Tahun 2011-2013 merupakan proses transisi sebagian negara Arab dari otoritarianisme menuju cita-cita demokrasi, yaitu kebebasan dan sublimasi pemerintahan yang dilaksanakan secara terbuka dan khidmat. Pemilihan Majelis Konstituante, pemilihan Parlemen hingga Presiden berjalan tanpa hambatan.
Perjuangan rakyat di alun-alun ibu kota saat revolusi terbayar melalui fajar baru haluan negara yang terbuka. Negara Arab yang berhasil mewujudkan prinsip demokrasi saat itu adalah Mesir dan Tunisia.
Jalannya proses demokratisasi sesuai harapan. Ratusan partai baru dengan afiliasi politiknya mengambil posisi dalam memperebutkan tampuk kekuasaan. Aktor-aktor lama rezim sebelumnya absen total pada proses awal demokratisasi karena rakyat menghendaki hadirnya aktor baru yang mampu mengakomodir tuntutan demonstran yang telah mengorbankan nyawa untuk kepentingan bangsa.
Pengorbanan demonstran itu terbayar dengan bangkitnya elemen agama melalui proses sah dipilih langsung oleh rakyat. Apakah ini adalah takdir atau bukan, yang jelas kebangkitan islamisme disertai dengan kemenangan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) sayap kanan Ikhwan al-Muslimin dan Partai Kebangkitan (al-Nahdhah).
Kemenangan telak tersebut sebenarnya adalah suatu anomali. Sebab saat revolusi terjadi, kelompok agama tidak mengambil panggung atau sebagai motor penggerak berlangsungnya revolusi. Sebaliknya, isu seputar agama hanya sesekali disinggung di media-media lokal.
Selain itu, arus utama harapan demonstran lebih dekat dengan sekularisme, yaitu pemerataan ekonomi, kebebasan berekspresi, dan bahkan masyarakat menyebut agama tidak perlu terlibat dalam urusan politik negara.
Namun proses demokratisasi di luar perkiraan. Banyak analis yang menduga kelompok sekuler akan kembali mengendalikan roda pemerintahan. Sebaliknya, aktor islamis yang berada di balik layar menang telak, memegang kendali penuh roda pemerintahan sementara.
Kebangkitan kelompok Islam dan transisi demokrasi di Mesir dan Tunisia merupakan fenomena baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun berlangsung hanya dua tahun, fenomena ini dapat dijadikan tolok ukur sejauh mana demokrasi dan islamisme dapat bersinergi dan beriringan.
Perihal bagaimana hubungan Islam dan demokrasi telah banyak dikupas para sarjanawan. Sebut saja Asef Bayat yang berbicara tentang Post-Islamisme, suatu usaha melihat pertalian demokrasi dan Islam. Begitu juga dengan analisis John L. Esposito dan Tamara Sonn yang mengklaim bahwa dalam Islam terkandung prinsip demokrasi berupa kesetaraan hak dan musyawarah mufakat dalam menentukan setiap keputusan.
Menurut saya, paradigma relasional antara Islam dan demokrasi tergantung kondisi sosial dan politik suatu negara. Sebut saja Indonesia yang lebih dulu menikmati demokrasi. Sementara di Mesir dan Tunisia adalah dua negara yang kental dengan nuansa gerakan kelompok islamis. Bahkan gerakan ini lebih dekat dengan fundamentalisme dan puritan, sehingga hubungan Islam dan demokrasi masih sulit dipertemukan.
Kaitannya dengan kebangkitan kelompok islamis pada proses demokratisasi di Mesir dan Tunisia menjadi pertanyaan mendasar apakah islamisme dan demokrasi dapat bersinergi mengingat dalam sistem pemerintahan antara Islam dan demokrasi bertolak belakang, serta bagaimana kelompok islamis merespon diskursus tersebut.
Perjalanan Intelektual Ghannouchi
Secara intelektual, pemikiran Ghannouchi dipengaruhi oleh doktrin Nasserisme, yaitu sebuah gagasan Sosialis Arab Mesir yang dipopulerkan oleh Gamal Abdul Nasser antara tahun 1952-1970.
Sebenarnya proyeksi Nasserimse tidak jauh berbeda dengan gagasan Hassan al-Banna (1906-1949) pendiri Ikhwan al-Muslimin yang berupaya menghapus feodalisme, melakukan redistribusi kekayaan, dan menghapus partai politik yang menurutnya korup dan feodal. Bukan hanya itu saja, proyek dasar Nasser tentang persatuan Arab pun sebenarnya adalah ide dasar dari Hassan al-Banna.
Doktrin Pan-Arabisme yang dipuja Ghannouchi tidak seperti bayangannya. Jargon Nasserisme tentang ambisi kemajuan, solidaritas Arab, terciptanya kesetaraan dan keadilan tak tampak sedikitpun di Mesir (embrio pemikiran itu). Pidato Nasser yang lantang membela kesatuan Arab hanya slogan kosong, propaganda yang tidak sesuai dengan realitas masyarakat yang dilihatnya langsung di jalan-jalan Mesir, masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan elite rezim kuasa yang bergelimang harta jauh dari nilai Nasserisme yang diidolakan bangsa Arab.
Ghannouchi mengubah alur pikirnya setelah dipertemukan dengan doktin Ba’atisme yang dipelopori oleh Michael Aflak dan Salahuddin al-Bittar di Damaskus sekitar tahun 1940-1941. Ideologi dasar dari Ba’atisme (kebangkitan) adalah sintesis dari analisis Marxis tentang masyarakat melalui pendekatan Pan-Arab untuk mengatasi masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Sebenarnya ideologi Nasserisme dan Ba’atisme tidak berbeda jauh. Keduanya sama-sama berupaya menyatukan bangsa Arab sebagai kekuatan utuh dan unggul. Sebab pasca-runtuhnya Turki Utsmani, praksis kekuatan politik yang tadinya terpusat di bawah kendali kekaisaran Utsmani terpecah dengan invasi Barat.
Selain berbenturan dengan doktrin Nasserisme dan Ba’atisme, Ghannouchi tertarik mendalami politik Islam dan peradaban. Tercatat beberapa kali bertemu dengan Adib Shalih, Syaikh al-Buti, Wahbah Zuhaili, dan tokoh yang kelak menentukan pendirian politiknya, yaitu Mustafa Siba’i pendiri Ikhwan al-Muslimin di Suriah yang berpandangan bahwa pembebasan Palestina hanya akan terjadi ketika Islam diadopsi sebagai cara hidup. Bahkan dua tahun menjelang akhir pendidikannya di Damaskus, Ghannouchi membaca karya-karya Muhammad Iqbal, Maududi, Muhammad Qutb, al-Banna, dan al-Nadwi.
Ghannouchi tentang Islamisme dan Demokrasi
Pengaruh ideologi Nasserisme, Ba’atisme, dan Islamisme secara tidak langsung telah membentuk karakter dan cara pandang Ghannauchi, terutama tentang ideologi negara. Meskipun disinyalir terpengaruh dengan pemahaman Sayyid Qutb dan Maududi, pandangan itu berubah saat mempelajari pemikiran Malik Bennabi, antitesis dari pemikiran Sayyid Qutb.
Kritikan pedas Bennabi terhadap Qutb terutama terkait tentang peradaban. Menurutnya, peradaban adalah transformasi ide yang baik dan menjadi kenyataan. Islam adalah seperangkat pedoman, cara hidup, atau proyek yang menciptakan peradaban hanya ketika dipraktikkan, ketika penganutnya membawanya bergerak memengaruhi manusia, materi, dan waktu.
Bennabi meyakini bahwa seorang Muslim mungkin tidak beradab sebagaimana non-Muslim dapat beradab. Sebaliknya, Qutb bersikeras bahwa keadaban adalah sinonim dari Islam, bahwa seorang Muslim beradab sedangkan non-Muslim tidak.
Beragam pemikiran yang dipelajari Ghannouchi dan dinamika sosio-politik di negara-negara Arab turut mengubah jalan pikirannya. Dia tidak lagi terbelenggu dengan doktrin islamisme ala Sayyid Qutb, Mududi, Hassan al-Banna, dan Bennabi atau doktrin Pan-Arabisme yang hanya sebagai alat politik, melainkan merangkai semua pemikiran itu menjadi cara pandang progresif dalam melihat realitas itu sendiri.
Cara pandang progresif yang dimaksud adalah ketika Ghannocuhi, pemimpin partai al-Nahdhah yang berhaluan Islam, mendapat mandat rakyat memegang kendali pemerintahan pasca revolusi Yasmin. Dia lantas tak mengubah haluan negara dominan Islam, namun mempertimbangkan demokrasi sebagai harapan rakyat dan Islam sebagai identitas. Keduanya dapat berjalan harmonis mewujudkan kemakmuran, kesetaraan, dan tentunya kebebasan.
Kebebasan dalam Islam menurut Ghannouchi ditetapkan dalam tujuan syariat sebagai realisasi dari kepentingan utama manusia. Kepentingan itu terangkum dalam konsep tentang kebutuhan pokok (dharuriyat) yang menjamin semua kebutuhan manusia dan menjadi kerangka umum hak asasi manusia, termasuk kebebasan dalam berkeyakinan, hak hidup, dan kebebasan dalam berekspresi.