Hari Raya Idul Fitri sudah seminggu berlalu, namun sisa-sisa perayaan masih sedikit terasa; berita arus balik yang ramai mengisi laman media massa dan di beberapa wilayah masih merayakan lebaran ketupat yang biasanya dimeriahkan setelah sholat Ied dilaksanakan. Selama bulan Syawal masih berangsur selama itu pula semarak 'pulang ke kampung halaman' masih dilakukan.

Bagi saya, perayaan Idul Fitri dengan pulang ke kampung halaman masing-masing adalah produk kolektif masyarakat yang sulit punah dan akan terus lestari dari masa ke masa. Pasalnya, momentum Hari Raya, hari yang diamini untuk saling bermaaf-maafan satu sama lain adalah waktu yang tepat untuk saling bertemu sanak saudara, melepas rindu, dan bertukar sapa atau hanya sekadar basa-basi semata.

Namun, tidak jarang dari kita masih menganggap pulang kampung hanya tradisi belaka, sehingga yang didapati hanya perasaan lelah, capek akibat perjalanan yang butuh waktu lama atau kesal akibat diserbu pertanyaan-pertanyaan yang katanya mengusik urusan privasi hidup. Pulang kampung bahkan menjadi sebuah keharusan dan berujung pemaksaan pada diri sendiri karena pada nyatanya, tidak semua memiliki biaya dan akomodasi yang memadai untuk pulang ke kampungnya. 

Memaksakan kehendak pribadi hanya agar memenuhi tradisi adalah tindakan yang menyusahkan diri sendiri atau bahkan orang lain. Bagi saya, pulang kampung memang tradisi yang baik untuk terus dilestarikan namun bukan berarti harus dilakukan.  Pulang lah ke kampung jika memang memiliki kecukupan dari segi biaya, waktu dan cost yang akan dibutuhkan.

Sudah tiga tahun saya tidak merayakan lebaran bersama keluarga, berkuliah jauh dari Indonesia dan tanggungan studi yang harus diselesaikan dua di antara alasan utama  saya tidak menyempatkan waktu untuk pulang ke kampung. Hanya dengan sambungan kabel bandwith dan kuota yang menjadi medium saya bersilahturahmi dengan ibu, bapak, kakak dan sanak saudara lainnya. Walaupun tidak bisa dipungkiri, perasaan rindu dan kesepian kerap menghantui di malam-malam lebaran saya mencoba bertahan dan menikmati suasana lebaran dengan merayakannya bersama teman-teman Indonesia yang juga sudah menjadi keluarga kedua buat saya di sini. 

Dengan pelan-pelan saya terpahami oleh keadaan, bahwa pulang kampung bukan hanya soal pulang ke lokasi, kampung halaman bukan hanya tentang tempat di mana seseorang pernah tinggal atau lahir

Lebih dari itu, pulang kampung adalah suasana dan kesan yang diciptakan oleh orang-orang yang kita sayangi kehadirannya, oleh karena itu pulang ke kampung halaman sebaiknya menjadi ajang kolektif untuk mencurahkan kerinduan yang tulus antara sesama bukan saling meluapkan emosi yang terpendam hingga berujung saling lempar hujatan dan sindirian. 

Atau hanya sekadar pemenuhan tradisi dan ikut-ikutan, melihat semua tetangga pulang kampung kita pun merasa harus pulang juga padahal kecukupan biaya dan akomodasi sangat terbatas. 

Di tahun-tahun sebelumnya, ketika saya masih rutin pulang ke kampung halaman saya masih menganut ide pulang kampung hanya untuk mengikuti tradisi, saya pikir pulang ke kampung halaman adalah ritual semata yang tidak perlu pemaknaan substansial. 

Meskipun pada saat itu, Bapak sering menasihati saya, bahwasanya pulang ke kampung bukan sekadar ajang bermaaf-maafan yang terlegitimasi oleh tanggal merah dari pemerintah namun, jadikanlah sebagai ruang temu, mengenal dan bersedekah kepada saudara-saudara yang mungkin belum sempat bertemu di waktu-waktu lain atau yang belum dikenal sama sekali. 

Baru dua tahun belakangan ini saya menyadari dan meresapi apa yang dikatakan oleh Bapak dan karena jarak juga yang membuat saya semakin sering merenung akan suatu hal, salah satunya pemaknaan pulang kampung itu sendiri yang mana sangat erat kaitannya dengan situasi saya yang merantau jauh dari Indonesia. 

Untuk sekarang saya cukup bisa berdamai dengan jarak, saat ini jarak bukan lagi penghalang dan membuat saya geram akibat tidak bisa pulang ke kampung halaman saat hari-hari perayaan yang lazimnya dirayakan bersama keluarga. Berbagai opsi silaturahmi versi modern bisa saya lakukan demi menyambung tali sapa antar keluarga, dengan memberi kabar kepada mereka melalui vidcall, WhatsApp, Instagram, Twitter, dan media sosial lainnya.

Jauh dari sanak saudara membuat saya semakin memahami pemaknaan pulang ke kampung halaman. Ketika bertemu mereka secara virtual maupun langsung waktu yang ada saya luangkan semaksimal mungkin untuk saling bertanya kabar, saling menyemangati satu sama lain hingga membahas hal-hal yang nostalgia. Karena bukan ke mana saya harus pulang dan bertempat saja yang menjadi salah satu  kegiatan dari 'pulang ke kampung halaman' namun, kepada siapa dan bagaimana saya menghabiskan waktu bersama terlepas dari seberapa jauh jaraknya.

Saya menulis tentang ini tidak bermaksud menyudutkan orang-orang yang meyakini pulang kampung sebagai tradisi semata tanpa harus pemaknaan substansial atau menjadikan tradisi tersebut sebagai keharusan yang dilakukan. Tulisan ini pure hasil kontemplasi yang rentan dengan pemaknaan asumtif dari diri saya sendiri. 

Turki, 2022.