap sebagai alat untuk mendapat pekerjaan! Pendidikan nasional nyatanya hanya untuk menciptakan “surga” di mana kaum miskin tidak berhak menciumnya. 

"Itulah realitas pendidikan hari ini," tegas Fauz Noor dalam buku Semesta Sabda (hal. 642).

Absurditas pendidikan kini sangat jelas di depan mata. Sedemikian jelasnya sehingga mampu menipu indra penglihatan kita seakan itu tidak tampak. Para pemikir dan orang-orang besar dalam lembaga pendidika adalah mereka-mereka yang memiliki peran penting dalam pendidikan membentuk komuditas yang diberi nama (penentu kebijakan) untuk membuat pelajar atau dombanya makin jauh tersesat atau sebagai pewaris kesesatan pengembalanya.

Kebijakan lembaga pendidikan yang sangat terlihat tidak becus ialah menjadikan wadah akademisi sebagai lapangan penggarapan modal, menjadikan pelajar sebagai objek yang diperjual-belikan. 

Akal sehat (meminjam Bahasa Rocky Gerung) dijual murah demi kepuasan pemimpin yang berkuasa. Keserampangan proses perjalanan pendidikan yang demikian tetap dibiarkan dengan balutan demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara, di lain sisi, pakar dan ahli pendidikan menyelimuti diri dari realitas yang berjalan.

Para pelajar diarah-kembalakan ke sana-kemari sesuai kemauan tuan gembala. Tidak heran jam perkuliahan bisa diganti kapan pun dengan acara seminar, acara festival, dan bahkan digantikan dengan acara perayaan kerja sama antara pihak kampus dengan bank. 

Para bijaksana atau pengajar yang lebih dulu dupah dengan bahak-bahakan mereka tertawa menerima uang berlimpah (dari pelajar lembaga pendidikan dan sewa masa/pelajar sebagai audiens acara) sedangkan pembelajaran tidak ada.

Mengingat begitu banyak dan seringnya acara kampus yang melibatkan para pelajar sebagai keharusan untuk jadi peserta, terkadang sedikit nakal pikiran saya coba membayangkan apakah dengan mata melotot para pengelola lembaga pendidikan atau kampus ketika datang tawaran seminar berkata, lumayan tambah penghasilan, kan tinggal mahasiwa-mahasiswi saya jual, akal sehat meraka saya giring dengan motivasi seminar kerja, bisnis dan jadi penguasa?

Satu hal lagi yang paling memuakkan ialah ketika adanya seminar, semua area kampus seketika disulap menjadi istana megah dengan dalih penghormatan kepada para tamu undangan. Lingkungan di sekitar tempat seminar dihiasi mani-manik sebagi bentuk puber bahwa kampus bermodal. 

Apalagi kaluau tamunya adalah politikus dan ketua partai, tidak karuan uang dan makanan jadi ajeng rebutan bahkan banyak yang berserahkan tidak dimakan, sementara para pelajar di setiap semester didesak dengan kenaikan SPP dan DPP yang mencekik.

Dalam upaya melawan keserampangan pengelolaan lembaga pendidikan yang carut-marut seperti sekarang ini, alangkah baiknya para pengajar mengajarkan dirinya terlebih dahulu sebelum menjadi panutan bagi para pelajar. 

Meminjam perkataan Prof. Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islami, seorang pengajar hendaknya memberikan teladan yang menjujung tinggi nilai kemanusian, bahkan kalau bisa bukan hanya pelajar, tetapi setiap aspek yang terkontaminasi dari lembaga pendidikan itu sendiri, baik itu dimulai dari satpam, penjual di sekitar lembaga pendidikan, hingga kepala lembaga atau rektornya.

Sebab jika sifat keserakahan ini terus dibiarkan, maka akan berdampak pada perampasan yang terus-menerus dengan dalih kecerdasan dan kemanusiaan. Padahal dalih itu hanya pengalih agar binatang-binatang rakus bisa dengan leluasa melahap sana-sini.