Banyak orang zaman sekarang salah kaprah tentang lelaki berambut gondrong. Ah, tapi kayaknya memang bukan zaman sekarang saja sih. Sejak dahulu kala, lelaki berambut gondrong di Indonesia selalu dipandang miring.

Hampir semua orang dan profesi kini salah kaprah memandang lelaki gondrong. Mulai dari orang yang berprofesi negarawan, politisi, guru, profesor, dokter, pebisnis, agamawan, dan lain-lain.

Hanya seniman yang terbebas dari salah kaprah pandangan ini. Tapi, bukan artinya saya membela dan saya seorang seniman lho, ya.

Saya sangat kasihan dengan orang-orang yang berpandangan salah kaprah ini. Memang, pandangan mereka yang keliru itu bisa dimaklumi. Sebagian orang berambut gondrong memang menimbulkan kesan urakan, seram, malas, kotor, dan stigma lainnya. Namun, tidak semua lelaki berambut gondrong seperti itu.

Di sinilah letak salah kaprahnya: mereka menggeneralisasi semua orang berambut gondrong. Artinya, ada yang keliru dari logika berpikir masyarakat umum. Ada yang keliru dari logika kebudayaan masa kini, yang pada akhirnya bisa berkembang menjadi budaya stigma.

Prinsip saya adalah semua stigma harus dilawan. Bodo amat perlawanan itu berhasil atau tidak. Yang penting adalah lawan! 

Mengapa stigma harus diperangi? Sebab, jika dibiarkan, stigma akan berkembang jadi penyakit kebudayaan: membuat kehidupan sosial-kebudayaan hanya jadi penuh sesak dengan prasangka. 

Tentu saja, semua manusia bermental sehat ingin hidup berdasar nalar jernih. Bukan semata-mata berpijak dari prasangka yang tak pernah dikritisi.

Sebagaimana manusia itu banyak jenisnya, maka lelaki rambut gondrong pun banyak pula jenisnya. Tapi biar gampang, secara pola umum, hanya ada 2 jenis rambut gondrong: rambut gondrong asal-asalan dan rambut gondrong beralasan.

Saya gak bahas jenis yang pertama. Karena saya mewakili jenis rambut gondrong yang kedua.

Bagi orang berambut gondrong jenis kedua, rambut gondrong adalah sebuah sikap kritik sosial-budaya. Jangan salah, di balik rambut gondrong ada logika. Ada sikap.

Lantas, apa logikanya? Budaya yang bagaimana yang dikritik?

Ada sebuah argumen, yang bagi saya sangat dangkal, namun justru dipopulerkan: “Penampilan seseorang menunjukkan bagaimana kepribadian orang tersebut.” Namun, apakah manusia memang sesederhana itu? Apa manusia semudah itu direduksi?

Tentu saja, sudah seabrek penelitian di bidang psikologi yang mengeksplorasi tentang keterkaitan penampilan luar sebagai salah satu variabel untuk menjelaskan mengenai kepribadian. Beberapa hasil menunjukkan keterkaitan. Sedangkan, hasil lain menunjukkan tak ada keterkaitan signifikan.

Di kebudayaan saat ini, penampilan luar ibarat menjelma Tuhan. Segala hal yang bisa mendongkrak kualitas penampilan, langsung diikuti. Rambut pria, misal, salah satu contohnya.

Ketika cukuran pendek yang tampak manly, langsung booming mendadak. Dikasih berbagai macam jenis varian pomade, gelm atau apalah, berbondong-bondong pria melakukan hal yang sama. Tentu hal ini sah-sah saja.

Tapi, yang menjadi masalah adalah ketika mereduksi karakter seorang pria hanya berdasar rambutnya saja. Bahwa yang disebut laki-laki itu ”harus” berambut cepak, pendek, rapi, pomade-an, dan lain-lain yang sejenis. Bahwa lelaki mapan itu ”harus” berpenampilan demikian.

Di sisi lain, budaya “yang penting penampilan” ini juga merambah ke bidang lain. Tak hanya soal rambut laki-laki. Ia sampai juga merambah ke ranah agama. 

Asal Anda berpakaian kearab-araban, artinya Anda saleh dan islami. Yang penting, berpenampilan dulu seperti kebanyakan orang beragama agar dapat diterima oleh kelompok masyarakat agama tertentu, substansi belakangan.

Tak cukup di ranah agama, budaya ini juga menancap erat di dunia profesional. Misalnya, di bidang kedokteran. Kenapa dokter pria itu kok kayaknya ‘harus’ memiliki rambut pendek? Padahal, di kedokteran itu kan mempelajari etika. Nah, etika sendiri pada esensinya adalah soal bagaimana manusia berperilaku.

Etika seorang dokter adalah etika universal yang bertujuan demi kemanusiaan. Artinya, yang utama dari seorang dokter adalah perilakunya, bukan penampilan rambutnya. 

Jadi, sebenarnya dokter laki-laki berambut gondrong itu ya gak masalah. Mau dia gondrong, botak, mohawk, asal dia beretika secara universal demi kepentingan orang lain, ya sah-sah saja dan bahkan mulia.

Tapi, ya itu masalahnya, kita kerap melandaskan penilaian final hanya pada penampilan. Padahal, penampilan bukanlah dasar universal.

Kenapa budaya kita bisa sepakat menganggap dokter laki-laki itu ‘harus’ berpenampilan rambut pendek? Giliran ada dokter yang berambut gondrong, langsung curiga: “Dokter apaan nih rambutnya gondrong?”

Jangankan dokter deh, ada seorang pemuka agama yang berambut gondrong saja pasti pikiran banyak orang langsung skeptis. “Ini beneran nih ulama/pendeta/pastur/biksu, dll?”

Oleh karena itu, yang bermasalah bukan rambut gondrongnya. Tapi, yang bermasalah adalah cara berpikir sosial-kebudayaan tentang rambut gondrong.

Mengapa kita tergila-gila dengan budaya penampilan? Apa benar penampilan mewakili segalanya? Tentu saja, jelas tidak.

Buktinya, ada yang berpenampilan elegan, tapi isi kepala dan perilakunya bangsat. Ada yang berjas dan berdasi, tapi apatis. Isi kepalanya kopong. Ada yang berpenampilan islami, tapi isi kepalanya adalah menghakimi keimanan orang lain.

Jika tampilan Anda manis, elegan, bersih, tapi isi kepala dan perilakunya bangsat, ya tetap saja Anda bangsat. Ini udah seabrek-abrek contohnya.

Nah, bagi saya, menggondrongkan rambut adalah sebuah sikap kritik terhadap sosial-budaya yang “menuhankan penampilan”. Budaya prasangka dan menstigma atas dasar penampilan. Itulah budaya hari ini.

Setiap pria boleh dan bebas gondrong. Tak hanya seniman, dokter boleh gondrong. Tokoh agama boleh gondrong. Guru boleh gondrong. Pebisnis boleh gondrong. Presiden dan wakil presiden pun boleh gondrong.

Jadi, sejatinya, di balik rambut gondrong, ada sebuah seruan: mari fokus berbenah isi kepala dan perilaku. Sebab, pada akhirnya indikator universal manusia adalah isi kepala dan perilakunya, bukan penampilan, apalagi rambutnya.