Banjir informasi di era digital seperti saat ini adalah sesuatu yang lumrah. Di mana, siapa saja bisa saling membagikan informasi. Mulai dari membagikan informasi antar grup whatsapp, melalui instagram story, maupun membagikan informasi melalui website berita online atau cetak.

Hal itu bisa saja membantu kerja jurnalis dalam membagikan informasi secara cepat.  Apalagi ketika informasi tersebut berada di pelosok negeri yang susah dijangkau oleh media. Dengan bantuan telepon pintar, netizen atau masyarakat bisa langsung mengunggah informasi tersebut melalui media sosial mereka.

Banyak sekali keuntungan dari pemanfaatan telepon pintar secara bijak. Tidak hanya saling berbagi informasi yang benar. Telepon pintar juga membantu memudahkan kegiatan perkuliahan, memulai bisnis secara online dan masih banyak lagi.

Yang menjadi persoalan adalah ketika netizen atau masyarakat menggunakan telepon pintar sebagai ajang menyebarkan berita bohong atau hoaks. Apalagi di tengah kemelut perang politik seperti yang sedang terjadi saat ini. Setiap pendukung atau tim sukses dari masing-masing jagoan saling menjatuhkan lawan politik dengan berita bohong. Bahaya sekali.

Di era digital, dimana berbagai informasi bisa dengan mudah didapatkan, kita sebagai konsumen informasi harus bijak dalam memilih dan memilah informasi. Bisa saja seorang jurnalis membuat berita yang benar tetapi diplintir oleh segelintir orang untuk menjatuhkan kelompok lain. Atau bisa saja sebaliknya, seorang jurnalis sendiri yang mambuat berita bohong tersebut.

Sudah sepatutnya seorang jurnalis menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, sebuah berita atau informasi yang dibuat harus memenuhi unsur 5w+1h.  Yang mana tidak semua wartawan mengabaikan dasar-dasar yang harus dipenuhi dalam menjalankan tugasnya. Tetapi perlu diingat juga banyak jurnalis yang mengabaikan hal tersebut.

Menaati kode etik dan menjalankan sembilan elemen jurnalistik adalah hal yang mutlak bagi seorang jurnalis. Idealisme dalam hal ini juga sebagai harga diri dari seorang jurnalis. Karena idealisme dapat menjadi pondasi untuk memberitakan yang benar, memberitakan untuk kepentingan masyarakat umum bukan untuk segelintir orang.

Dulu, ketika saya masih aktif di pers kampus, saya percaya bahwa idealisme adalah harga mati yang harus dimiliki oleh setiap jurnalis. Idealisme harus dijunjung tinggi. Dari pers kampus tersebut banyak sekali pelajaran untuk tetap objektif, memberitakan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Tidak goyah ketika narasumber menawarkan amplop atau menawarkan sesuatu yang lain agar sedikit memlintir informasi.

Memberikan informasi yang benar adalah kepuasan tersendiri bagi seorang jurnalis. Seorang jurnalis tidak hanya memberikan informasi tetapi juga mengedukasi masyarakat. Oleh karena itu, berangkat dari jiwa idealis seorang wartawan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.

Seiring dengan berkembangnya zaman, kompleksnya kebutuhan seseorang, idealisme seorang jurnalis bisa saja terkikis. Jurnalis yang bekerja di sebuah perusahaan besar yang berorientasi pada uang bisa saja mengesampingkan idealisme untuk kebutuhan atau permintaan perusahaan tempat ia bekerja.

Pada tahun politik seperti sekarang, banyak media yang sudah ikut-ikutan berpolitik. Dapat dilihat dari banyaknya media memberitakan kebaikan atau keburukan tokoh politik yang didukung atau yang menjadi lawannya.

Bukan tanpa alasan media ikut mengampanyekan salah satu kandidat, dari kecondongan dukungan media tersebut suatu perusahaan media mendapatkan profit. Mendapatkan uang masuk untuk keberlangsungan medianya. Meskipun pemasukan media tidak hanya dari ikut-ikutan berpolitik tadi. Tetapi tidak bisa dipungkiri cukup besar juga profit yang didapatkan dari kecenderungan pilihan politik dari suatu media.

Di sinilah idealisme seorang jurnalis dipertaruhkan. Bukan karena ingin idealisme tersebut di nomor-duakan, tetapi keadaan sering kali tak menguntungkan untuk memiliki jiwa idealis. Sering kali karena tuntutan pekerjaan, jiwa idealis yang tumbuh sejak berkuliah jurusan jurnalistik tersisihkan karena keadaan.

Tak hanya keadaan yang memaksa untuk meninggalkan idealisme jurnalis, lebih dari itu, kesejahteraan diri maupun keluarga yang menjadi pertimbangan. Memang terlalu terdengar berlebihan ketika membahas idealisme jurnalis.

Tetapi bagi saya yang merupakan seorang mahasiswa jurnalistik, dengan begitu yakin saya akan mempertahankan jiwa idealis sebagai jurnalis, kelak. Nyatanya, saya yang begitu yakin ini belum terjun langsung di dunia kerja,  belum tahun kerasnya dunia kerja. Bisa saja idealisme itu hilang karena masalah kesejahteraan.

Sementara itu, berkembangnya industri media yang pesat, menuntut berbagai industri media untuk saling berkompetisi menjadi yang terdepan dalam mengabarkan iformasi. Lantas apakah hubungannya dengan idealisme? Idealisme jurnalis itu sangat luas.

Idealisme dalam mengabarkan informasi untuk khalayak umum. Bukan hanya untuk sebagian orang atau kepentingan sekelompok orang. Tetapi juga dalam memberikan informasi yang benar. Jangan karena hanya mengejar ‘klik’ atau rating, idealisme dalam memberitakan yang benar dikesampingkan.

Menjadi seorang jurnalis seutuhnya, sebenar-benarnya tidaklah mudah. Saya yakin bahwa jiwa idealis sejatinya sudah dimiliki sejak seseorang memutuskan menjadi jurnalis. Tetapi karena berbagai faktor ,jiwa idealisme tersebut akan tenggelam. Lebih parah lagi jika faktor tersebut adalah masalah kesejahteraan. Entah sampai kapan kesejahteraan menghilangkan jiwa idealis.