Nama di atas Pasir

dengan ujung jemariku,
di atas pasir
sebelum ombak kecil menyapunya,
kutulis garis tak putus, meliuk,
berputar dengan degup jantung yang melemah,
dan lelah,

sebelum jatuh,

aku masih sempat membacanya,
sedikit memudar,

dan itu namamu...


Emak

perempuan renta itulah yang selalu mengajariku mencintai malam.

setiap malam dikecupnya pelan-pelan lelapku

dan dengan lembut diajaknya aku keluar melihat bintang.

”mari nak, kita berburu bidadari”.

entah kenapa kata-kata itu

selalu manjur membuat mataku langsung terbelalak gembira.

diajaknya aku ke halaman rumah tanpa alas kaki

dan diajarkannya ritual ”memanggil bidadari” itu padaku.

biasanya kami menatap bintang bersama, "ah, emak..."


Satu arah saja

"dan nalar bahkan tak bisa menjelaskan hal sederhana

ia ada pada manusia, cinta”.

"jadi biarkan ia tetap seperti apa adanya,,,"

“ketika kamu memindahkannya, ia tetap ada.

kamu bisa merasakan keberadaannya saat tiada.”

"sepertinya begitu.."

“kita hanya memiliki satu cinta.

seperti air ia bisa mengalir kemanapun,

memutar ke selatan atau ke utara,

tapi sebenarnya satu arah.”

"jika demikian, kenapa tidak kita bicarakan saja harga telur dan kecambah

yang akan kita jual esok hari?"

:Baiklah!


Meditasi Sunyi

kita ditawari kepura-puraan, mengiranya kebenaran.

kita ditawari janji-janji, mengiranya kepastian.

kita dipaksa melupakan Tuhan atas nama Tuhan,

padahal angkara menjelma malaikat menanti kita di meja makan,

sekedar menikmati santap malam bernama keserakahan.


Siapa yang Rakus

berharap kekuasaan menjadi tanah subur bagi tumbuhnya kebenaran,

layaknya berharap tangan mampu menyentuh matahari.

kekuasaan hanya benda kecil

yang pelan-pelan jadi monster pemangsa kebenaran,

karena lipatan-lipatan uang menggerus idealisme berganti kerakusan.

lalu dimanakah manusia berhati manusia berdiri pada zaman ini?


Lelaki Hujan

lelaki itu diam,

mendengarkan nyanyian hujan,

lelah membawa ribuan lagu sunyi

dalam keranjang doa

yang belum sempat ia panjatkan,

mengiris malam dan keheningan.


Dialog Senja

"Wahai Laki-laki batu karang,
apakah nanti setelah engkau di sana,
masih hendakah kau mengingat tentangku?"

sebuah tanya memecah keheningan,
saat Laki-laki batu karang
dan Bidadari mata indah
menyiapkan waktu untuk perpisahan mereka.

"Kau tahu, Bidadari mata indah?
Andai saja ada sebuah tempat di bumi ini
yang bisa aku singgahi
untuk meniadakanmu dari ingatanku,
aku pasti akan mendatanginya."

aku pergi menuju kehampaan.


Aku Kalah

angsa-angsa angkuh,
berenang, pada danau yang tenang.
dan menggerakkan sayap-sayap patahmu di angkasa biru.
kini dapatkah engkau meneguk embun
dari cemara tinggi dan padang surga yang landai?

dan tidur sepanjang malam yang lembut
melepas lelah dengan sayap terlipat?


Bahkan dosa tak lagi kukenal

waktu matahari menyapaku pelan-pelan,
aku membiarkannya serupa tidak peduli.
atau ketika jiwa mengetuk lumpur
di pematang gelap seharian tadi,
menebarkan sesumbar: aku benar,
bahkan dosa tak lagi kukenal
ia adalah belalang lapar menerkam amarah.
congkak bernyanyi dengan wangi akar dan segelas anggur.


Sudah itu saja

kenapa tak kau sentuh saja kehidupan,
menembus ruang-ruang kesunyian,
jeda sesaat dari suka dan tidak,
merapikan qalbu,

membuka jiwa menghela nafas keagungan.
meniadakan benci, sudah itu saja!


Aku lagi Marah

kemarahan dalam bahasa sarkastik
di negeri ini tak pernah padam.
sebab kita yang bosan dengan ketidakadilan,
terpaksa memilih kembali jalan ketidakadilan yang sama.
membiarkan mimpi kemakmuran menjadi selimut para jelata,
dan dengan diam-diam kita tergelak
bersama tawa pongah para raja,
mengangkangi singgasana.


Sehabis Wudhu setelah Adzan

dan tumpahlah segelas kopi
yang baru saja emak seduh untukku,
menghitamkan butiran tasbih putihku
di atas sajadah pemberian abah
sehabis wudhu setelah adzan
di surau kampung sebelah,,,

kupungut kepingan-kepingan kisah
pada jalan yang baru saja kutapaki,
menikmati penat dan kantuk,,,

pun rindu yang kutitipkan
pada aspal dan rerumputan,
terbawa arus sungai..


Jejak sepi dan hari lalu

sepanjang hari-hari tanpamu,
tiap delapan ribu enam ratus empat puluh detik,
aku bersama arsir gerimis

yang merahasiakan rintik rindunya.

Pun tempias basah di jalan-jalan kesunyian..
seperti hening pada genangan air
di jalan basah dan bening matamu.

Sepi...


Kekasih, kalau nanti kita bertemu.  

usahakan untuk tidak mengeluhkan tanah air kita
yang terus berkeringat karena lelah
menanggung dosa para malaikat berdasi.

aku tunggu di sini, di bawah pohon mahoni,
yang di batangnya kita tulisi sajak tentang harapan negeri.

esok pagi, kita bicarakan saja,
tentang sehelai rambutmu yang kau jadikan hiasan dinding,
atau tentang senyum dan segelas kopi pada sebuah senja,,,,


Di sana hanya ada kekosongan

sengaja ia aku biarkan mengelana,
barangkali cuma sekedar mencari jejak.
sebab pernah ia menengadahkan jiwa,

di sana hanya ada kekosongan.
atau mungkin karena hanya sekedar rindu,
hingga tak hendak ia berlabuh.

memaksa diri berkelakar dengan malam,
mengadu di keheningan,
tetap saja ia tertatih.

lelah...


Menjenguk Senja,

menjenguk senja,
ketika matahari malu-malu menyapa,
pun terik yang letih.
demikian sungai yang menggerutu;  
air mengeluh pedih,,,

seringainya perih
atau bumi yang kita pijak
terpaksa lari menuju malam,,

meski tertatih...