Pendahuluan
Prostitusi sudah menjadi masalah sosial yang kuno tetapi sekaligus langgeng melintasi zaman. Nanik, dkk (2012) menyebutkan bahwa prostitusi adalah pekerjaan yang di dalamnya terdapat wanita yang dipekerjakan oleh mucikari. Wanita-wanita yang bekerja sebagai pelacur biasanya merupakan wanita dengan keterampilan rendah dan kemampuan ekonomi yang rendah.
Oleh karena itu, keberadaan lokalisasi prostitusi dapat diindaksi dari kantong-kantong kemiskinan yang ada di kota. Menurut data dari DepKes dalam Nanik, dkk (2012) di Indonesia terdapat sebanyak 99.105 pekerja prostitusi. Artinya, masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang menggantungkan kebutuhan ekonominya pada kegiatan prostitusi.
Meskipun kenyataan ekonomi mengatakan demikian, kegiatan prostitusi dilarang oleh pemerintah, yaitu melalui KUHP pasal 296. Pelarangan prostitusi sebagai tindakan pidana ini tentu tidak bisa semata-mata diterima begitu saja tanpa ada solusi lain. Apalagi prostitusi itu sendiri, secara sosial, merupakan konsekuensi linier atas urbanisasi dan perkembangan industri kota.
Di Jakarta, prostitusi mulai muncul sejak tahun 1950, seiring dengan mulai ramainya Jakarta sebagai kota metropolitan dan tujuan migrasi masyarakat desa. Terhitung sejak 1950-1960 muncul beberapa lokalisasi di Jakarta, yaitu di Stasiun Senen, Kramat Tunggak, Antara Manggarai dan Blok M, Prumpung dan lain-lain (Lamijo, [Tanpa Tahun]). Kemunculan prostitusi tersebut seringkali berasosiasi dengan tempat tinggal para buruh petani maupun industri.
Dilema atas prostitusi muncul karena, selain linier dengan pembangunan kota, pada kenyataannya prostitusi memiliki peran besar dalam perputaran perekonomian kota. Lokalisasi prostitusi seringkali menjadi berkah bagi para pedagang untuk membuka warung-warung dan usaha di sekitarnya. Bahkan, keberadaan lokalisasi dapat memberikan dampak positif perekonomian suatu daerah.
Ambil contoh dalam pariwisata di Parangtritis, sebagai tempat pariwisata unggulan, Parangtritis tidak lepas dari bisnis gelap prostitusi, tepatnya adalah di Parangkusuma. Menurut observasi Saputra (2017), keberadaan prostitusi di kawasan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa wisatawan, menarik warga sekitar untuk membuka warung, bahkan sangat menguntungkan penginapan di Kawasan Cepuri sebagai tempat bergerilya dan menginap para pekerja seks.
Melihat beberapa fakta tersebut, prostitusi menjadi dilema yang sangat besar bagi masalah perkotaan. Di sisi lain, prostitusi memberikan dampak negatif secara budaya maupun kesehatan seperti penyebaran HIV/AIDS. Namun, adanya prostitusi merupakan alternatif ekonomi bagi kaum-kaum marjinal perkotaan, terutama wanita dengan kemampuan ekonomi rendah. Selain itu, perputaran ekonomi yang dihasilkan prostitusi terhitung sangat besar.
Di awal tahun 1990an saja, prostitusi di Indonesia dengan harga rata-rata rendah menghasilkan perputaran finansial sebanyak 1.180 juta dollar, sedangkan prostitusi dengan harga rata-rata tinggi menyumbang perputaran finansial sebanyak 3.300 juta dollar. Jumlah tersebut setara dengan 0.8 sampai 2.4 persen GDP Indonesia tahun 1990 (Sciortino, 1999).Data ekonomi tersebut adalah contoh bahwa sumbangan prostitusi terhadap perekonomian negara ternyata cukup signifikan.
Prostitusi dan Ekonomi Kota Jakarta
Lamijo (Tanpa Tahun) memaparkan perputaran ekonomidi Kramat Tunggak pada tahun 1960 selama setahun prostitusi di sana menghasilkan Rp 4,5 Milyar Rupiah. Di zaman sekarang prostitusi di Jakarta berpindah ke wilayah yang lebih mewah, misalkan di hotel Alexis. Meskipun prostitusi dilarang, tetapi pemerintah tanpa segan memakan hasil pajak hiburan darinya. Tempo (28/1/2018) melansir prostitusi Alexis menyumbang pajak hiburan sebanyak Rp769,5 miliar pada tahun 2016.
Lina Novita dari Legal and Corporate Affairs Grup Alexis mengatakan bahwa prostitusi tersebut telah menyumbang Rp30 miliar setiap tahunnya ke kas DKI. Selain Hotel Alexis, masih ada beberapa hotel di Jakarta yang menjadi tempat prostitusi, yaitu di Hotel Emporium, Hotel Malio, dan Classic. Jika Hotel Alexis saja menyumbangkan sebegitu besar, bagaimana dengan gabungan keempat hotel tersebut?
Namun, perlu dicatat bahwa persoalan ekonomi prostitusi tidak terbatas pada perkara pajak hiburan, tetapi juga kebergantungan para pekerja seks yang bekerja di sana. Lokalisasi Kramat Tunggak ketika diresmikan sudah memiliki 348 germo dan pada tahun 1980an memiliki lebih dari 2000 pekerja seks. Di wilayah Prumpung, pada tahun 2006 data Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta mencatat ada 175 pekerja seks di sana.
Selain itu, hasil perekonomian prostitusi tersebut tidak sepenuhnya hanya dinikmati si pelacur, tetapi juga untuk keluarga dan pekerja-pekerja lainnya semisal tukang parkir dan satpam. Sciortino (1999) menyebutkan penelitian dari 100% hasil perekonomianprostitusi dibagi setengah untuk si pelacur, 25% untuk keluarga, dan 25% untuk satpam dan germo.
Prostitusi dan Hak Atas Kota
Melihat kenyataan prostitusi yang sudah disebutkan, patutlah kiranya prostitusi dimasukkan dalam fokus pembangunan kota. Pembangunan kota yang berasaskan neoliberalisme hanya berfokus pada pembangunan fisik dan penyerapan surplus kapital. Padahal pembangunan kota tidak terbatas pada hal itu. Prasetyo (2016), menyebutkan bahwa hak atas kota bukan saja mengenai apakah individu kota mampu mengakses sumber daya kota atau tidak, tetapi juga mengenai keterlibatan individu-individu kota dalam membangun kotanya sendiri. Paling utama dalam perhatian hakatas kota adalah kaum-kaum marjinal yang suaranya terbungkam.
Prostitusi sebagai hasil dari urbanisasi merupakan contoh dampak pembangunan kota yang hanya berfokus pada fisik. Kaum-kaum marjinal yang kesusahan perekonomiannya pun memutuskan untuk bekerja pada ruang prostitusi. Lebih parah lagi, pemerintah seolah buta atas keadaan para pekerja seks komersial. Prostitusi dilarang dan dianggap sebagai tindakan pidana, tetapi juga dinikmati hasil pajaknya.
Keadaan semacam ini tentu membingungkan akan kemana nasib para pekerja seks komersial dalam arah pembangunan kota Jakarta ke depan? Apakah akan tetap kukuh menghapuskan prostitusi dengan konsekuensi hilangnya pekerjaan ribuan pekerja seks, ratusan germo, dan juga puluhan warung-warung, satpam dan penjaga parkir lokalisasi sekaligus kehilangan pajak hiburan yang sangat besar ataukah pada akhirnya prostitusi akan dilegalisasi dalam proses pembangunan kota?
Daftar Referensi
Abidin, A. (2017). Sosiolog Unair : Prostitusi Terselubung, Dampak Penutupan Lokalisasi. http://surabaya.tribunnews.com/2017/07/24/sosiolog-unair-prostitusi-terselubung-dampak-penutupan-lokalisasi, diakses pada 11 Oktober pukul 20.47.
Handini, A. (2014). Dampak Prostitusi Terhadap Kehidupan Masyarakat Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Universitas Pendidikan Ganesha. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/download/2941/2437
Kartono, Kartini. (2009). Phatologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Rajawali Pers.
Lamijo. Tanpa Tahun. Prostitusi di Jakarta Dalam Tiga Kekuasaan, 1930-1959. Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pusat Penelitian Suberdaya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSR-LIPI).
Nanik, S. dkk. 2012. Fenomena Keberadaan Prostitusi Dalam Pandangan Feniminisme. Jurnal Wacana, Vol. 15, No. 4, Hal. 23-29.
Prasetyo, F. A. 2016. Hak Atas Kota dan Keadilan Ruang. https://indonesiana.tempo.co/read/95621/2016/10/23/fransariprasetyo/hak-atas-kota-dan-keadilan-ruang , Diakses pada 10 Oktober 2018, pukul 00.35 WIB.
Saputra, R. P. 2017. Dampak Praktek Prostitusi Terhapa Perkembangan Pariwisata di Parangtritis. Ringkasan Skripsi Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta.
Setyoko, C. W. (2011). Pekerja Seks komersial Ditinjau dari Persepsi Masyarakat dan Dampak Sosialnya (Studi di Kawasan Wisata Bandungan). Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. https://storage1.123dok.com/cdn/disk1_vdc212_id_pdf/2017/04_27/1493296262214881129_pdf.pdf?name=123dok_Pekerja%20Seks%20Komersial%20Di%20Sekitar%20Kawasan%20Wisata%20Bandungan&exp=1539171263&sgn=43765c59557f66e4d0194c343ebbaa16
Sciortino, R. 1999. The Mortality and Economics of Prostitution in Indonesia. Filipina: Mahidol University.
Suryadi, S. A. (2011). Interaksi Sosial Antara Pekerja Seks Komersial (PSK) Dengan Masyarakat (Studi Kasus di Kawasan Resosialisasi Argorejo Sunan Kuning Kota Semarang). Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. http://lib.unnes.ac.id/11483/1/12275.pdf
TEMPO, 28 Januari 2018. Alexis yang Terus Eksis. https://majalah.tempo.co/read/154818/alexis-yang-terus-eksis , Diakses pada 10 Oktober 2018, pukul 23.53 WIB.
Walkowitz, J. R. (1980). Prostitution and Victorian Society: Women, Class, and the State. Cambridge: Cambridge University Press. http://doi.org/10.1017/CBO9780511583605