Kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan Kepala Kadiv Propam Fredy Sambo, Putri Candrawati, Bharada Eliezer, Brigadir Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf telah mencapai babak final dimana pengadilan negeri Jakarta selatan yang telah memvonis masing-masing terdakwa.
Salah satu yang menjadi perhatian publik yakni vonis yang didapatkan Bharada Eliezer yakni satu tahun enam bulan penjara jauh lebih ringan dengan apa yang dituntut oleh jaksa penuntut umum yaitu dua belas tahun penjara. Berbanding terbalik dengan Bharada Eliezer, vonis yang didapatkan keempat terdakwa lainya lebih berat dari apa yang dituntut oleh jaksa penuntut umum.
Putusan Hakim dengan memvonis satu tahun enam bulan terhadap terdakwa Bharada Eliezer tidak terlepas dari peranya sebagai justice collaborator. yang mana terdakwa mengakui kejahatannya dan bersedia memberikan keterangan sebagai saksi pelaku di persidangan guna membantu aparat penegak hukum untuk membuktikan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Adapun menurut penulis terlepas dari peran terdakwa sebagai justice collaborator sehingga vonis yang dijatuhkan oleh Hakim bisa dikatakan lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum, peran media massa yang secara masiv memberitakan dan menyoroti berkaitan dengan kasus tindak pidana pembunuhan sehingga membentuk opini publik di dalam masyarakat berkaitan bahwa terdakwa Bharada Eliezer adalah “pahlawan” dalam perkara aquo.
Menurut penulis, hal ini yang mempengaruhi ranah penegakan hukum pada kasus aquo. Pertama, Hakim yang mempunyai kewenangan dalam memutus setiap perkara tindak pidana, bisa saja terpengaruh dengan pemberitaan yang ada di media massa terkait dengan perkara tindak pidana pembunuhan Yosua Nofriansyah hutabarat yang mereka tangani.
Kedua, Hakim bisa terpengaruh pemberitaan yang menjadi opini publik di masyarakat yang bisa mengganggu netralitas dan independensi hakim sebagai aparat penegak hukum. Akibatnya akan berdampak terhadap pengambilan keputusan untuk menetukan hasil putusan akhir perkara aquo.
Sehingga dalam tuntutan jaksa penuntut umum menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana merampas nyawa secara bersama-sama dan dituntut dengan pidana dua belas tahun penjara, namun hakim memutuskan terdakwa Bharada Eliezer divonis satu tahun enam bulan penjara.
Akan tetapi menurut penulis, meskipun peran terdakwa sebagai justice collaborator dan opini publik mendukung terdakwa agar dibebaskan atau diringankan hukumannya, akan tetapi itu tidak dapat menggugurkan kesalahan terdakwa. Sehingga penulis beranggapan hukuman yang diberikan tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
Sejalan dengan itu dalam hukum pidana sendiri perihal kejahatan dan hukuman harus bersesuaian. Model ini disebut pendekatan keadilan atau model Just desert (ganjaran setimpal) yang didasarkan atas dua teori (tujuan) pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution).
Dasar retribusi menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Juga dianggap bahwa sanksi yang tepat akan mencegah pra kriminal itu melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan juga mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.
Namun penulis apa yang dikatakan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, bahwa hukum adalah seni berinterpretasi (law is the art of interpretation), maka sebuah fakta itu netral tergantung siapa tergantung siapa yang membacanya. Karena itu dalam suatu kasus kita bisa mencari alasan yang meringankan atau alasan yang memberatkan terdakwa.
Maka jika hakim akhirnya menyimpulkan kesalahan terdakwa atas penggalian dari bukti dan fakta yang diperolehnya di persidangan, itulah putusan hakim dan putusan hakim itu harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) yang tidak bisa dipersalahkan,
kecuali lewat upaya hukum yang dimungkinkan menurut undang undang di tingkat banding, kasasi dan Peninjauan Kembali. Artinya berbagai ketidak keprofesionalitasan suatu putusan hakim hanya dapat dinilai oleh pengadilan tingkat di atasnya bukan pihak lain.
Adapun dalam perkara aquo. Putusan Hakim telah bersifat inkracht atau yang berkekuatan hukum tetap pada pengadilan negeri dan diterima oleh kedua belak pihak yang berperkara. Sehingga tidak dapat dilakukanyna upya hukum.
KESIMPULAN
Pada dasarnya hakim dalam penjatuhan putusan berdasarkan keadilan dan kepastian hukum . Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan teori apa yang dijadikan pijakan dalam menjatuhkan pidana.
Dalam menjalankan kebebasan dalam menjatuhkan pidana inilah hakim sebagai manusia dapat menggunakan daya tafsirnya untuk menentukan pidana bagi terdakwa, sehingga sangat jelas bahwa dalam pengambilan keputusan atau penjatuhan pidana, hakim dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Maka dari itu, hakim dalam menjatuhkan putusannya dapat mempertimbangkan berbagai macam faktor sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan yang mereka buat berkaitan dengan perkara yang mereka tangani.
Pemberitaan dari media massa dan opini publik bisa saja menjadi dua diantara faktor tersebut asalkan sesuai dengan kenyataan hukum yang terjadi dan sesuai dengan rasa keadilan dan kepsatian hukum , tanpa mengabaikan independensi dan kenetralan haki selaku pejabat negara dan aparat penegak hukum