Tidak terasa, saat ini (15/4) kita sedang memasuki minggu kedua dari bulan suci Ramadhan. Ini berarti kewajiban untuk melaksanakan puasa Ramadhan masih menyisakan sekitar setengah bulan lamanya.

Jika kita menelusuri lebih jauh pada lorong-lorong waktu sejarah, ternyata perintah untuk berpuasa ini tidak hanya berlaku pada ummat Baginda Nabi Muhammad SAW saja. Akan tetapi, perintah ini pun berlaku bagi para nabi maupun ummat-ummat sebelum beliau diutus oleh Allah SWT.

Sebagai misalnya adalah pada zaman Nabi Adam, Allah telah memerintahkan nabi pertama yang sekaligus bapak dari seluruh umat manusia tersebut untuk berpuasa selama tiga hari dalam setiap bulan dengan harapan agar beliau mendapat keimanan yang teguh pada saat menjalani ujian dan tugas dari Allah sebagai khalifah pertama di muka bumi. Puasa inilah yang kemudian kita kenal dengan ayyaamul bidh atau hari-hari putih.

Selanjutnya pada zaman Nabi Nuh AS, Nabi yang memiliki keteguhan hati (ulul ‘azmi) tersebut meski mendapat banyak pertentangan pada saat mendakwahi ummat-Nya, beliau pernah memerintahkan kepada ummatnya untuk berpuasa, yakni ketika mereka sedang menaiki bahtera atau perahu selama kurang lebih enam bulan lamanya. Puasa tersebut adalah sebagai bentuk permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah agar mereka kelak mendapatkan pertolongan dari-Nya, sehingga mereka pun akan selamat dari bencana air bah.

Begitu pun setelah beliau dan para ummatnya diselamatkan oleh Allah dari bencana banjir dengan bersandarnya perahu yang mereka tumpangi di Bukit Judiy. Pada waktu itu, Nabi Nuh juga memerintahkan kepada seluruh ummatnya yang beriman kepada Allah untuk kembali berpuasa. Puasa tersebut adalah sebagai bentuk tanda syukur kepada Allah yang telah menyelematkan mereka dari bencana air bah.

Pada masa yang lain, amalan puasa juga dilakukan oleh Nabi Yunus AS ketika beliau sedang berada di dalam ikan nun (ikan paus). Dalam keadaan berpuasa beliau tidak henti-hentinya berdoa kepada Allah:

لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

“Tidak ada Tuhan selain Engkau (wahai Allah). Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang yang dzalim.”

Dalam doa yang terabadikan dalam QS Al-Anbiya 87 tersebut Nabi Yunus benar-benar mengakui kezhaliman yang telah diperbuatnya kepada Allah SWT.

Kezhaliman tersebut adalah dikarenakan sikap putus asa beliau dalam mendakwahi ummatnya, sehingga beliau meninggalkan mereka dalam keadaan buta aqidah dan membutuhkan hidayah.

Oleh karena Nabi Yunus meninggalkan umatnya dengan diliputi rasa putus asa, maka beliau pun mendapatkan teguran oleh Allah dengan dimasukkan ke dalam perut ikan nun ketika beliau berlayar mengarungi samudera yang begitu luas. Dan manakala beliau tidak bertasbih ketika berada di dalam perut ikan tersebut, maka beliau baru akan keluar beberapa saat menjelang terjadinya hari kiamat.

Dalam bentuk praktik ibadah puasa yang paripurna, kita tentu juga telah mengetahui puasa yang telah dilakukan oleh Nabi Daud AS. Adapun bentuk puasa yang beliau lakukan adalah dengan sehari berpuasa dan sehari berbuka begitu seterusnya sehingga beliau wafat.

Demikian beratnya puasa yang dilakukan oleh Nabi Daud AS, sehingga Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa sebaik-baiknya puasa yang dilakukan oleh seorang hamba adalah puasa yang dilakukan oleh saudaranya sendiri, yakni Nabi Daud AS. Hal ini tidak lain adalah karena begitu beratnya amalan puasa yang beliau lakukan, yakni berpuasa kurang lebih selama 182 atau 183 hari dalam waktu setahun.

Begitu banyaknya jumlah hari yang beliau lewati untuk berpuasa dalam setahun, yakni 182 sampai 183 hari, hal yang demikian tentu akan sulit untuk dapat dipraktikkan oleh generasi-generasi setelah beliau, termasuk di dalamnya oleh ummat beliau sendiri.

Ada hal yang menarik dari angka 183 atau jumlah hari puasanya Nabi Daud AS tersebut. Ternyata QS Al Baqarah ayat 183 pun menjelaskan tentang puasa. Ayat tersebut adalah ayat yang sangat kita kenal, yakni:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Baca Juga: Puasa

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.”

Selain itu, jika kita melihat posisi dari ayat tersebut, kita tentu dapat menemukan posisinya pada surat nomor kedua di dalam Al-Qur’an, yakni Surah Al-Baqarah. Angka dua tersebut seakan melambangkan dua pihak yang terlibat dalam aktivitas puasa, yakni Allah dan hamba-Nya. Hal tersebut sebagaimana keterangan dalam hadits qudsi berikut:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَام، فَإنَّهُ لِي وَأنَا أجْزِي بِهِ

“Setiap amal dari anak Adam itu adalah untuk mereka sendiri kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku pula yang akan memberikan balasannya.” (HR. Bukhari no. 5927 dan Muslim no. 1151).

Adapun di antara bentuk balasan yang akan diberikan oleh Allah bagi mereka yang berpuasa adalah berupa kebahagiaan ketika mereka berbuka dan kebahagiaan ketika mereka berjumpa dengan Tuhan mereka.

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Adapun landasan utama yang menjadikan datangnya kebahagiaan bagi orang yang berpuasa tersebut adalah karena rahmat Allah yang telah mengampuni dosa-dosa mereka, setelah mereka melaksanakan ibadah puasa tersebut secara sungguh-sungguh dan untuk mengharap ridha Allah SWT semata. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan semata-mata mengharap ridha dari Allah SWT, maka telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (QS. Bukhari no. 2014)

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufiq, hidayah dan ‘inayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya. Dan mudah-mudahan buah dari ibadah puasa yang kita amalkan selama Bulan Suci Ramadhan ini juga akan semakin mengantarkan kita sebagai seorang mukmin yang bertaqwa kepada Allah SWT. Amiin yaa Rabbal ‘aalamiin. (*)