De-mo-kra-si. Kita tentu sudah sering mendengar kata ini dan sudah hafal juga asal muasal etimologinya; demos dan kratos. Artinya, kekuasaan di tangan rakyat. Jika dipikir-pikir lagi, mungkin banyak dari kita yang cinta buta pada demokrasi. Kita percaya kita harus membela dan mempertahankan demokrasi, dan merupakan sebuah kebusukan moral apabila kita menentangnya. Bukan hanya kita yang merasa demikian.
Rasa cinta pada demokrasi mewabah secara global. Komunitas internasional kerap kali mengecam negara-negara antidemokrasi, salah satunya Brunei Darussalam. Proyek demokratisasi (read: mendemokrasikan suatu negara) dilakukan lewat berbagai jalan, salah satunya pinjaman Bank Dunia.
Demokrasi kemudian terus berkembang dari satu negara ke negara lain dan biasanya dibarengi---dengan atau didahului---oleh liberalisasi ekonomi (dengan pengecualian untuk beberapa negara, antara lain Singapura, Cina, dan Vietnam). Di dalam tulisan Larry Diamond yang berjudul Can The Whole World Become Democratic? (2003), dilaporkan bahwa 120 dari 192 negara di dunia telah mengadopsi sistem demokrasi.
Namun demikian, betapapun populernya ideologi dan sistem politik demokrasi, ia tidak luput dari kritik. Salah satu kritik terhadap demokrasi yang menarik untuk diulas adalah gagasan Demokrasi Radikal dari Chantall Mouffe.
Prolog
Di dalam kata pengantar The Democratic Paradox (2000), Mouffe menyebutkan secara eksplisit bahwa dia melihat adanya kebutuhan akan landasan teoritis alternatif dalam memahami demokrasi di luar dari cara pandang arus utama, yakni demokrasi liberal.
Satu dekade sebelumnya, Mouffe bersama dengan Laclau (1985) memublikasikan buku fenomenal yang pertama kali mengenalkan terminologi “demokrasi radikal” dalam ranah akademik dan dianggap dapat dijadikan landasan konseptual untuk memahami demokrasi radikal sebagai salah satu gagasan filsafat politik.
Gagasan demokrasi radikal inilah yang menjadi alternatif terhadap demokrasi berbasis nilai-nilai liberalisme; baik sebagai pemikiran maupun sistem politik. Terdapat beberapa hal tentang demokrasi radikal, merujuk tulisan Laclau & Mouffe (1985) yang perlu dipahami.
Pertama, demokrasi radikal memandang demokrasi liberal sebagai demokrasi yang berbasis kebebasan dan kesetaraan dengan landasan filosofis universalitas liberalisme. Teoris demokrasi radikal kemudian menambahkan satu variabel lagi. Variabel tersebut adalah perbedaan (difference). Jadi, teoris demokrasi radikal memandang demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang berbasis kebebasan, kesetaraan, dan perbedaan.
Kedua, demokrasi radikal menolak mekanisme konsensus versi demokrasi liberal dan menggantinya dengan konsep disensus. Demokrasi liberal dianggap telah menihilkan banyak suara dalam konsep konsensus dengan cara yang opresif, berupa putusan negara yang berlaku sebagai sesuatu yang mengikat.
Konsep Demokrasi Agonistik
Mouffe (2000:80-107) menjelaskan mengenai demokrasi agonistik sebagai elaborasi konseptual terhadap gagasan demokrasi radikal yang berspirit disensus dan perbedaan. Gagasan demokrasi berbasis agonisme ditulis dengan memperkenalkan konsep adversary sebagai pengganti enemy dalam pendekatan antagonisme.
Adversary yang dimaksud adalah lawan yang harus dianggap sebagai kawan. Apabila enemy adalah pihak lawan yang harus kita musnahkan, maka adversary adalah pihak yang juga menjadi lawan kita, namun harus kita biarkan tetap hidup di dalam demokrasi (Mouffe, 2000:101).
Demokrasi agonistik mensyaratkan adanya pengakuan bahwa demokrasi memang adalah sebuah indecisive system (sebuah sistem yang sulit menghasilkan putusan) dan bahwa setiap decision-making model (mekanisme pembuatan keputusan, baik itu dengan musyawarah-mufakat atau dengan voting) akan selalu mengeksklusi satu atau beberapa kepentingan di tengah masyarakat.
Kritik ini juga termasuk disampaikan pada demokrasi deliberatif menurut Habermas yang memandang demokrasi ideal sebagai demokrasi berbasis diskursus di mana dengan demikian masyarakat dapat membentuk keputusan publik yang rasional. Di dalam konsep tersebut, Habermas tetap berusaha mencapai suatu keputusan tanpa mengakui adanya eksklusi kepentingan di dalam sebuah putusan, meskipun dilakukan dengan cara demokrasi.
Hal ini juga menjelaskan latar belakang teoris demokrasi radikal menolak terminologi “general will”, “common will”, atau “general consensus” yang merupakan sebuah delusi dalam demokrasi, di mana sebagian besar masyarakat kerap menganggapnya sebagai sebenar-benarnya hasil musyawarah yang adil tanpa menghilangkan suara siapa pun.
Gagasan Demokrasi Radikal sebagai Bagian dari Filsafat Post-Modern
Ricardo Blaug dalam bukunya yang berjudul Democracy: A Reader–-pada bab Future of Democracy (bab 17)---mengakomodasi gagasan demokrasi radikal Mouffe dengan menyematkan tulisannya yang berjudul Radical Democracy: Modern or Postmodern?.
Di dalam tulisannya, Mouffe mengatakan bahwa modernitas dalam tataran politik dapat diartikan sebagai kondisi politik di mana interaksi sosial telah menemukan bentuk yang teratur baik secara institusional maupun simbolis (Mouffe & Holdengraber, 1989:33). Oleh karena itu, filsafat politik modern dekat dengan bentuk masyarakat yang berada pada decisive point (memiliki keputusan politik yang jelas dan mutlak, tidak ambigu atau abu-abu).
Bentuk masyarakat yang demikian (decisive) ada dalam prinsip demokrasi modern yang menghegemoni dunia hari ini; rule of law, freedom and autonomy, dan seterusnya. Di sana terdapat standarisasi suksesi dan legitimasi yang kemudian dikritik oleh pemikir filsafat politik post-modern.
Filsafat politik post-modern menolak gagasan adanya bentuk landasan sistem yang final untuk mengindikasikan sistem yang demokratis dan bahwa proyek modernisasi politik yang pernah dilakukan telah salah sejak awalnya dengan menihilkan kearifan tradisional---dengan dalil rasionalitas manusia; yang memang tidak terelakkan sebagai dampak langsung enlightenment revolution.
Dalam pandangan Mouffe, demokrasi radikal pantas diposisikan sebagai arus filsafat politik baru yang berada di antara filsafat politik modern dan post-modern.
Penulis pribadi percaya bahwa gagasan demokrasi radikal yang dikemukakan oleh Mouffe merupakan sebuah gagasan yang mengagumkan dan dapat diterima sebagai kritik terhadap demokrasi. Akan tetapi, penulis tidak melihat adanya celah praksis untuk gagasan ini dapat direalisasikan atau dikonversi ke dalam sistem dan kebijakan.
Nah, hal inilah yang menjadi dasar gagasan-gagasan filsafat post-modern; mendobrak kedangkalan pemikir strukturalis dan proseduralis. Oleh karenanya, penulis memandang gagasan demokrasi radikal ini tidak perlu membentuk arus filsafat baru yang berdiri sendiri, melainkan dapat digolongkan dalam arus filsafat post-modernisme yang sama anehnya dengan gagasan dekonstruktif atau post-strukturalis lainnya.
Rujukan Literatur
Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal. 1985. Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. New York: Verso.
Mouffe, Chantal. 2000. The Democratic Paradox. New York: Verso.
Mouffe, Chantal & Holdengraber, Paul. “Radical Democracy: Modern or Postmodern?” dalam Social Text No.21 (1989):hlm.31-45. Duke University Press.