Bertepatan dengan Hari Raya Tri Suci Waisak kemarin, jagat media sosial ramai oleh video klarifikasi Felicia Tissue yang berjudul The Revelation. Dalam video berdurasi 9 menit itu, mantan kekasih putra bungsu Presiden Jokowi menceritakan kronologi putusnya jalinan kasih keduanya. Seperti polarisasi usang Cebong-Kampret, dalam urusan percintaan anak presiden dengan gadis sederhana (mengutip klaim Felicia di akun YouTube-nya) itu warganet pun terpecah jadi dua kubu. Video klarifikasi Felicia itu sejatinya ditujukan untuk kelompok yang merisak habis-habisan ia dan keluarganya. Meskipun layak dan perlu juga disimak oleh kelompok yang punya simpati mendalam terhadap apa yang dialami Felicia.

Salah satu narasi yang santer dilancarkan kelompok perisak ialah Felicia Tissue mungkin tidak akan membuat video klarifikasi jika mantan kekasihnya bukan anak presiden alias laki-laki biasa saja. Maka, munculnya video klarifikasi itu dicurigai sebagai langkah Felicia mendapatkan panggung atau atensi publik. Tudingan yang demikian memang wajar terlontar dari warganet Indonesia yang karakternya sungguh beragam. Sebaliknya, menurut saya, tak menutup kemungkinan Felicia akan tetap membuat klarifikasi saat ia diabaikan begitu saja (di-ghosting) oleh laki-laki biasa.

Sebagai perempuan, Felicia sadar betul perlu berbicara kepada publik tentang apa yang menimpanya. Alih-alih bertujuan cari panggung untuk dirinya sendiri, sebagai korban ia sedang berjuang bangkit dan melakukan penerimaan diri setelah dihempaskan. Kalau akrab dengan istilah Psikologi Self Healing, tentu publik paham betul betapa besar artinya klarifikasi itu bagi Felicia. Selain itu, apa yang dilakukan Felicia bukan tidak mungkin memicu para perempuan dan/atau laki-laki korban ghosting di luar sana untuk berani menerima diri dan menciptakan kekuatan sosial sebagai barisan patah hati yang berdikari dan punya konstribusi positif untuk Indonesia sehat dan tahan banting. Karakter yang demikian sungguh dibutuhkan untuk menghadapi ragam masalah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ghosting, Tindakan Tak Pancasilais

Berbicara di hadapan publik ketika segala daya untuk mendapat respons dari keluarga pelaku ghosting sudah diupayakan tapi hasilnya nihil ialah sikap yang tepat. Dalam konteks Felicia, ia melakukannya lebih-lebih karena kisah asmaranya dengan Kaesang Pangarep kadung menyedot begitu banyak atensi publik media sosial. Lebih-lebih, tak sedikit warganet yang menyerang ia dan keluarganya dengan komentar-komentar menyakitkan, termasuk menyeret isu suku, ras, agama, dan status kewarganegaraannya.

Sementara itu, yang tak kalah menarik bagi saya ialah quotes Gus Dur yang sempat disebut Felicia dalam video klarifikasinya. “Pancasila dan konstitusi begitu mudah diucapkan oleh para elite dan penguasa, namun mengapa mereka begitu sulit melaksanakannya.” Pilihan Felicia mengutip kalimat Gus Dur itu menghadapkan penyimak dengan momentum reflektif. Tahun-tahun belakangan, praktik oligarki semakin terang-terangan mengebiri Pancasila dan konstitusi. Saat praktik korupsi yang melibatkan para elite sedang gencar dibongkar KPK, lembaga antirasuah itu justru terang-terangan dilemahkan dengan cara keji. Seperti kalimat Gus Dur, para pemegang kendali negara ini hampir setiap saat mengaku sebagai seorang Pancasilais yang memutuskan kebijakan publik selaras dengan konstitusi. Tapi, tindakannya menunjukkan hal lain.

Jika ditarik ke level yang lebih dekat dan substansial, sejatinya implementasi nilai-nilai Pancasila dan konstitusi itu bertumpu pada praktik personal. Jika setiap individu yang menduduki tampuk jabatan di pemerintahan teguh mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya, maka praktik culas dan korup tidak mungkin terjadi.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan kasus ghosting Kaesang terhadap Felicia, kita rasanya sepakat bahwa tindakan yang dilakukan Kaesang dengan memutus komunikasi secara sepihak, termasuk ketiadaan respons dari pihak keluarga untuk menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan jelas tak selaras dengan sila-sila dalam Pancasila. Ghosting jelas bukan tindakan memanusiakan manusia secara adil dan beradab. Selain itu, juga tak menunjukkan upaya persatuan atau kerukunan antarsesama, tak ada musyawarah untuk mufakat, hingga ujungnya jelas tak adil bagi korban.

Etika Pergaulan

Ungkapan Felicia yang jadi perhatian khusus selanjutnya bagi saya yakni menyoal etika. “Ini bukan masalah jodoh atau tidak berjodoh, tapi etika,” ujarnya. Saya rasa bukan hanya Felicia, perempuan dan/atau laki-laki manapun yang menjadi korban ghosting akan sepakat dengan kalimat itu. Putus asmara itu hal biasa, apalagi jika belum terikat janji sakral perkawinan. Namun, pemutusan hubungan dengan cara baik-baik tentu dilebih diterima dan dibenarkan dalam etika pergaulan sosial, bahkan juga oleh agama.

John Gray, pakar Amerika kontemporer mengemukakan perbedaan laki-laki dan perempuan dalam bukunya, Men are from Mars, Women are from Venus. “Lelaki cenderung masuk ke gua-nya, yakni menyendiri bila mengalami stres, sedangkan perempuan semakin bingung dan terlibat secara emosional. Dalam situasi demikian, kebutuhan lelaki akan rasa nyaman berbeda dengan kebutuhan perempuan. Lelaki merasa lebih baik dengan menyendiri untuk memecahkan persoalan, sedangkan perempuan merasa lebih nyaman dengan berkumpul bersama dan secara terbuka membicarakan kesulitan yang dihadapi”.

Apa yang dikatakan John Gray dalam satu dan sekian kasus benar adanya. Menyendiri untuk mencari jalan keluar masalah tak jadi soal asal laki-laki yang bersangkutan mengkomunikasikan dengan pasangannya terlebih dahulu. Pada hubungan yang sehat, baik laki-laki maupun perempuan pasti sadar betul penting untuk menyediakan ruang hening bagi pasangannya. Jadi, menghilang dengan aba-aba dibenarkan dalam sebuah hubungan. Dengan demikian, kedua belah pihak tak ada yang dirugikan. Laki-laki mendapat ruang sendiri untuk merenungkan masalahnya, sementara perempuan bisa fokus melakukan aktivitas produktifnya tanpa overthinking tentang hubungannya dengan sang kekasih.

Meski tidak paham betul apa dampak buruk ghosting yang menimpa Felicia karena atensi publik yang begitu riuh, saya menaruh simpati dan mafhum kepadanya. Saya paham bagaimana sakitnya menjadi korban ghosting lantaran sempat mengalaminya. Kejadian bisa saja berlangsung bertahun-tahun silam, namun efeknya tetap abadi hingga kini dan nanti-nanti. Kepercayaan diri, keteguhan sikap, optimisme menjelang masa depan bisa runtuh dalam sekejap karena persoalan cinta yang kadung mendalam. Tak peduli sebanyak apapun pengetahuan seseorang terhadap dunia dan relasi laki-laki perempuan. Bicara cinta, logika seringkali berdiri di belakang perasaan, terlebih bagi perempuan dengan fitrahnya sebagai sosok yang lembut dan penuh welas asih.

“Laki-laki melakukan lebih banyak daripada apa yang dilakukan perempuan, sedangkan perempuan melakukan lebih banyak daripada apa yang berani dilakukan laki-laki,”  tulis cendekiawan muslim M. Quraish Shihab dalam bukunya, Perempuan (Lentera Hati, 2018).  Saya sepakat dengan Abi Quraish.