Kabupaten Situbondo merupakan satu di antara empat kabupaten di Jawa Timur yang menyandang predikat sebagai daerah tertinggal. Tingkat kemiskinan Situbondo pada tahun 2017 berada di angka 13.05%, turun sebesar 0.29% dibandingkan tahun 2016 yang besarnya 13.34%.

Namun, jika dibandingkan dengan Provinsi Jawa Timur yang berada di angka 11.20% atau Nasional yang berada di angka 10.12%, angka ini masih cukup tinggi. Artinya, Kabupaten Situbondo masih perlu melakukan berbagai upaya untuk menurunkan angka kemiskinan di daerah.

Lalu muncul pertanyaan, apakah angka-angka di atas bisa diketahui by name by address-nya? Jawabannya tidak, karena data yang disajikan tersebut merupakan data kemiskinan makro. Data tersebut berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

Selain Susenas, digunakan juga survei Paket Kebutuhan Dasar (SPKKD) sebagai informasi tambahan yang dipakai untuk memperkirakan proporsi pengeluaran masing-masing komoditi pokok non-makanan. Indikator yang dihasilkan, di antaranya adalah persentase penduduk miskin, yaitu persentase penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan, jumlah penduduk miskin, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan.

Publik bertanya kembali, apakah setiap program bantuan sosial dan perlindungan sosial yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat miskin berasal dari data tersebut? Jawabannya juga tidak.

Data yang digunakan pemerintah untuk program bantuan sosial dan perlindungan sosial adalah data kemiskinan mikro yang biasa disebut dengan Basis Data Terpadu (BDT). Dalam memperoleh BDT, pendekatan yang digunakan adalah sensus, yang dimaksudkan untuk memperoleh data jumlah penduduk dengan pemeringkatan kesejahteraan dalam desil 1 sampai dengan 4.

Data ini kemudian digunakan sebagai rujukan dalam penetapan sasaran karena dapat mengidentifikasi data nama Kepala Keluarga/Rumah tangga beserta alamat tempat tinggalnya (by name by address). 

Penanganan Kemiskinan

BDT merupakan satu-satunya data yang diamanatkan Undang-Undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin sebagai dasar bagi pemerintah dalam memberikan bantuan dan/atau pemberdayaan (pasal 11 ayat 2). Misalnya, dalam penentuan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Bansos Rastra, basis data yang dijadikan dasar adalah BDT.

Jika terdapat KPM yang meninggal (seluruh anggota keluarganya), tidak ditemukan, mampu, pindah domisili atau menolak Bansos Rastra, dapat diganti keluarga lain. Namun, penggantinya tersebut adalah keluarga yang namanya tercantum dalam BDT, bukan nama lain yang berada di luar BDT.

Begitu pun dengan Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Sehat melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS), Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), atau program-program lain yang bersumber dari APBN/APBD. Semuanya harus berpedoman pada BDT yang ditetapkan oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia.

Pertanyaan berikutnya yang sering muncul di tengah masyarakat adalah apakah data-data tersebut sudah bisa dipastikan valid? Jawabannya belum. Lalu bagaimana jika data-data tersebut belum bisa dikatakan valid?

UU No. 13/2011 memberikan peluang yang cukup luas kepada pemerintah daerah untuk melakukan verifikasi dan validasi data dengan memfungsikan potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan, atau desa. Baik itu BDT ataupun data-data lain yang dianggap masih belum valid. Kesempatan memperbaiki tersebut oleh undang-undang diberikan peluang selama 2 kali dalam satu tahun.

Artinya, jika amanat undang-undang tersebut benar dilakukan oleh Pemerintah Daerah/Desa sesuai dengan aturan yang berlaku, semestinya tidak ada lagi kesimpangsiuran pemahaman data antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau antara OPD yang satu dengan OPD yang lain. Pun begitu UU No. 13 tahun 2011 tidak hanya hadir sebagai aturan yang berisi konsep ideal tanpa instrumen yang memadai.

Melalui regulasi turunannya, disediakan teknologi informasi yang tersedia secara offline maupun online yang prinsipnya mempermudah Pemerintah Daerah/Desa dalam menverifikasi dan validasi data, yaitu Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation (SIKS-NG). Sistem ini dapat dioperasikan oleh siapa pun yang terpenting bisa baca dan tulis. Karena pengoperasiannya sangat sederhana, mudah, dan praktis.

Sementara jika terdapat keluhan-keluhan dalam pelaksanaan program-program di atas, sudah pula disediakan Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) yang bertempat di Dinas Sosial Kabupaten Situbondo dengan pelayanan sepenuh hati.

Program Perlindungan Sosial

Dengan adanya fasilitas-fasilitas di atas, seharusnya sudah tidak perlu lagi terjadi perdebatan soal data kemiskinan yang berujung pada terbengkalainya up date Data Penerima Manfaat.

Berikutnya yang perlu diperhatikan oleh daerah/desa bukan lagi data mana yang valid dan mana yang tidak valid, melainkan sudah harus bergeser pada penanganan kemiskinan dengan memunculkan program yang dapat menurunkan angka kemiskinan.

Kalau menilik Fokus Arah Kebijakan Rancangan RKPD Kabupaten Situbondo tahun 2019 yang dibahas dalam Musrenbang (15/3), prioritas pengurangan kemiskinan belum menunjukkan kondisi yang substantif. Di antaranya adalah RTLH, Jambanisasi, Jalin Mitra Pola Mandiri, Peningkatan Perekonomian Masyarakat, Pemberdayaan Masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian Sumber Mata Air (SMA), Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).

Lanjut, Pengembangan dan Pembinaan Pasar Desa, Fasilitas Permodalan bagi usaha Mikro Kecil dan Menengah di Perdesaan, Optimalisasi Pengurus Hippam, Pelatihan Keterampilan Industri Kerajinan, dan Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi di Wilayah Terpencil. 11 Program tersebut belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat miskin, seperti kebutuhan pangan, kesehatan, ataupun pendidikan.

Jika Pemerintah Daerah tidak membuat program yang secara langsung dapat dirasakan masyarakat miskin, angka kemiskinan akan tetap tinggi. Dan nampaknya, di tahun 2019, Pemerintah Kabupaten Situbondo lebih menitikberatkan pada pengembangan kawasan wisata.

Sementara di sisi lain, Indeks Gini Rasio sejak tahun 2012 sampai 2016 selalu mengalami kenaikan yang cukup signifikan, bermula dari angka 0.27 meningkat menjadi 0.35. Kondisi ini menandakan masih beratnya penderitaan yang dihadapi setiap hari oleh ribuan masyarakat Situbondo.

Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin masih terlihat cukup lebar. Kesenjangan yang semakin besar akan menimbulkan kecemburuan, meningkatkan ketidakpercayaan, baik secara vertikal maupun horizontal yang berpotensi terjadinya ledakan sosial.

Dalam kondisi seperti ini, Pemerintah Daerah dan Desa harus segera mengambil langkah dengan menyusun program-program yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan di daerah. Tentunya, peran-serta Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Situbondo juga harus lebih optimal dalam melindungi penanganan kemiskinan dengan mempercepat pengesahan Raperda Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang sejak 2017 mengalami nasib tidak jelas.