Ada hal yang menarik ketika berlangsung kelas hermeneutika di kampusku beberapa waktu yang lalu. Di mana, dosen pengampu mata kuliah yang kuambil tersebut memberikan tantangan kepada mahasiswanya, termasuk aku, untuk menulis sebuah artikel terkait hermeneutika sebagai tugas pengganti ujian tengah semester (UTS).

Lha, cuma membuat artikel saja, terus menariknya di mana? Ettt… tunggu dulu. Jangan langsung ambil kesimpulan begitu saja. Perintah dosenku tadi tak hanya sebatas membuat artikel lalu selesai dan dapat nilai begitu saja. Tidak semudah itu, Ferguso!

Selain membuat artikel terkait hermeneutika, beliau memberikan tantangan kepada mahasiswanya untuk mengirim artikel ke salah satu media yang bernama “QURETA”. Beliau berkata “jika ada di antara kalian (mahasiswa) yang tulisannya terbit di Qureta, maka saya jamin di akhir semester, kalian akan mendapat nilai A”.

Hampir sebagian besar mahasiswa di kelasku merasa asing ketika mendengar kata “Qureta”, karena ya begitulah kebanyakan mahasiswa di kampusku bisa dikatakan pasif soal membaca, apalagi menulis, sehingga banyak yang kurang tahu hal-hal demikian.

Tapi, yang ada dalam benakku ketika mendengar kata "Qureta" sih biasa saja, sebab aku juga pernah mengirim tulisanku ke sana sekitar empat kali tapi tidak ada yang terbit, hahaha wajar sih. "Wong tulisannya belum layak kok."

Selain itu, ada juga salah satu di antara teman ku berinisial “Y” yang sudah dua kali tulisannya terbit di Qureta. Wajar juga sih, dia memang punya bakat menulis sejak lama.

Sebenarnya aku tertantang dengan tawaran dosenku ini. Jarang-jarang ada dosen yang menawarkan kesempatan  mendapat nilai seperti itu. Biasanya sih, kebanyakan dosen memberikan ujian tertulis kepada mahasiswanya ketika ujian tengah semester. Tapi, yang kali ini sedikit berbeda.

Sedikit kuperkenalkan kepada pembaca. Beliau ini adalah seorang magister muda alias fresh graduate di salah satu kampus di Yogyakarta. Di kelasku ia mengampu mata kuliah hermeneutika. Beliau juga selalu mengajak mahasiswanya untuk menggiati literasi dan mengasah keterampilan menulis. Jargon yang ia pakai pun cukup unik yakni “menulis adalah jalan ninjaku”.

Singkat cerita, akhirnya aku menulis sebuah artikel pendek mengenai hermeneutika dan aku kirim kepada penerbit pada hari Kamis, 07 November dan malamnya tulisanku diterbitkan oleh pihak Qureta. Terimakasih Qureta, karenamu nilai A sudah di depan mata.

Ini link tulisannya: Hermes dalam Hermeneutika

Aku menyadari pasti ada sesuatu di balik tantangan yang dosenku berikan ini. Pada akhirnya, beliau menjelaskan mengapa ujian tengah semester pada mata kuliah ini sedikit berbeda dengan metode yang dosen-dosen lain berikan.

Beliau berkata: “menulis adalah salah satu cara untuk kita menjaga dan mengabadikan sebuah teks. Dengan menulis kita akan mampu mengenang momen hari ini ketika lima, sepuluh dan puluhan tahun yang akan datang”.

Aku setuju dengan pendapatnya, karena tulisan adalah saksi di masa depan yang mampu berbicara menjelaskan peristiwa yang kita tulis hari ini atau pun di masa lalu. Tulisan (teks) memang benda mati tapi sebenarnya ia hidup dan mampu berbicara walaupun tanpa suara.

Kebetulan tema perkuliahan di hari itu berjudul “Kaitan antara Penulis, Teks, dan Pembaca”. Penulis adalah mereka yang berusaha menuangkan isi kepalanya menjadi sebuah teks, sedangkan pembaca adalah mereka yang akan memahami sebuah teks dari si penulis dan teks sendiri adalah hasil dari pemikiran penulis yang menghubungkan antara si penulis dengan si pembaca.

Tapi, perlu kita garis bawahi, bahwa tulisan tanpa pelestarian sama saja tidak ada artinya. Kita menulis pada suatu kertas tapi tulisan kita tidak kita jaga, kita biarkan ia begitu saja tanpa merawatnya dan menjaganya. Seandainya tulisan tersebut rusak dan tidak dapat dibaca atau bahkan hilang entah ke mana, sama saja tiada artinya.

Beruntung di era digital seperti sekarang ini, kita tak perlu bersusah payah untuk melestarikan sebuah teks (tulisan). Semua orang cukup menekan CTRL+S saja dan otomatis dokumen kita yang kita tulis akan tersimpan.

Di samping itu, banyak pula media yang bersedia menerbitkan tulisan kita (jika diterima dan sesuai kebutuhan ). Salah satunya Qureta. Qureta merupakan media yang mengembangkan dan merawat tradisi literasi di Indonesia. Qureta adalah tempat yang pas untuk melampiaskan isi hati dan isi kepala (ide, cerita, serta pengalaman) kita, agar dapat di baca oleh khalayak ramai.

Jelasnya, Qureta bukan hanya sebatas itu, Qureta bukan hanya sekedar tempat untuk berbagi ide atau gagasan dan sebagainya. Qureta telah menjadi bagian nyata dari penjaga dan pelestari sebuah teks agar tetap abadi dan dikenang.

So, menulis lah jika ingin memiliki kenangan di masa depan, dan lestarikanlah tulisan tersebut apabila ingin tetap mengenang.