Kiranya tidak akan pernah habis berita mengenai pelanggaran atas nilai –nilai integritas yang dilakukan oleh pengelola Negara di negeri ini. Belum hilang dari ingatan publik kasus OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap Bupati Probolinggo bersama suaminya yang merupakan anggota DPR RI terkait praktik jual beli jabatan Kades. Jika dirunut lebih ke belakang, akan lebih banyak ditemukan pelanggaran nilai integritas oleh pengelola Negara, terutama terkait kejujuran (korupsi).
Berkaitan dengan nilai-nilai integritas, saya akan bercerita tentang tiga tokoh .
Tokoh yang pertama yaitu Mohammad Hatta. Pasti ketika mendengar nama ini, ingatan anda semua tertuju pada seorang bung yang luar biasa, salah satu proklamator kemerdakaan Republik Indonesia. Yup…..anda benar. Mohammad Hatta atau lebih dikenal dengan Bung Hatta, merupakan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Dalam benak kita, tentunya sebagai Wakil Presiden, yang terbayang adalah sebuah kekuasaan yang besar dan juga kemewahan-kemewahan yang akan didapat dengan kekuasaannya tersebut. Namun kenyataannya, beliau lebih terkenal sebagai seorang yang bersahaja, jauh dari kesan kemewahan.
Pada tahun 1950-an, sepatu Bally merupakan merupakan merk sepatu berkualitas tinggi dan mahal. Bung Hatta sangat mendambakan sepatu ini sampai Potongan iklan yang memuat alamat penjual sepatu Bally disimpan olehnya. Sampai dengan akhir hayatnya sepatu tersebut tetap tidak terbeli karena uang tabungannya digunakan untuk kebutuhan rumah tanggal dan kebutuhan lainnya.
Sebagai seorang Wakil Presiden, tentunya Bung Hatta dengan kekuasaannya mudah sekali untuk meminta kepada bawahannya atau koleganya untuk membelikan sepatu Bally untuknya. Tinggal bilang saja, dalam sekejap akan datang orang yang mengantarkan sepatu Bally. Bandingkan saja tentang kasus gratifikasi yang terjadi saat ini. Jangankan sepatu, barang sekelas motor Harley Davidson, mobil mewah, arloji mahal menjadi gratifikasi bagi pengelola Negara.
***
Tokoh yang kedua bernama Baharuddin Lopa. Siapa yang tidak kenal dengan pendekar hukum yang satu ini ?. Baharuddin Lopa berkarir sebagai jaksa . Dia merupakan Jaksa Agung di era Presiden Abdurrahman Wahid, walaupun hanya menjabat sebentar saja karena meninggal dunia akibat sakit jantung dan kelelahan.
Baharuddin Lopa semasa aktif bertugas terkenal tegas, jujur dan berani terutama dalam menghadapi kasus-kasus korupsi. Sepak terjangnya dalam menangani kasus korupsi diantaranya yaitu pernah mengusut kasus yang duduga melibatkan beberapa nama terkenal seperti Akbar Tanjung, Nurdin Halid dan bahkan kasus yang melibatkan mantan Presiden Soeharto.
Suatu ketika, Baharuddin lopa diundang untuk menjadi saksi pernikahan oleh kerabatnya. Sohibul hajat mengira Baharuddin Lopa akan menaiki kendaraan dinasnya. Setelah sekian lama menunggu ternyata tidak ada kendaraan dinas beliau yang datang, hingga kemudian kerabatnya tersebut mendengar suara Baharuddin Lopa dari dalam rumah. Ternyata Baharuddin Lopa bersama istri datang tanpa menggunakan kendaraan dinas, namun menumpang kendaraan umum. (kisah ini dikutip dari buku Orange Juice KPK)
Baharuddin Lopa tidak mau menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan non dinas. Hal tersebut juga berlaku untuk Istri dan anak-anaknya. Baginya hal tersebut merupakan suatu prinsip yang mendasar. Hal yang berbeda saya temukan pada teman saya yang merupakan anak salah seorang Kepala Dinas di kota saya. Ketika saya SMA, teman saya tersebut dengan bangga menggunakan mobil dinas ayahnya ketika berkumpul dengan teman-temannya
***
Tokoh ketiga yang akan saya ceritakan yaitu. Ayah saya meninggal di usia yang masih muda, 48 tahun, dan saat itu masih berstatus sebagai PNS dengan jabatan yang lumayan di suatu dinas di kota saya.
Pada suatu saat ketika ayah dan mbak saya sedang duduk santai berdua di rumah, terjadi dialog seperti ini :
Mbak : "kenapa bapak dengan posisinya yang sekarang gak terima saja uang sogokan dari orang-orang yang ingin jadi PNS ? bukankah bapak akan mendapatkan banyak uang yang bisa dibelikan rumah mewah beserta isinya, juga mobil.
Bapak : " saya hanya ingin nitip anak cucu saya. Walau mungkin bukan orang-orang yang pernah saya bantu yang akan membantu anak cucu saya, tapi mungkin orang lain yang akan melakukannya.
Ayah meninggal dunia ketika usia saya 6,5 tahun. Ayah meninggalkan satu orang istri dan enam orang anak yang masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Ayah tidak meninggalkan barang-barang mewah untuk istri dan anak-anaknya. Ayah meninggalkan warisan Nilai Integritas bagi anak-anaknya.
Ya…ketiga tokoh yang saya ceritakan di atas telah memberikan keteladanan tentang nilai-nilai integritas. Nilai integritas gampangannya adalah selarasnya antara ucapan dan perilaku dengan hati nurani dan norma yang berlaku . Kejujuran dan Kesederhanaan sebagaimana dicontohkan oleh Bung Hatta dan ayah saya. Keberanian serta Disiplin sebagaimana ditunjukkan oleh Baharuddin Lopa
Nilai Integritas, seolah menjadi barang mewah dan langka bagi sebagian pengelola Negara saat ini. Keberadaannya menjadi semakin samar, untuk tidak dapat dikatakan pudar. Kejujuran kalah dengan keinginan untuk memperkaya diri. Kesederhanaan tunduk dengan keinginan mempunyai barang mewah. Sikap Berani bersikap benar dan adil bertekuk lutut dengan nafsu takut kehilangan jabatan. Jika pengelola Negara sudah tidak lagi memegang teguh nilai-nilai integritas, jangan harap kasus seperti korupsi akan hilang dari negeri ini.
Orang yang mengimani nilai integritas kejujuran, tidak akan pernah melakukan jual beli jabatan, karena dia tahu bahwa jual beli jabatan adalah perbuatan curang. Orang yang meyakini nilai integritas disiplin, tidak akan pernah korupsi, karena dia tahu bahwa korupsi adalah perbuatan melawan aturan. Orang yang mengimani nilai integritas sederhana, tidak akan pernah menerima gratifikasi barang-barang mewah, karena dia tahu bahwa hidup bersahaja lebih bermartabat dari hidup mewah akibat perbuatan curang.
Kenapa Nilai-nilai integritas seolah sudah hilang di sebagian pengelola Negara jika dibandingkan dengan cerita ketiga tokoh di atas ?. Menurut saya faktor yang paling utama adalah serakah. Keinginan untuk menumpuk harta dan hidup mewah, padahal Gaji dan fasilitas sudah memadai jika dibandingkan pada jaman ketiga tokoh di atas masih hidup. Serakah dengan memanfaatkan aji mumpung, mumpung menjadi pengelola Negara, mari menumpuk harta, persetan rakyat.
Menghadapi kenyataan tersebut, Diperlukan upaya represif berupa penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap pengelola negara yang telah menciderai nilai-nilai integritas untuk memberikan efek jera dan pengingat bagi yang lainnya. Selain itu upaya persuasif dengan pembangunan budaya kerja positif dan penyuluhan anti korupsi merupakan salah satu ikhtiar agar nilai-nilai integritas tetap hidup dan tumbuh di tubuh pengelola negara.
Jangan buat Bung Hatta, Baharuddin Lopa dan Ayah saya menangis di kuburnya karena pudarnya nilai-nilai integritas yang diyakini oleh mereka. Sebaliknya, buatlah mereka bangga, dengan mulai dari diri kita menjadi insan yang beritegritas. Salam Integritas !
Fatah Firdaus, Penyuluh Anti Korupsi