17 Juni 656 M, Khilafah Utsman bin Affan terbunuh oleh sekelompok komplotan yang melakukan perlawanan. Konflik tersebut bertalian dengan masalah politik, kekuasaan. Khalifah Utsman yang sedari awal tidak menginginkan pertumpahan darah, pada akhirnya menyerah pada keadaan.
Setelah 40 hari dikepung oleh para komplotan di rumahnya, Khilafah Utsman pada akhirnya terbunuh. Dalam salah satu sumber, tentu sang khilafah bisa saja mendapatkan pengawalan melekat atau meminta rumahnya untuk dikawal, namun Utsman enggan. Menolak pertumpahan darah adalah sebab yang ia ajukan.
Pasca meninggalya Khalifah Utsman, konstelasi politik arab tidak lantas menjadi reda. Adalah Ali bin Abi Thalib yang didaulat untuk menggantikan pucuk pimpinan Islam pada saat itu. Ali yang tidak lain adalah sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW, dianggap mampu untuk melanjutkan estapet kepemimpinan.
Sabtu, tepat sehari pasca meninggalnya Khalifah Utsman, 18 Juni 656 M, Ali dibaiat di salah satu mesjid di Kufah (Irak). Pada titik inilah eskalasi politik umat Islam pada saat itu benar-benar berada di titik nadirnya dan harus ditanggung kurang lebih 14 abad setelahnya.
Konflik Pasca Minggalnya Nabi Muhammad SAW
Kepemimpinan Khalifah Ali tidak dapat dilepaskan dari berbagai macam konflik. Dua konflik di antaranya justru melibatkan orang-orang terdekat Nabi Muhammad SAW itu sendiri.
Pertama, Perang Unta (8 Desember 656) yang melibatkan janda Nabi Muhammad SAW dan Khalifah Ali. Ini adalah perang saudara pertama sepeninggal Nabi di kalangan komunitas Muslim Arab. Ihwal perang ini adalah adu domba yang dilakukan oleh provokator kepada kedua belah pihak; kelompok Ali dan kelompok Aisyah.
Kelompok Aisyah yang sedari awal hanya ingin mengadukan agar proses pengusutan pembunuhan Khalifah Utsman disegerakan, disusupi oleh provokator yang menyerang kelompok Ali. Sama halnya, Ali dan kelompoknya yang sedari awal hanya ingin menemui kelompok Aisyah, juga diisi oleh penyusup yang menyerang kelompok Aisyah. Peperangan tak terelakkan.
Tentu, sulit dibayangkan bahwa perang ini melibatkan orang-orang yang sangat disayang oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau hidup. Namun, inilah pil pahit yang harus umat Muslim terima dengan objektif. Karena perang ini, sekitar 6000 umat Muslim terbunuh, termasuk sahabat Nabi Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang berada di kelompok Aisyah.
Tujuh bulan pasca perang Unta, perang yang lebih dahsyat kembali terjadi, kali ini Khalifah Ali berhadapan dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, seorang Gubernur Suriah. Pasalnya, Mu’awiyah menolak untuk setia (baiat) kepada Khalifah Ali sebelum keadilan atas pembunuhan Khalifah Utsman ditegakkan.
Perang ini berlangsung selama tiga bulan. Setidaknya, puluhan ribu nyawa umat Muslim terenggut akibat perang ini. Pada akhirnya, kelompok Mu’awiyah meminta arbritase (perundingan) untuk menghentikan peperangan, yang oleh kelompok Ali dianggap tidak lain hanya siasat politik. Namun, perundingan damai pada akhirnya dilakukan.
Nahasnya, hasil perundingan tersebut tidak memuaskan salah satu bekas pengikut Ali, yang kemudian dikenal dengan kelompok Khawarij. Kelompok ini menganggap Muawiyah telah kafir karena telah menentang khalifah yang sah, namun satu sisi, juga mengafirkan Ali karena menerima hasil perdamaian.
28 Januari 661 M, (19 Ramadhan 40 H), saat akan mengimami Sholat Subuh, Ali tewas setelah kepalanya tergores pedang beracun oleh tokoh Khawarij; Abd al-Rahman bin Mujlan Al-Muradi.
Konflik sebagai Beban Sejarah
Pasca konflik Shiffin, umat Islam sampai hari ini terbelah menjadi tiga fraksi besar yang sulit untuk berdamai; Sunni sebagai mayoritas, Syiah sebagai pendukung Ali, serta Khawarij yang selalu mengafirkan. Tiga kelompok elite tersebut masih mewarnai kotak-kotak polarisasi umat Muslim sampai saat ini.
Syafii Maarif dalam bukunya, “Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam” (2018), menyebut bahwa peperangan di awal-awal kepergian Nabi yang bertanggung jawab terhadap banyaknya kekacauan internal umat muslim hari-hari ini.
Peperangan sesama umat Muslim yang hari ini masih terus terjadi di Libia, Irak, Mesir, Yaman, dan Suriah sedikit banyak diwarisi dari konflik sektoral masa lalu tersebut. Sayangnya, masing-masing pihak merasa membawa panji-panji kebenaran.
Konflik panjang Irak dan Arab Saudi, misalnya, sebagai pendaku Sunni-Syiah terbesar belum juga reda hingga hari ini. Khawarij era baru seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) juga mewarnai pertempuran darah antar sesama umat muslim.
Padahal, jika kita mau lebih jujur berpikir, bukankah pertikaian itu semua merupakan produk usang masa lalu, mengapa masih “diberhalakan” hingga hari ini? Pengultusan golongan inilah yang hingga hari ini bertanggung jawab atas retaknya hubungan sejati Umat Muslim yang sering dianalogikan sebagai satu tubuh tersebut.
Pengotak-kotakan ini, menurut Syafii Maarif, tidak ada hubungannya dengan misi kenabian dan Alquran, kecuali hendak dipaksakan dengan kacamata ahistoris.
Tulisan ini mungkin hanya setitik debu bagi pergolakan umat Islam hari ini yang sudah mengkristral selama 14 abad lamanya. Namun, di momen Ramadan di mana kita diharuskan untuk mengubur ego dan hawa nafsu ini, ada baiknya kita sejenak merenung secara kontemplatif; sudahkah kita sebagai individu memiliki jiwa satu-kesatuan sebagai umat Muslim?
Atau, kita masih terhunus pedang panjang berlumuran darah bernama ego sektoral dan sentimen primordialisme berbasis golongan?
Masa depan umat Islam sungguh ditentukan oleh para pemeluknya. Namun, alih-alih memperkuat barisan, konflik internal menjadi pemandangan yang lazim ditemukan. Agaknya, kita harus berbenah sejenak dalam pikiran; kita cukupkan sejarah masa lalu sebagai beban sejarah, dan mulai melihat sejarah sebagai refleksi konstuktif untuk masa ini dan masa mendatang.
Untuk menutup, izinkan saya mengutip kegelisahan Syafii Maarif terhadap ini di salah satu tulisannya berjudul “Kotak Suni, Kotak Syi’i, Tinggalkan Kotak”:
“Perseteruan Suni-Syi’i ini belum juga padam dalam bilangan abad. Jika kita boleh berandai pada abad ke-21 ini, kejadian inilah yang akan berlaku: sekiranya Arab Saudi diserang Israel, tidak mustahil Iran akan membantu negara Zionis itu. Begitu pula sebaliknya: jika Iran diserang Israel, Arab Saudi akan berpihak kepada Israel.”