…terpesona dengan bagian dalam gedung beserta isi produk yang dipajang…

1994

Kisaran bulan Juni tahun 1994, pas seru-serunya kompetisi olah raga populer sejagad raya, sepak bola Piala Dunia di Amerika Serikat, saya berkesempatan bertandang ke gedung Sarinah, Jakarta Pusat. 

Bukan jalan-jalan mejeng bergaya ala orang mau belanja ini dan itu, tapi memenuhi undangan tes wawancara kerja pada sebuah perusahaan nasional bereputasi internasional.

Dari kota terbesar kedua di Jawa Timur kemudian melangkah kaki meniti tangga-tangga gedung Sarinah di pusat Ibu Kota negara, tentu menjadi kenangan tak terlupakan.

Kala itu saya memandang gedung Sarinah sangatlah luar biasa. Sangat kokoh dan relatif paling tinggi, karena di sekitarnya belum terbangun gedung-gedung yang lebih tinggi.

Bisa dimaklumi, karena teknologi sipil gedung bertingkat di Indonesia sistem pasak beton puluhan meter menghujam tanah untuk pembangunan gedung bertingkat puluhan, baru mulai marak tengah tahun 1990-an.

Tak hanya terkesima dengan gagahnya gedung Sarinah saat itu, namun juga terpesona dengan bagian dalam gedung beserta isi produk yang dipajang. Saya memandang lapak-lapak dagangan yang tertata rapi dengan penjaga lapak, SPG yang terlihat disiplin, sigap dan ramah menjaga barang dagangan, menyambut calon pelanggan.

Beda memang pusat belanja di Ibu Kota dengan mal-malll di tempat saya berasal. Kesamaannya, dua-duanya gak bisa nawar pas belanja. Lihat-lihat, pegang-pegang barang jualan, sambil menyapa ramah Mbak-mbak SPG-nya sih, free.

Seharian saya mengikuti tes pekerjaan di gedung Sarinah. Sambil menunggu jeda, sesekali saya turun ke lantai pusat belanja, mencuci mata.

Tak membeli barang yang dipajang seisi lapak dan lantai-lantai di atasnya, saya malah keluar gedung, menemui seorang bapak penjual koran dan majalah, lalu saya membeli majalah Tempo edisi terakhir sebelum di-breidel, dicabut SIUPP-nya oleh pemerintah waktu itu.

Saya tidak menyangka majalah yang bermoto Enak Dibaca dan Perlu ini menjadi edisi terakhir kala itu. Saya membeli majalah Tempo di pelataran Sarinah, karena majalah itu memuat berita eksklusif tentang ulasan industri film-film panas buatan sineas nasional, yang marak tahun 1990-an.

Setelah waktu rehat ishoma, saya pun kembali lagi ke ruang wawancara kerja di lantai ke 8 kalo tidak salah, mengenggam majalah itu buat baca-baca, sambil menunggu panggilan tahap-tahap sesi wawancara di ruang tunggu.

Terasa keren, mendapat kesempatan tes wawancara kerja di gedung yang megah bersejarah, sambil menatap langit Jakarta dari ketinggian jendela.



…jauh lebih terasa adem, artistik nyaman dan aman, bikin betah…

2022

Sekarang, sekira 28 tahun kemudian, saya mendapat kabar bahwa Sarinah telah direnovasi.

Keren memang Sarinah sekarang jadinya. Tak hanya direnovasi bagian luar dan halaman gedung yang lebih ramah bagi pengunjung Sarinah maupun pejalan kaki di sekitarnya yang hendak melakukan aktivitas outdoor.

Namun juga tata ruang dan cahaya indoor gedung Sarinah yang jauh lebih terasa adem, artistik nyaman dan aman, bikin betah bagi pengunjungnya untuk berjalan-jalan santai sambil mencuci mata, lalu belanja-belanja.

Dibanding sebelum-sebelumnya, selama berpuluh tahun tata cahaya indoor Sarinah hanya berhias lampu neon yang putih, mengandalkan benderang saja.

Cahaya lampu neon tanpa sentuhan artistik memang cenderung mengajak pengunjung untuk langsung menuju barang dagangan, ambil, bayar ke kasir tanpa tawar menawar, terus langsung pulang.

Cahaya putih terang benderang tanpa sentuhan seni, memang bisa membuat pengunjung sedikit tertarik berlama-lama, berjalan-jalan dalam mall.

Sedangkan tata ruang dan cahaya yang artistik serta suasana tentram, dinilai pengunjung lebih betah, yang lalu bikin mereka belanja-belanja lagi. Agak melupakan bahwa barang yang dibeli bukanlah kebutuhan, namun sekedar keinginan.



…belanja di Sarinah itu 'nanggung', karena berada di dekat kawasan Tanah Abang…

Pusat Festival Seni dan Budaya

Lalu, sejak pusat-pusat belanja berwujud mall-mall mewah di Jakarta dibangun mulai awal tahun 1990-an, lama-lama Sarinah cenderung bukan sebagai tujuan orang nge-mall. Padahal, Sarinah Jakarta punya kelebihan dalam hal sejarah dan berada di kawasan strategis pula.

Mungkin, tujuan renovasi Sarinah adalah sebagai wisata urban megapolitan, bukan sebagai wisata belanja semata. Pajangan produk dagangan di Sarinah relatif banyak diskonan, mirip Mall Taman Anggrek (MTA) di Jakarta Barat, yang pengunjungnya rata-rata adalah orang-orang yang melek harga.

Lagi pula belanja di Sarinah itu 'nanggung', karena berada di dekat kawasan Tanah Abang pusat grosir kawasan Asia dan Afrika.

Apabila Sarinah adalah untuk memenuhi kebutuhan gaya urban, karena daerah situ juga tempat strategis berlalu-lalang orang-orang produktif perkantoran poros Sudirman-Thamrin Jakarta Pusat, maka seyogyanya Sarinah menjadi pusat keramaian festival-festival seni dan budaya Jakarta, dimana pengelolaan pendapatan keuangannya bersifat Donasi.

Bukan lagi meraup keuntungan dari orang-orang yang nge-mall, yang lebih banyak mencuci mata dan nanya-nanya harga daripada belanja.

Sarinah, tetaplah menjadi tempat singgah yang membanggakan dan ramah.