Pagi masih sama, menyebalkan. Bangun setelah matahari tepat di depan jendela, sepi sekali, ah membosankan! Siaran televisi lokal yang itu-itu saja. Memangnya tidak ada yang lebih penting? Planet pluto masuk galaksi lagi misalnya. Alien menyerang toko roti terkenal sekota ini, pasti seru sekali.

Sayangnya hampir sepekan ini mereka hanya membahas dana sosial yang dirampas tikus berdasi kurang makanan. Sebenarnya aku malas sekali, sudah tiga hari aku bolos kuliah. Hari ini aku harus bangkit, mengingat ada mata kuliah kesayanganku 'Huukum Tata Negara.'

Menurutku kebutuhan hidup manusia saat ini adalah sandang, papan, pangan dan hukum. Berontak memperjuangkan keadilan. Yah memang begitu, seringkali dunia yang keras mengabaikan jiwa yang rapuh.

Lobi yang kulewati asing sekali. Aku seperti katak meloncat di antara kerumunan ular. Mereka melihatku seolah-olah siap menggerakkan otot perutnya dan memangsaku. Tapi mereka hanya berbisik , "Kita habiskan lain kali saja."

Di kelas juga sama, mereka mendadak diam padahal tadi aku dengar ada yang sedang bercerita tukang bakso komplek baru yang tampan, baksonya aneh karena ada sayur bayamnya. Mereka hampir tertawa tapi aku datang menghancurkan selera humor mereka. 

"Woe ada jokes nih." Denisa yang teriak membuatnya jadi pusat perhatian sekelas. Aku tetap berjalan mencari tempat duduk. Sialan hanya kursi paling tengah yang tersisa. "Kebayang ga si kalo ada koruptor disidang sama anaknya sendiri?" "Hahahaha." spontan satu kelas tertawa. 

"Sekolah hukum pake dana sosial tu hukumnya gimana siii?" Lanjut laki-laki gendut satu kursi di depanku. Aku melihat jelas mulut Bobi bergerak melontarkan kata-kata itu.  "Woelah, yang ketawanya paling kenceng hidupnya paling keras broo!" Dia kembali berteriak dan lagi-lagi ruangan ini penuh tawa terbahak-bahak seolah yang paling keras yang menang pertandingan.

 "Sori Bob aku ga setuju." Laki-laki  duduk di kursi persis di depanku angkat bicara. Pembawaanya begitu santai dan tenang sekali. Ya seperti manusia tertutup pada umumnya yang dingin dan sangat serius. Membuat kelas hening memperhatikanya. Candra namanya. "kalo gitu? Terus apa kabar orang yang suka diem kaya Tara?" Astaga dia memanggil namaku, "berarti dia lemah dong ga pernah ketawa atau kelihatan ceria mungkin, yah lama-lama orang males berpendapat takut dibilang curhat. Lama-lama orang takut berekspresi atau bahkan sekedar bilang aku lagi sedih, miris."  Nafasku tidak beraturan, begitu cepat. Tidak, sangat lambat. Ya, aku hampir tidak bernafas.

Aku tidak tahan lagi aku butuh banyak udara untuk komposisi aliran darahku hingga otakku benar-benar bisa berfikir untuk memutuskan sesuatu. "Yaelah, duit ngalir gitu mana tau susah." Denisa berkata sinis. "Bener tuh." teman yang lain saling berbisik meng-iyakan.

 Dubrakkkk! Aku memukul meja, aku tidak tahan, pipiku memanas mataku buram penuh air, "Papa aku  koruptor! Bajingan yang kalian liat di Tv itu papa aku. Mama aku mati sama selingkuhanya, kakak aku satu-satunya minggat! Aku gatau dia dimana, dia ga tahan sama semua ini, aku sendirian aku ga punya temen, kalian semua jijik kan liat aku hah? Dengan ini kalian kira aku masi bisa ketawa? Ga adil."

Aku bergegas pergi, hampir menabrak dosen pengampu, ah aku tidak peduli. Aku merasa lega meski aku juga merasa seperti pecundang di hadapan semesta. Semesta menertawaiku, tembok rahasia yang selama ini aku bangun ahirnya roboh.

"Hei pelacur bajingan keluar kamu." Aku berteriak didepan rumah kayu, meski reot dan tetlihat tidak nyaman tapi bersih dan rapi sekali. Aku yakin pasti ini alamat yang di maksut om Doni pengacara papa. Di gang kecil pojok kota ada perempuan yang tinggal di rumah kayu kecil. "Cepat keluar, kamu udah ngancurin hidup aku." Mulutku bergetar, aku kembali di ingatkan hal-hal buruk yang aku alami.

Ternyata papa di pengaruhi wanita haram ini. Uang yang papa ambil buat pelacur ini. Aku ingin menampar pipinya, menghantam jantungnya sebelum dia juga di panggil untuk diadili. Di penjara atas perbuatan jahanamnya.

 Perempuan cantik berkerudung coklat muda tergesa-gesa membuka pintu "Ada apa? Embak siapa? Mohon maaf silahkan duduk." Perempuan itu lembut sekali, tetap sopan meski terlihat panik. "Dimana pelacur itu hah?." Aku tidak peduli, baiklah bukan dia sasaranku.

"Kamu siapa?." Wanita itu bertanya lagi

"Aku Tara anak Wijaya yang udah di porotin  Ajeng wanita murahan!"

"Maaf mba, ibu sedang berpamitan untuk terakhir kalinya ke panti asuhan, karena besok dia masuk penjara," tangisnya pecah, "maafkan ibu angkat saya mba, saya mohon dia orang baik." Mataku terbelalak tercengang mendengarnya. Hah, apa katanya? Orang baik?

 "Mungkin sulit di percaya. Tapi kita mana tau manusia-manusia bertato yang mabuk di persimpangan jalan itu, ternyata selalu memohon ampun pada Tuhan menangis tiap jam tiga pagi, kita mana tau orang-orang yang sabar dan taat itu ternyata mengeluh bahkan menantang Tuhan teriak bahwa hidup tidak adil. Dunia memang tentang fisik, dunia adalah apa yang kita lihat. Tapi tolong, tidak ada jaminan atas keimanan."

Aku diam. Orang-orang mana tahu, betapa mengerikanya saat paradigma menyerang otak. Aku tidak bisa berkutik. Aku hanya bisa melihat perempuan itu menangis sesak seperti tahu segala hal menyakitkan seantero jagat.

"Ya, ibu saya sengaja memanfaatkan pak Wijaya untuk korupsi dana sosial, dan uangnya di bagikan ke panti-panti kecil pojok kota, karena kita semua juga tahu selama ini pemerintah tidak pernah memikirkan kami orang pinggiran."

Sore  ini begitu menyakitkan, aku tertampar kenyataan bahwa takdir yang berperan. Tidak akan ada lagi senja-senja indah, semburat merahnya semakin mengingatkanku pada cerita jahanam.

Seharusnya papa tahu, jangan pernah menggunakan seseorang untuk melupakan seseorang.