Lumrah diketahui bahwa praktik poligami telah hadir sebelum Islam datang. Praktik ini liar dan cenderung merugikan perempuan. 

Di masa itu (baca: jahiliyah), perempuan tidak ubahnya seperti barang yang bisa dimiliki, dibeli, dan dijual, berapa pun jumlahnya. Konon disebutkan bahwa anak dapat mewarisi, yakni menikahi istri ayahnya jika sang ayah telah meninggal (merdeka).

Parahnya, perempuan kala itu bahkan dianggap aib yang harus disembunyikan atau bahkan dilenyapkan.

Alquran menceritakan bahwa orang-orang jahiliyah itu, “apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”

Lalu “ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?” Dan Allah berkata, “Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (Al-Nahl: 57-59).

Kurang lebih begitulah keadaan perempuan pra-Islam. Keadaan ini tidak serta-merta hilang ketika Islam datang. Layaknya firman yang turun berangsur-angsur, perubahan perilaku masyarakat, pemberlakuan hukum, dan tentunya nasib perempuan berjalan perlahan menuju arah yang lebih baik. Pelan tapi pasti, derajat perempuan pun kian terangkat.

Sekarang ini, bahkan beratus tahun lalu lamanya, umat Islam telah meyakini bahwa yang membedakan kemuliaan manusia di mata Allah hanyalah takwa; bukan suku atau bangsa, terlebih jenis kelaminnya. Hanya saja, ada banyak sekali praktik yang dirasa masih diselimuti oleh kejahiliyahan. Dan poligami boleh jadi salah satunya.

Isu yang banyak dibicarakan sekarang ini memang patut dikritisi. Pasalnya, pembahasan poligami selalu saja mengedepankan tafsir laki-laki dibanding sekadar melibatkan perempuan di dalamnya. Artinya, di sini perempuan masih terkesan sebagai objek di mana kaum lelaki kerap mengeksploitasinya.

Ketika isu itu dilempar ke publik, wajah politisi, pakar, dan orang-orang yang terkesan mendukung poligami hanyalah kaum laki-laki. Barulah setelahnya perempuan angkat bicara. Sebagaimana laki-laki, perempuan ternyata juga terbagi dua: ada yang pro, ada pula yang kontra.

Narasi pro-kontra poligami masih saja menyuguhkan tema lama. Bagi yang pro, poligami dianggap sebagai solusi atas maraknya nikah siri dan zina. Kata kuncinya, kata mereka, asal lelaki mampu berlaku adil. Sebaliknya, yang kontra juga masih sekadar mempertanyakan, apa iya lelaki mampu berlaku adil?

Mereka luput dari hal yang paling mendasar, yakni makna pernikahan sebagai mitsaqan ghalidhzan, tujuan pernikahan agar terwujudnya sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta posisi perempuan sebagai subjek sekaligus korban dari praktik poligami.

Itu sebabnya, adalah penting untuk terus mempelajari Islam hingga kita mampu menangkap spirit yang dibawanya. Terhadap poligami ini, tidak diragukan lagi bahwa spirit Islam adalah monogami. Hanya saja, meninggalkan praktik poligami begitu saja terkadang malah menimbulkan masalah baru.

Meski tulisan ini mendukung monogami, penulis tidak pula sampai mengharamkan apa yang boleh menurut Alquran. Dengan segala keterbatasan bacaan, sukar dibantah dari sisi hukum bahwa poligami adalah kebolehan (mubah/al-ibahah). Hanya saja, ada beberapa catatan terhadap praktik dan pengaturan poligami dalam Qanun yang perlu dipikir ulang.

Pertama, kita sering menganggap bahwa menolak poligami berarti mendukung zina atau setidaknya nikah siri. Padahal, lawan poligami adalah monogami. Sehingga yang tepat, yakni yang menolak poligami adalah mereka yang lebih setuju terhadap monogami. Dan Nabi (sebagai contoh) menolak anaknya dipoligami.

Kedua, meletakkan syarat boleh poligami jika istri tidak menjalankan kewajiban sebagaimana diatur dalam Qanun, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 48 Ayat (1)) benar-benar menghina perempuan.

Di sini, perempuan benar-benar diposisikan layaknya barang yang jika tidak bermanfaat, tidak memberi hasil, atau rusak, boleh dicari barang lain yang dapat menjalankan semua fungsi itu. Parahnya, satu saja dari syarat itu sudah cukup untuk berpoligami.

Padahal, perkembangan hukum mengantarkan kita pada prinsip equality di mana laki-laki dan perempuan harus dipandang sama. Qanun Jinayah Aceh sudah memulai prinsip ini dengan menjadikan kesaksian perempuan setara dengan kesaksian laki-laki. Harusnya, dalam persoalan keperdataan semacam ini, penyetaraan itu lebih mungkin lagi dilakukan.

Idealnya, karena istri yang merasakan langsung dampak poligami, maka persetujuannyalah yang menjadi syarat utama, bukan keadaan fisiknya. Setelah itu, barulah pihak lain, seperti anak, dapat pula memberi pertimbangan sesuai aturan. Dan persetujuan mestinya cukup, tidak perlu ada syarat lainnya.

Sederhananya begini, jika istri tidak setuju, anggaplah ia tidak bisa melahirkan, apakah mungkin tujuan pernikahan itu tercapai? Yang ada, lelaki malah berdosa karena membiarkan luka perasaan istrinya.

Beda halnya jika istri setuju. Anggaplah istrinya baik, salihahdapat melahirkan, dan tidak ada cacat fisik, namun ia setuju bahkan merekomendasikan suaminya berpoligami, adalah logis rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah itu terwujud.

Terakhir, Qanun ini juga merusak tatanan hukum. Selain mengatur ulang apa yang telah ada aturannya, Qanun ini juga merusak pola penghukuman yang sudah berlaku konsisten dan ditujukan demi keadilan dan keseimbangan antara satu bentuk sanksi dengan bentuk lainnya.

Qanun ini menyamakan sanksi bagi pelanggar Pasal 8, 16, 57, 93, 101, 106, 107, 108, 109, dan 110 dengan denda paling rendah 15 gram emas murni 24 karat dengan serendah-rendahnya 10 cambukan atau setinggi-tingginya 25 kali cambukan. Padahal, 10 gram emas murni disetarakan dengan 1 kali cambukan di Aceh.

Terakhir, persoalan poligami ini bisa kita tarik garis lurus dengan meletakkan Islam dan jahiliyah di ujung garisnya. Adapun nikah empat sebagai pembatas (garis tengah), artinya, jika melebihi empat, maka kita menjadi atau makin jahiliyah. Maka makin kecil dari angka empat harus dipahami sebagai paling Islami. 

Rumus tersebut sejatinya dimodifikasi dari usulannya al-Qarafi.